Cemburu
Oleh : Dhilaziya
Kali ini aku tidak suka senyumnya meskipun dia melakukannya sembari menatap mataku atau membelai lenganku. Aku tetap tak bisa mengenyahkan gundah di hatiku. Aku hanya berjuang agar pria di depanku tak mengetahuinya. Binar mata itu, aku membencinya. Terlebih ketika dia mulai bersenandung, rasanya aku ingin membekap mulutnya agar berhenti.
Sayangnya aku tak bisa. Aku malah ikut tersenyum, walau berpura-pura. Aku juga mengikutinya bernyanyi, lebih keras bahkan, walau sumbang. Sesekali aku mengecup pipinya, mengacak rambutnya, mencubit hidungnya, dan menowel dagunya. Aku bertingkah sebahagia dia.
“Harus mau makan sayur di sana, ya?”
“Siap!”
Dia menjawab sembari membentuk huruf O dengan merekatkan ujung ibu jari dan telunjuk kanannya. Dia mengarahkannya padaku sambil tersenyum, tak lupa juga dia mengedipkan mata. Itu adalah kebiasannya jika kira-kira tak bisa berjanji benar-benar memenuhi pesanku.
Tiba-tiba dia memelukku, erat. Erat sekali. Dia meletakkan dagunya di pundakku lalu berbisik bahwa dia akan baik-baik saja. Bahwa dia akan ingat padaku. Bahwa dia akan kembali. Bahwa dia akan banyak makan, cukup istirahat, bekerja keras, dan mengabariku setiap kali ada kesempatan. Dia bicarakan janjinya yang adalah harapanku, lalu air mataku menitik.
Aku menangkup kedua pipinya, lantas berbisik bahwa sebenarnya aku tak suka dia pergi. Dia sudah tahu, tapi dia bilang harus melakukannya. Aku menatap matanya dalam, berharap dia bisa menemukan kubah cintaku yang meluap-luap dan tumpah ruah untuknya. Selama sekian detik, hening melingkupi kami. Berikutnya kembali kami berpelukan.
Usai menyusut air mata dengan ujung baju, aku melanjutkan merapikan kopernya. Memastikan dia punya cukup persediaan pakaian dalam selama sepekan, aku takut dia hanya sempat mencuci seminggu sekali. Mengingatkannya agar memakai kaus kaki saat tidur malam, karena setahuku tempat yang akan dia tinggali cukup dingin. Menggulung kaus dan kemejanya dengan hati-hati, agar tetap rapi saat dia membongkar kopernya nanti. Memberitahunya agar tidak terlalu sering makan mi instan dan menjemur handuk setiap kali selesai dipakai.
“Iyaa, Bibi Ai yang bawel.”
“Bibi cuma khawatir.”
Ah, mana dia mengerti perasaanku. Anak muda yang tengah begitu bersemangat memasuki dunia baru, dunia yang belum bernah dia tahu. Dia hanya peduli pada maunya sendiri. Merasa dirinya sudah besar dan mampu melakukan apa saja juga yakin bahwa dia tak butuh aku lagi.
Dua belas tahun lalu, ketika dia hanya bisa menangis untuk mengatakan apa saja, siapa yang selalu ada? Aku. Menghangatkan ASI dari ibunya, lalu memeluknya sementara dia menikmati aliran nutrisi terbaik memasukinya. Membersihkan tubuhnya setiap kali dia merasa tak nyaman—sejak bayi dia sudah menunjukkan bahwa dia menyukai kebersihan—lalu menggendongnya sembari mengajak bercakap. Menidurkannya dengan beberapa doa dan surat pendek yang kemudian menjadi surat yang paling mudah dihapalkannya saat belajar mengaji. Menemaninya bermain, melakukan apa saja untuknya supaya hatinya senang. Menjadi ibunya agar perempuan yang melahirkannya tenang dalam bekerja di luar rumah—berangkat saat malam belum usai dan pulang tatkala azan Isya selesai berkumandang. Menjadi ayahnya agar pria yang bertalian darah dengannya itu bangga setiap kali menjumpainya. Ayahnya bekerja di luar kota, datang mendekapnya dua pekan sekali.
Tahu apa dia soal cemasku setiap kali badannya demam. Paham apa dia sakitnya hatiku setiap kali melihatnya menangis. Mengerti apa dia akan resahku setiap kali menyaksikannya merajuk. Tidak ada, kecuali bahwa baginya aku selalu ada semenjak dia lahir hingga sekarang.
Itu mengapa aku membenci senyumnya hari ini. Kebungahan di hatinya karena hendak masuk asrama sekolahnya, keceriaan di wajahnya membayangkan memiliki kawan serumah selain seorang perempuan beranjak tua yang kian cerewet, gelora semangat di matanya merencanakan hari-hari penuh seru ke depan. Semua itu menyakitiku, membuatku pilu.
Semua itu berawal dari keputusannya untuk melanjutkan sekolah di SMP dengan model pembelajaran seperti pesantren. Dia senang karena di sana, dia tidak akan pernah kesepian. Dia bahagia karena tak perlu merasa seolah tak berayah-ibu. Semua kawannya akan sama dengannya, jauh dari orang tua. Dia lega membayangkan tak harus bersusah payah mengerjakan tugas sekolah sendiri, tanpa ada yang mengajari. Akan ada guru, kawan, atau siapa saja asal bukan aku, yang lebih banyak menjawab tidak tahu. Dia merasa hidupnya akan jauh lebih baik di sana, jauh dariku.
Aku sungguh dan semakin cemburu. Cemburu menyadari bahwa dia akan bahagia meski tanpa aku, walau kian erat dia memelukku. (*)
30082021
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Sumber Foto : https://id.pinterest.com/pin/581808845607103334/
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata