Tentang Nana
Oleh: Aiu Ratna
Sore ini, ia datang lagi menemuiku di bawah pohon jambu. Langit mulai kelabu, sementara angin bertiup menerbangkan daun-daun bercampur debu. Ia tertawa, tetapi matanya berkaca-kaca.
“Johan, aku tidak mengerti kenapa harus lahir ke dunia hanya sebagai boneka. Aku hanya boleh mendengar, tapi tidak boleh berpendapat.” Ia tertawa, lalu menambahkan, “Bahkan untuk memilih jalan hidupku sendiri, aku tak punya kesempatan.”
Sebagai sahabat, aku hanya bisa menepuk-nepuk bahunya. Ia terus tertawa. Namun, air mata mulai mengalir membasahi pipinya.
Beberapa orang lewat, memandang Nana dengan dahi berkerut. Ada juga yang menggeleng dan ikut tersenyum. Mungkin karena wajah Nana yang selalu terlihat ceria, hingga membuat siapa pun yang memandangnya turut bergembira.
“Kalau ingin menangis, menangis saja. Ada bahuku buat kamu bersandar,” ucapku berusaha menghiburnya.
Nana menggeleng. “Kata Mama, aku nggak boleh menangis. Nanti malu dilihat orang.”
Kami terdiam beberapa saat, hingga Nana berdiri dan menarik tanganku. “Mari kita berdansa. Aku ingin sekali berdansa. Tapi kata Mama, berdansa itu tidak berguna. Seperti orang gila saja.” Ia tertawa lagi. “Ssst … mumpung Mama nggak ada di sini, kamu mau, ‘kan, dansa sama aku?” tambahnya dengan mata berbinar, membuat siapa pun yang melihat, tak akan tega untuk menolak permintaanya.
Aku tersenyum dan langsung menuntun tangannya ke bahuku. Kurengkuh pinggangnya yang ramping, kemudian mengajaknya melangkah mengikuti alunan musik yang hanya bisa didengar oleh telinga kami sendiri. Kami berdansa di bawah daun-daun yang gugur. Ia terlihat bahagia. Kami tak memedulikan orang-orang lewat yang menatap aneh, bahkan ada yang ikut tertawa seperti Nana.
Namun, tiba-tiba ada suara perempuan memanggil-manggil Nana. Kami sama-sama terkejut. Nana langsung melepaskan pegangannya di bahuku dan membenahi rambutnya yang agak kusut karena tertiup angin.
“Ngapain kamu di sini? Pulang!” Wanita separuh baya itu langsung menarik tangan Nana, tak memberi gadis itu kesempatan untuk berpamitan denganku.
Nana sempat menoleh dan memberikan kode kedipan mata, pertanda aku harus datang lagi ke kamarnya nanti malam. Sebenarnya tanpa kode itu pun, aku sudah pasti datang menghiburnya. Kegiatan itu sudah menjadi rutinitas bagiku, karena aku bisa merasakan ketika Nana membutuhkanku.
*
Malam tiba. Aku masuk ke kamar Nana lewat jendela. Ia meringkuk di sudut kamar. Di dekat kakinya, ada sepiring nasi, sebotol jus jeruk, sestoples kue nastar, juga beberapa novel yang berserakan. Di atas ranjang, ada gitar baru berwarna merah muda, yang ia beli seminggu lalu. Nana terkantuk-kantuk, tak menyadari kehadiranku.
“Hei,” sapaku sambil menepuk pundaknya.
Nana mendongak. Ia lalu tersenyum, menampakkan gigi-giginya yang putih seperti biji mentimun. “Ke mana saja? Aku sampai ngantuk nungguin kamu.”
Aku ikut duduk di sampingnya. Dari dekat, kulihat bagian bawah matanya menghitam, seperti kurang tidur. Aku mengerti, pasti tak mudah jadi anak bungsu yang selalu terkekang. Nana sering bercerita, papa dan mamanya sering mengungkit-ungkit jasa mereka yang sudah membesarkan Nana. Ia juga benci ketika kakak laki-lakinya sering memaki kalau dia berani menyanggah untuk mengutarakan pendapat. Kata Nana, mulut kakak laki-lakinya sering mengeluarkan kata-kata menyakitkan.
“Kenapa nasimu masih utuh?”
“Lagi nggak selera.”
“Kenapa?”
Nana tak menjawab. Namun, tatapan matanya tertuju pada setumpuk buku di atas meja belajar.
“Aku ingin mengambil jurusan seni, tapi Papa menyuruhku mengambil jurusan matematika. Kau tahu, ‘kan, Johan, matematika itu pelajaran yang paling kubenci.” Begitu ceritanya beberapa hari yang lalu.
Aku tahu, selain tidak menyukai matematika, Nana juga tidak suka memakai rok dan memanjangkan rambut. Namun, mamanya akan marah kalau Nana memakai celana panjang dan memotong rambutnya. Apalagi kalau Nana memakai kaus bergambar band favoritnya lengkap dengan kupluk hitam, si kakak akan mengutuk Nana habis-habisan.
Sementara sang papa, juga akan meledak ketika Nana mendapat nilai B di pelajaran matematika. Siang tadi, ia mendapat hukuman karena bermain gitar dan bernyanyi di kamar, hingga sorenya ia datang menemuiku.
“Aku sudah berusaha keras, tapi memang kemampuanku cuma segitu,” ujarnya sambil tertawa lagi.
“Kenapa kamu selalu tertawa? Kalau pengen nangis, nangis aja. Jangan ditahan.”
“Kata Mama, nangis itu hanya untuk orang yang lemah. Lagian, nanti malu didengar orang.”
Ia kembali tertawa. Namun, bisa kulihat matanya berkaca-kaca.
“Aku nggak pernah minta dilahirkan dan dibesarkan. Tapi kenapa, ya, Mama dan Papa selalu mengungkit-ungkit telah membesarkanku dan memintaku berbakti? Aku juga heran, kenapa ada istilah anak durhaka, tapi tidak ada istilah orang tua durhaka. Kenapa, sih, jadi anak itu selalu salah? Apa gara-gara Tuhan yang memerintahkan semua anak harus menuruti kata orang tua, ya?”
Kata-kata itu meluncur dari mulut Nana begitu saja. Ia meneguk jus jeruk dalam botol, lalu tertawa lagi. “Aku benci matematika, Johan. Kepalaku pusing melihat angka-angka itu.”
Aku mengerti, Nana ingin sekali mengatakan “tidak” pada semua perintah dan kemauan orang tuanya. Namun, ia tidak tahu caranya. Ia memang tidak pernah terlihat menangis di depan orang lain, tetapi aku yakin, hatinya penuh luka dan pemberontakan yang tak bisa ia ungkapkan. Seandainya saja, aku bisa membantunya ….
“Sebenarnya, aku ingin menuntut mereka, kenapa melahirkanku tanpa izin dariku? Aku, kan, capek jadi manusia. Apalagi anak bungsu, perempuan pula. Aku nggak punya hak sama sekali untuk bersuara.” Nana tertawa lagi. Kali ini ia terbahak-bahak hingga membungkuk-bungkuk sambil memukuli lantai, seolah-olah tengah menawarkan takdirnya.
Tiba-tiba pintu kamar Nana diketuk dengan kasar. “Nana! Nana buka pintunya!”
“Gawat! Itu Mama!”
Tanpa ia minta, aku langsung mencari tempat sembunyi. Aku sudah hafal, pasti setelah ini Nana akan dimarahi karena tidak belajar.
Namun, dugaanku meleset. Ini lebih parah dari yang kubayangkan. Mamanya merobek novel-novel kesayangan Nana, juga membanting gitar yang ia beli dari mengumpulkan uang jajan selama dua bulan.
Dari kolong ranjang, aku bisa melihat Nana diam saja ketika dimaki-maki, melalui pantulan cermin yang terpasang di pintu lemari.
“Dasar anak nggak tahu diuntung! Mau jadi apa kamu? Perempuan, kok, main gitar! Hobi, kok, nggak berguna!” Mamanya menginjak-injak bodi gitar itu hingga hancur.
“Tidur kalau sudah selesai mengerjakan tugas matematikamu!”
Pintu berdebum. Nana terdiam sejenak, lalu mulai tertawa lagi. Ia berjongkok, lantas memunguti puing-puing gitar yang hancur, juga serpihan-serpihan novel yang sudah tak berbentuk.
Aku keluar dari persembunyian, membantunya mengumpulkan sisa-sisa benda kesayangannya. Aku tak habis pikir, kenapa para orang tua itu selalu memaksakan kehendak mereka, tanpa berpikir dampak apa yang akan dirasakan oleh anak-anak mereka. Mereka selalu berpikir, itu semua demi kebaikan sang anak. Tanpa mereka sadari, sebenarnya itu untuk kepuasan diri mereka sendiri.
“Nana, mari kita terbang,” ajakku.
Nana mendongak. Puing-puing gitar dan novel itu telah terkumpul. “Terbang? Apa bisa?”
Aku mengangguk dan tersenyum, lalu mengulurkan tangan, membantunya berdiri.
Nana menoleh ke dinding kamar, menatap foto keluarga yang menampakkan wajah papa, mama, dan kakak laki-lakinya yang tersenyum. Hanya dia yang menampakkan wajah datar dalam foto berukuran 30R itu.
“Kita terbang ke mana?” Nana beralih menatapku.
“Ke mana saja. Yang penting kamu bisa bebas.”
Kami berdiri di balkon kamar, memandangi langit gelap tak berbintang. Sepertinya, sebentar lagi akan turun hujan.
Aku memanjat pagar, lalu tersenyum, meminta Nana untuk segera naik sebelum mamanya datang. Ia mengikutiku sambil tersenyum lebar. Aku akan membawanya pergi jauh, supaya ia tak menderita lagi.
“Apa aku perlu mengucapkan selamat tinggal?” tanya Nana. Wajahnya terlihat bahagia.
“Kenapa tidak?”
Satu.
Dua.
Tiga.
Kaki kami mulai menapaki udara. Nana bersorak gembira. Kami mendaki awan, lalu terbang menuju bulan. Ia menari-nari, berputar-putar, dan berkata, “Selamat tinggal matematika! Selamat tinggal semuanya! Aku bebaaas ….”
Sementara, aku tersenyum puas. Tidak akan ada yang menyakiti Nana lagi. Selamanya.
*
Jam satu dini hari, mobil polisi dan ambulans terparkir di halaman rumah Nana. Di dalam rumah, beberapa polisi menginterogasi papa dan kakak laki-laki Nana yang terlihat gemetar. Sementara di bawah balkon kamar, jasad Nana tergeletak. Kepalanya mengeluarkan banyak darah, yang sebagian sudah memudar karena terkena hujan. Diperkirakan, tak ada yang mendengar Nana jatuh sehingga terlambat mendapatkan pertolongan.
“Nana! Tugas matematika kamu belum selesai! Kenapa kamu tidak mengerjakannya! Kamu juga belum balas budi, tapi kenapa sudah pergi duluan, hah?! Dasar anak tak tahu diuntung! Bangun! Bangun, anak durhaka!” Mama Nana mengguncang bahu anaknya yang sudah terbujur kaku.
Beberapa polisi menggeledah kamar Nana. Ditemukan obat-obat psikoterapis dan surat kesehatan.
Aku tahu, sebenarnya mama dan papa Nana sudah tahu kondisi anaknya. Namun, mereka malu mengakui kalau Nana didiagnosis skizofrenia beberapa bulan lalu. Mereka malu karena banyak orang menganggap, penyakit mental adalah penyakit kurang iman. Mereka juga malu karena menganggap Nana adalah produk gagal.
Namun, sekarang Nana tidak akan merasakan sakit lagi. Aku sudah membawanya pergi. Ia sudah berbakti selama ini dengan memendam semua pendapat dan keinginannya sendirian. Ia pantas berbahagia di tempat yang baru, di tempat di mana ia bisa menyanyi sambil memainkan gitar sesuka hati.
Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan, sebagai bagian dari halusinasi Nana selama ini. (*)
Bojonegoro, 31 Oktober 2020
Aiu Ratna. Lahir di Bojonegoro, 4 April 1993. Hobi bernyanyi, membaca, dan nonton drama Korea. Aktif di Facebook: Aiu Ratna dan IG: @aiu.ratna
Editor: Dyah Diputri
pict source:
https://www.istockphoto.com/id/vektor/gadis-dengan-topeng-dan-hati-gm464303507-32658406