Hari Kepulangan Delia

Hari Kepulangan Delia

Hari Kepulangan Delia

Oleh: Retno Ka

 

 

Rasa heran di benak Delia bertumpuk-tumpuk kian banyak. Belum terjawab dengan jelas alasan mengapa Ro menjemputnya pulang dengan taksi padahal mereka punya sepeda motor. Kini, saat ia berjalan masuk rumah, ia perlahan terperenyak karena merasa salah alamat. Rumah yang ia kenal dulu, begitu meriah dengan barang-barang yang peletakannya simpang siur. Dan, pemandangan itu tidak ia temui sebelumnya. Kursi tamu yang biasanya di tengah-tengah ruangan, mainan yang bertebaran di lantai, noda dan coretan di sekujur tembok. Bahkan aroma rumah itu tercium berbeda di hidung Delia. Ada juga tiga buah benda pecah belah yang biasanya paling dilarang berada di ruangan itu, berjejer cantik di atas meja dalam bentuk vas kaca dengan setangkai bunga mawar segar di masing-masing vas.

Delia sangat tak percaya hingga ia berkali-kali memastikan kepada Ro apakah mereka perlu berbalik arah atau tidak. Bagaimanapun Ro meyakinkan, Delia tetap saja menyangsikan. Ia baru percaya ketika empat sosok dari dalam rumah berlari menyongsongnya dengan satu teriakan yang sama. “Mamaaa!”

Mereka memeluk Delia bersamaan begitu lama. Ivny si sulung yang sudah masuk SMP, Emaya yang duduk di kelas tiga SD, dan si kembar Ja dan Ka yang harus mengulang TK A karena sering bersekongkol menjaili teman-teman mereka hingga menangis. Delia merindukan mereka sebesar mereka merindukan Delia.

“Ay lepasin! Mama kalian harus istirahat,” ujar Ro sambil menggandeng Delia masuk ke kamar.

Anak-anak itu mengikuti dan tak mau berpisah barang sejengkal dari Delia. Mereka mengitari tubuh Delia yang berbaring di ranjang. Sementara Ro di ujung ranjang, memijat-mijat kaki Delia.

Emaya di sisi kiri Delia, memeluk lengan Delia sambil terpejam. Ia adalah anak paling manja di antara yang empat. Orang-orang bilang, sifat manjanya akan berkurang jika punya adik, tetapi kenyataannya, justru kian menjadi ketika si kembar benar-benar lahir.

Beruntung si kembar tidak ikut manja. Mereka lebih senang melakukan sesuatunya berduaan saja, bermain di halaman, ruang tamu, bahkan ke rumah teman mereka yang terkadang sampai ke dusun sebelah. Tidak melulu harus ditunggui oleh Delia apalagi Ro. Namun, ketika Delia bertanya tentang kegiatan mereka pada sore hari saat memotong kuku mereka atau malam hari saat akan tidur, mereka pasti sangat antusias menceritakan semuanya tanpa melewatkan apa pun.

Sebagaimana saat ini, Ja dan Ka berbicara tanpa peduli giliran, menceritakan apa yang terjadi ketika dua pekan lamanya Delia tak di rumah. Sementara Ivny, seperti biasanya, pendiam dan tidak mudah ditebak. Ia yang sedari tadi hanya senyum-senyum sembari mengelus rambut Delia, tiba-tiba beranjak keluar kamar.

“Mau ke mana Ivny?” tanya Delia.

“Ke dapur, Mama. Bikin bolu!” teriak Ivny.

Delia geleng-geleng dan menatap satu-satu orang yang ada di sana.

“Ivny bikin bolu? Aku bahkan tak pernah melihatnya menjerang air.”

“Kami belajar banyak hal selama Mama nggak di rumah, Ma,” ujar Emaya dengan mata masih terpejam. Bibirnya tampak sesekali menciumi lengan Delia.

“Oh, ya? Apa saja?”

“Cuci piring, cuci baju, nanam bunga,” kata Ja bersemangat.

Ka ikut menyela, “Nyapu, ngepel, ngecat rumah.”

“Ayah bahkan sudah bisa masak nasi.” Emaya berkata sambil mendekap tubuh Delia kian erat.

“Benarkah?” Delia memandang ke arah Ro. Ro tersenyum sambil garuk-garuk kepala, tersipu.

“Kayaknya Mama harus pergi lebih lama, nih. Biar kalian bisa belajar lebih banyak lagi.” Delia mengatakannya dengan ringan, tetapi reaksi suami dan anak-anaknya sangat tak biasa. Mereka menerjang Delia dengan pelukan, dan berteriak nyaris bersamaan.

“Nggak boleh!”

Emaya bahkan menangis. “Kenapa Mama ngomong hal yang menakutkan?”

Delia mengangguk, rasa herannya sudah terjawab. Rupanya, keberadaannya di rumah sakit menumbuhkan rasa trauma pada anak-anaknya, bahkan kepada Ro yang ia kenal begitu tangguh.

“Kamu nggak tahu bagaimana sedihnya aku pas kamu di rumah sakit, De,” ujar Ro saat mereka dalam perjalanan pulang, beberapa saat yang lalu. Air mukanya begitu murung, empat belas tahun hidup bersama, Delia baru sekali melihat air muka Ro seperti itu.

“Kamu sedih karena harus membereskan rumah sendirian?” tanya Delia mencoba mencairkan suasana.

“Bukan!” tampik Ro. “Aku bahkan rela kalau harus jadi ayah rumah tangga untuk seterusnya.”

Delia terkekeh. “Terus aku yang kerja?”

“Nggak. Aku yang bersih-bersih rumah, aku juga yang kerja. Kamu diam saja di rumah sama anak-anak. Baca buku, nonton tivi.”

“Bosen, dong?!”

“Boleh jalan-jalan ke taman, De. Tapi harus hati-hati. Ya?”

“Iya, iya. Aku nggak akan ketabrak mobil lagi.” Delia terbahak-bahak saat mengatakannya, dan wajah murung Ro berubah berkali-kali lipat menjadi lebih murung.

Delia pun menghentikan tawa, tak mengatakan apa-apa lagi sampai taksi yang mereka tumpangi tadi berhenti di depan rumahnya yang asing. Padahal, ia belum melontarkan pertanyaan yang mengganjal di benaknya sejak Ro menuntunnya di parkiran rumah sakit. Perihal mengapa Ro harus menjemputnya dengan taksi yang tarifnya tinggi, sedangkan mereka bisa saja lebih hemat jika naik motor sendiri. Delia pun merasa kakinya sudah cukup kuat jika hanya untuk duduk membonceng di sepeda motor.

Dalam suasana yang mendadak sendu karena Delia mengingat perjalanan dari rumah sakit ke rumah, Ivny datang dengan sebuah nampan kecil di tangannya. Semua mata berpaling ke arah pintu, karena aroma pandan yang menarik-narik bulu hidung. Ja dan Ka melompat dari ranjang, kegirangan menyambut bolu kukus yang tampak masih sedikit mengepulkan uap panas. Mereka hendak meraih bolu itu, tetapi gagal karena Ivny meninggikan nampan hingga setinggi kepala.

“Nggak boleh!” gertak Ivny kepada Ja dan Ka. “Ini buat Mama.”

Ja dan Ka tak menyerah. Terus menggapai-gapai nampan itu dengan tangan mungil mereka. Ro mencoba menghentikan keduanya, khawatir bolunya berakhir jatuh ke lantai dan tak bisa dimakan. Emaya yang tampak santai, rupanya tak mau kalah.

“Kalau aku, boleh minta, ya, Kak?” kata Emaya.

Namun, jawaban yang keluar dari mulut Ivny tetap sama.

“Nggak boleh! Ini buat Mama.”

Delia tertawa melihat tingkah laku mereka. Sudah lama sekali ia tak mendapati momen kebersamaan seperti itu. Dalam hati, ia memanjatkan rasa terima kasih secara berulang-ulang kepada Pemilik Kehidupan. Atas segala hal, bahkan untuk kecelakaan yang menimpanya saat ia hendak menyeberang ke pasar hingga membuat lutut kaki kirinya sedikit bergeser dan bagian atas kepalanya mengalami luka robek yang panjang.

“Sudah, sudah! Sini Mama suapin kalian satu-satu. Tapi Mama dulu, ya. Kak Ivny bikin ini buat Mama soalnya.”

Anak-anak sekaligus ayahnya berbaris memanjang. Dimulai dari Ja, Ka, Emaya, Ivny, lalu Ro. Delia mencubit bolu itu sedikit-sedikit, lalu menyuapi mereka tidak peduli jika ia belum cuci tangan.

Saat giliran terakhir tiba, Ro yang selesai mendapat jatah bergumam. Ia bermaksud menyampaikan suatu hal kepada Delia dengan sebuah basa-basi di awalan.

“Jangan kaget, ya, De.”

Namun, alih-alih kaget, Delia justru lega karena akhirnya pertanyaannya yang tak sempat diutarakan telah menemukan jawabannya.

“Motor kita kugadai, De, buat biaya rumah sakit kamu. Nggak apa-apa, ya? Tapi jangan cemas, aku pasti cepat menebusnya lagi.”(*)

 

Jepara, 19 Juli 2021

 

Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki.

 

Editor: Dyah Diputri

 

pict sourch:

https://pixabay.com/id/illustrations/ibu-keju-keluarga-keju-ibu-6252641/

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply