Kekasih Tercinta
Oleh: Kim Hana
Dia, semangatku untuk terus berjuang. Dalam lembar demi lembar buku diari, hanya ada namanya yang tertulis. Satu kata untuknya adalah rindu.
***
“Bunda, apa itu surga?” Satu pertanyaan terlontar dari bibir mungil buah hatiku.
“Surga itu adalah tempat orang-orang baik. Tempatnya indah dan penuh kedamaian. Apa pun yang kita minta pasti terkabul. Namun dengan syarat, kamu harus mengasihi semua makhluk yang berada di bumi. Entah itu sesama manusia, hewan, maupun tumbuhan.”
“Wah … keren, ya, Bun. Rayyan pengin pergi ke sana!” Dia berseru girang dengan mata berbinar-binar.
Aku hanya tersenyum menanggapi.
Rayyan adalah anakku satu-satunya. Aku memilikinya setelah berjuang ke sana kemari. Lima tahun berlalu, hidup yang kulalui terasa berbeda. Setiap hari, dipenuhi dengan kebahagiaan dan semangat yang membara. Tak ada kata lelah untuk sekadar menemaninya bermain atau menjawab seribu pertanyaan dari rasa penasarannya terhadap sesuatu.
Tepat satu tahun yang lalu, aku seakan-akan terhempas dari indahnya mimpi. Rayyan memilih lebih dulu menuju surga. Meninggalkanku dalam belenggu penyesalan yang tak bertepi.
Apakah kamu bahagia di sana, Nak? Pertanyaanku menguar di udara, tersapu angin lembut yang datang menerpa.
Aku menggenggam erat album kenangan yang tersimpan di lemari, memandang lekat satu wajah yang tersenyum dengan binar mata bahagia, Rayyan.
Derai air mata tiada mampu kucegah. Tetes demi tetesnya berhasil meluncur deras membasahi pipi. Sesak semakin menyeruak dalam dadaku, apalagi ketika memandangi hujan lebat yang datang mengguyur bumi di luar sana.
Anganku melayang tepat di hari kepergian Rayyan.
Saat itu, hujan turun cukup deras. Rayyan berlari kecil menghampiriku yang tengah memasak di dapur untuk menyiapkan makan malam. Dia meminta izin bermain hujan-hujanan di halaman. Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan.
Sayangnya, keceriaan Rayyan berakhir karena kelalaianku mengunci gerbang. Rayyan berlari keluar gerbang untuk menolong anak kucing yang kehujanan di pinggir jalan, tetapi dia tertabrak mobil yang melaju kencang. Tubuhnya terpelanting beberapa meter dan tewas seketika. Kejadian itu, awal mula duniaku berubah kelam dan tak berwarna.
Aku terduduk lemah, merutuki kebodohanku hingga saat ini. Setiap kali hujan datang, diriku seakan-akan terlempar pada kenyataan yang begitu menyakitkan.
Harapan demi harapan yang kulangitkan kepada-Nya, kini telah musnah. Rayyan-ku tak bisa lagi menemani hari-hari nan sepi. Aku terpuruk makin dalam. Hidupku seolah-olah layu karena kehilangan pelita hati.
“Sayang, bangun.”
Tersebab lelah menangisi Rayyan, sampai-sampai aku tak sadar memejamkan mata dan tertidur.
“Eh, Mas sudah pulang?” tanyaku sembari mengusap sisa air mata yang telah mengering.
“Sudah.” Mas Fadli tersenyum, kemudian dia menuntunku untuk duduk di atas kasur. Dengan pasrah aku mengikutinya.
“Sayang, kenapa? Rindu sama Rayyan, ya?”
Aku hanya mengangguk, kemudian menenggelamkan kepala dalam dada bidangnya. Aku berharap mendapatkan kembali sumber energi dengan menghidu aroma tubuhnya.
Mas Fadli memelukku erat, seolah-olah dia tahu, bahwa aku butuh dekapan hangatnya untuk menghalau resah dan mendapatkan ketenangan.
“Sayang, sampaikanlah rindumu pada Allah. Ini semua sudah menjadi garis takdir-Nya. Relakan Rayyan pergi dengan memaafkan diri sendiri. Itu adalah cara agar kamu bisa bersemangat kembali, menikmati hari-harimu seperti biasa. Hidup dengan penuh kebahagiaan di dalamnya.”
“Ta-tapi, Mas. Semua ini salahku. Aku belum bisa memaafkan diri sendiri.” Aku kembali terisak bila memikirkannya.
“Ssst! Percaya sama Mas. Di atas sana, Rayyan juga akan bersedih jika melihatmu menangis setiap hari. Akan tetapi sebaliknya, bila kamu tersenyum dan bersemangat, sudah pasti Rayyan akan sangat bahagia, Sayang.”
Mas Fadli mengusap air mataku dengan lembut, kemudian mencium kening hingga beberapa saat. Sejenak, aku menikmati kebersamaan ini. perasaan hangat terasa mengalir ke dalam sanubari.
Semenjak Rayyan meninggal, aku telah berlaku zalim kepada Mas Fadli. Entah sengaja atau tidak, aku melupakan kewajibanku.
Dengan ketulusan hati, aku berucap lirih, “Maafkan aku, Mas. Maafkan sikapku beberapa waktu terakhir ini.”
“Iya, Sayang. Mas sudah memaafkanmu. Mas tahu, kamu belum siap kehilangan,” ucapnya tulus sembari mengusap pucuk kepalaku. “Sekarang mandi dulu, ya. Sebentar lagi azan Magrib, lho. Emang enggak mau salat berjamaah dan mengirimkan doa untuk Rayyan?” lanjutnya.
“Mau,” jawabku sembari mengangguk setuju. Setelah mengurai pelukan, kuraih handuk yang berada di belakang pintu, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Azan Magrib berkumandang, bersamaan dengan langkahku yang baru saja keluar dari kamar mandi. Segera aku kembali untuk mengambil air wudu, kemudian menuju ruang salat. Ternyata, di sana Mas Fadli sudah menungguku.
Seusai salat, kami mengirimkan doa untuk buah hati tercinta, Rayyan Alamsyah. Aku tak mampu menyembunyikan air mata. Kesedihan itu kembali hadir ketika pandangan mataku tak sengaja menatap lekat foto kami yang berada dalam bingkai di dinding.
Masih teringat dengan jelas, rasa syukur yang terucap tiada henti saat pertama kali kami berjumpa dengan Rayyan. Bocah berumur satu bulan yang kuambil dari panti asuhan. Dengan penuh rasa bahagia dan ketulusan, kuterima Rayyan menjadi bagian dari keluarga ini. Aku telah berjanji akan selalu menyayanginya sepenuh hati, meskipun dia terlahir bukan dari rahimku.
Terima kasih untuk kebersamaan yang singkat ini, Sayang. Semoga kamu bahagia di surga. Bunda janji, tak akan lupa untuk mengirimkanmu doa di setiap waktu. (*)
Kaki Lawu, 21 Agustus 2021
Kim Hana, wanita kelahiran Jawa penyuka drakor. Terjun ke dunia literasi sejak 12 Januari 2020. Suka sekali mengikuti event menulis di FB. Jika ingin mengenal lebih jauh, bisa intip akun FB-nya dengan nama yang sama.
Editor: Inu Yana