Red Coat Girl
Oleh : Arya Kusuma Mayangkara
Semburat warna jingga di angkasa pertanda hari mulai senja, menemani langkahku menyusuri deretan gedung-gedung tinggi di kota tua Manhattan, New York.
Aku harus bergegas menemui Stella di kedai kopi langganan kami. Sepertinya, aku sudah terlambat tiga puluh menit dari waktu yang kujanjikan semalam.
Stella berkata, ada hal penting yang perlu dibicarakan terkait rencana pernikahan kami bulan depan. Namun, dia tak ingin mengatakannya lewat telepon. Kami harus bicara empat mata, demikian ujarnya padaku.
Hatiku sedikit was-was. Apakah Stella berubah pikiran, lalu ingin membatalkan rencana pernikahan kami? Aku mengerti, tekanan batin pada diri wanita yang sedang mempersiapkan pernikahan, terkadang membuat emosinya menjadi naik turun.
Sering aku berdebat dengan Stella soal dekorasi ruangan ballroom atau pilihan warna serbet meja makan. Aku yang pasif dan menyukai kesederhanaan, lebih memilih menyerahkan segala keputusan padanya. Aku lihat seleranya cukup baik dalam memilih pernak pernik pernikahan. Persiapan acara sudah delapan puluh persen. Gaun pengantin cantik berwarna putih idaman Stella telah selesai dijahit sesuai keinginannya.
Sebagai kekasih, aku dianggap terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang peka kepadanya. Stella merasa semua beban persiapan pernikahan harus disandangnya seorang diri. Bukankah aku telah membebaskan dia mewujudkan pernikahan impiannya? Urusan finansial untuk kebutuhan pernikahan pun tak menjadi masalah buatku. Apakah itu semua tidak cukup?
Sore ini angin bertiup kencang sepanjang jalan. Kumasukkan telapak tangan dalam saku jaket karena udara terasa begitu dingin. Rasa penasaran tentang apa yang akan dikatakan Stella, menambah kalut pikiranku. Tanpa sengaja, aku menabrak seorang gadis pejalan kaki dari arah yang berlawanan. Berkas yang dibawanya jatuh berhamburan. Setelah membantunya memunguti berkas di trotoar dan meminta maaf, aku pun bergegas pergi.
Pikiranku melayang sambil bertanya-tanya. Wanita, mengapa kalian begitu rumit meskipun tak mampu membuatku jera untuk mencintai? Kurasa, hidupku tak sempurna tanpa kehadiran seorang wanita. Meski kadang aku kewalahan menghadapi ulah Stella yang kekanak-kanakan atau emosinya yang meledak-ledak saat akan datang bulan.
Kedai kopi di sudut jalan milik Dave sore ini cukup ramai. Para pekerja kantoran datang untuk melepas lelah bersama teman, atau menghabiskan waktu berdua dengan kekasih mereka.
Kulihat dari kejauhan Stella duduk di sudut cafe sambil memainkan ponselnya. Dia tampak sangat cantik dengan coat berwarna merah terang, dan rambut hitam panjang yang tergerai.
“Sudah lama, Stel?” tanyaku menegurnya.
Stella bangkit, memelukku lalu mencium pipiku, raut wajahnya tampak kesal. “Sudah satu jam aku menunggumu di sini, Dion. Apakah kamu sibuk hari ini?”
“Maaf, aku terlambat, Sayang. Ada masalah di kantor yang harus kuselesaikan segera,” jawabku sambil tersenyum.
“Baiklah, kamu mau minum apa? Espresso atau cappuccino?”
“Cappucino saja.”
Stella melambaikan tangan pada pelayan dan memesan secangkir cappuccino untukku.
“Dion, apa kamu mau makan sesuatu?”
“Tidak, itu saja.“
Setelah pelayan pergi, Stella mengambil sesuatu dari dalam tasnya, cincin pertunangan yang pernah kusematkan di jari manisnya enam bulan yang lalu.
“Dion, aku mengajakmu bertemu karena ingin mengembalikan ini,” ujar Stella sambil meletakkan cincin itu dalam genggamanku.
“Ada apa, Stella? Apakah kamu membatalkan pernikahan kita?” Aku mencoba meredam perasaan yang mulai tak keruan dengan pertanyaan.
“Iya, Dion. Aku minta maaf, tidak bisa menikah denganmu,” jawabnya datar.
“Mengapa? Aku salah apa padamu?” tanyaku gusar.
Stella menunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapanku. Sekilas kulihat air matanya mulai merebak.
“Sudah seminggu ini aku banyak berpikir. Semakin dekat hari pernikahan kita, aku semakin yakin bahwa kita berdua tidak cocok bersama,” kilahnya.
“O, ya? Atas dasar apa kamu bisa menyimpulkan demikian, Sayang?” Meski aku berusaha untuk tegar, namun tak urung bibirku bergetar.
“Pernikahan itu untuk seumur hidup Dion. Aku tidak ingin kamu menyesal menikahiku, demikian juga sebaliknya,” tutur Stella di sela isakan tangisnya.
“Tunggu dulu Stella, sepertinya kamu yang takut menyesal karena memilih aku,” cecarku menuntut penjelasan.
“Dion, please, kamu tidak tahu betapa sulit aku mengatakan semua ini.”
“Stella, apa kamu sudah tidak mencintaiku lagi?” tanyaku sambil menatap matanya.
“Dion, kita sudah tiga tahun bersama, apa pantas kamu meragukan cintaku?” Nada suara Stella mulai meninggi. Dia sedang membela diri.
“Baiklah, maafkan aku, Sayang. Aku juga sangat mencintaimu. Aku rasa, keputusanmu ini karena terbawa emosi saja, Stella.”
“Dion, aku tahu kamu sangat mencintaiku, kamu juga terlalu baik untukku. Aku merasa tak pantas untuk terus di sampingmu.”
Aku bergeser dari tempat dudukku, mendekati tubuh Stella dan memberinya pelukan.
“Sudahlah, jangan menangis lagi, Sayang. Lihat, semua orang mulai menguping pembicaraan kita. Aku rasa kamu hanya stres karena persiapan pernikahan kita.”
“Bukan hanya itu, Dion. Aku akui memang aku sedang stres karena acara pernikahan ini. Tetapi kenyataannya, aku dan kamu memang tidak cocok. Kita hanya berpura-pura tidak terjadi apa-apa, seperti menimbun api dalam sekam.”
“Oke, aku minta maaf jika aku kurang peka atau kurang peduli padamu. Akhir-akhir ini, pekerjaanku cukup padat sehingga kita jarang bertemu.”
“Justru itu, bagaimana jika nanti kita sudah menikah dan sikapmu tetap seperti itu? Aku butuh lelaki yang selalu ada kapan pun aku membutuhkan dia, Dion.”
“Begini saja, aku minta kamu berpikir lagi, tenangkan dirimu dulu. Pergilah bersenang-senang ke mana pun kamu mau. Pakai saja kartu debitku. Aku tak akan mengganggumu.”
“Tapi, Dion ….” Stella seperti ragu akan usulku.
“Tenang dulu, Stella, turuti saja saranku. Semoga seminggu lagi, kamu tidak lagi berubah pikiran, Sayang,” ujarku sambil membelai rambutnya.
Stella menerima kartu debitku dengan ekspresi datar. Aku tahu dia ragu. Namun, aku yakin masih ada cinta yang besar di dalam hatinya untukku.
Aku kembali memasang cincin pertunangan kami di jari manisnya. Sambil menikmati kopi masing-masing, sore itu perlahan suasana kembali mencair di antara kami berdua. Kami tertawa bersama seolah tidak terjadi apa-apa.
***
Pagi ini aku berencana menjemput Stella di apartemennya untuk piknik bersamaku. Sudah satu minggu sejak pertemuan kami di kedai kopi milik Dave. Tidak ada komunikasi di antara kami berdua sesuai janjiku, supaya kami bisa saling introspeksi dan menenangkan diri masing-masing.
Aku yakin, Stella kini baik-baik saja. Pernikahan kami tinggal tiga minggu lagi. Aku berharap, kali ini semua berjalan lancar tanpa ada drama dengannya seperti minggu lalu.
Setelah memarkir mobil di basement, aku langsung naik ke lantai tiga menuju apartemen Stella. Sengaja aku tidak menelepon dia terlebih dahulu, untuk memberi kejutan untuknya.
Seminggu terasa lama sekali bagiku. Aku rindu tawa dan kerlingan matanya. Kugenggam erat buket mawar merah kesukaannya. Pintu lift terbuka, aku melangkah dengan dada berdebar seperti hendak kencan pertama dengan gadis pujaan.
Kubuka pintu dengan kunci cadangan yang kubawa. Apartemen ini aku beli untuk Stella enam bulan yang lalu, sebagai hadiah pertunangan supaya dia lebih dekat dengan kantornya.
Perlahan-lahan kubuka pintu kamar tidurnya. Alih-alih memberi kejutan, malah aku sendiri yang terkejut, sehingga buket mawar yang kubawa terlepas dari genggaman. Mataku terbelalak, aku melihat Stella sedang tidur pulas di pelukan Mike, sahabatku sendiri.
“Stella!” teriakku geram, lidahku terasa kelu saat menyebut namanya. Susah payah aku menahan gejolak amarahku. Mereka berdua terbangun dan terkejut melihatku. Kutatap wajah Mike dengan tangan terkepal. Aku tak percaya sahabatku sendiri berani mengkhianatiku.
“Dion?” seru Stella panik, dia bangkit dari ranjang, memakai gaun tidurnya dan menghampiriku. Gegas aku tinggalkan mereka berdua, sebelum amarahku meledak. Udara terasa pengap dalam kamar ini. Kamar pengantin milikku dan Stella. Dadaku terasa sesak oleh perasaan jijik dan marah menjadi satu.
“Dion tunggu! Aku bisa jelaskan, Sayang.” Stella berlari tergesa mengejar langkahku.
“Enough, Stella. Don’t say anything! Aku tidak butuh penjelasanmu!” jawabku geram, tak memberinya kesempatan untuk bicara. Memandang wajahnya pun aku enggan.
Segera aku tinggalkan apartemen Stella. Sebelum aku gelap mata dan memukuli sahabatku sendiri. Mike yang selama ini menjadi tempat curahan hati Stella jika sedang bertengkar denganku, sering pula menasihatiku untuk berubah sikap, tak kusangka tega menikamku dari belakang.
***
Aku menenangkan diri di kedai kopi milik Dave. Mencoba memahami apa yang terjadi. Aku tak percaya telah kehilangan kekasih sekaligus sahabatku sendiri. Tak kuhiraukan puluhan panggilan telepon dari Stella dan Mike.
Terngiang kata-kata Stella padaku di kedai kopi sore itu, bahwa dia butuh lelaki yang selalu ada di sampingnya kapanpun dia inginkan. Ternyata, Mike sahabatku adalah jawabannya. Persahabatan sepuluh tahun hancur karena hadirnya seorang wanita. Wanita yang kucintai sepenuh hati.
Tak bisa kupungkiri, semua ini terjadi karena ada andilku di dalamnya. Namun, aku menyadari bahwa sulit meyakinkan seekor lalat bahwa sampah itu busuk. Seorang pengkhianat selamanya akan tetap menjadi pengkhianat, tak perlu diberi kesempatan kedua.
Aku masih menertawakan kebodohanku dengan menghabiskan waktu di kedai kopi milik Dave hingga menjelang malam. Bercangkir-cangkir kopi kusesap isinya panas-panas, sehingga lidahku kebas dan lambungku terasa perih, seperih hatiku. Otakku mulai lelah mencerna semua ini, meski kafein membuat mataku tetap terjaga.
Sesekali kulempar pandangan ke luar jendela. Berharap dia melintas di depan sana, membuka pintu dan melangkah masuk menghampiriku. Siluet gadis cantik berambut hitam dengan coat merah terang, akan selalu terkenang. (*)
Surabaya, 15 September 2021
Arya Kusuma Mayangkara adalah nama pena penulis berambut gondrong yang lahir dan dibesarkan di kota Surabaya. Kegemarannya membaca buku sastra dan buku motivasi membuat bapak dua anak ini tertarik untuk menulis naskah dalam bentuk cerita pendek. Penggemar film action dan komedi ini biasanya menulis di sela-sela kesibukan profesinya sebagai nakes. Pria yang suka menebar tawa di setiap postingan Facebooknya, cukup aktif berinteraksi dengan pembaca dan sesama teman literasi untuk perbaikan tulisannya.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata