Apa yang Terjadi?
Oleh: Noey
“Kalian tahu kenapa penghuni panti asuhan ini tak pernah bertambah jumlahnya?” Lizzy, si cerewet berambut blonde mulai membuka percakapan. Anak-anak yang lain mengerubunginya seperti semut, mereka semua menggeleng mendengar pertanyaan Lizzy.
“Karena setiap tahun, selalu ada anak yang menghilang, dan setelah itu akan ada anak baru yang menggantikannya.”
“Whoaaa ….” Anak-anak berseru, mereka bertambah penasaran akan cerita Lizzy.
“Sssttt ….” Lizzy menempelkan telunjuk di bibirnya.
“Sudah kubilang jangan berisik! Apa kalian mau pengasuh panti memarahi kita karena belum tidur? Kalau kalian berisik, aku tak mau melanjutkan ceritanya.” Lizzy bersedekap, matanya melotot. Mereka mengangguk. Rasa penasaran membuat mereka menuruti semua perkataan Lizzy.
Aku hanya diam berbaring di kasurku. Tak ikut mengerubunginya. Tapi, telingaku mendengarkan dengan seksama semua perkataannya.
“Karena, penghuni panti ini hanya boleh berisi 13 anak lelaki dan 13 anak perempuan.” Lizzy memulai ceritanya lagi.
“Karena itulah, setiap tahun, ada anak yang menghilang. Whusss ….” Lizzy menggerakkan tangan dengan cepat.
“Mereka hilang tanpa jejak. Menurut pengasuh panti mereka diadopsi. Tapi, aku tak yakin ….”
“Apa kau tahu alasannya?” Eliah, gadis kecil bertubuh tambun bertanya pada Lizzy. Lizzy hanya mengedikkan bahunya.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki mendekat. Mereka berlarian membubarkan diri dan kembali ke tempat tidur masing-masing. Sepertinya itu suara pengasuh panti yang memeriksa keadaan kami.
Aku segera menutup mata, mencoba tidur.
Tiba-tiba aku terpikir akan sesuatu. Elsa, Janet dan Brian, tiga anak yang kukenal saat pertama masuk ke panti ini, sekarang entah ke mana.
Rata-rata penghuni di sini masih kecil-kecil. Hanya aku, Lizzy, dan Bethany yang paling besar. Aku dipindahkan ke panti asuhan ini karena panti asuhan tempatku dulu terbakar dan hancur lebur. Penghuninya akhirnya dipindahkan ke panti asuhan lain yang mau menerima kami. Hanya aku yang dipindahkan ke sini. Yang lain, entah dibawa ke mana.
***
Panti asuhan ini milik seorang bangsawan. Tuan Rudolf namanya. Pemilik perkebunan paling besar di Bloomberg. Ia juga memiliki bangunan-bangunan megah di kota yang disewakan. Tapi kami tak pernah melihatnya. Hanya setiap akhir tahun, kami akan diberikan tiket gratis ke museum miliknya. Di sana ada lukisan wajah Tuan Rudolf, terpampang di tengah museum dengan ukuran super besar.
Aku bergidik saat pertama kali melihat lukisan wajahnya. Wajahnya tegas, dengan rahang yang keras. Rambut panjang ikal tergerai dengan mata tajam berwarna coklat yang seperti sedang mengintai. Bibirnya berwarna kehitaman seperti kebanyakan para perokok, tersenyum tipis. Lebih seperti menyeringai kalau menurutku.
***
Kami dikumpulkan di ruang makan untuk sarapan, kemudian mendapat pengumuman dari Miss July–pengasuh panti– bahwa besok kami mendapat tiket gratis lagi ke museum. Anak-anak lain bersorak, tidak denganku. Aku sudah tiga kali ke sana, bosan.
“Kali ini bukan hanya jalan-jalan ke museum, kalian juga bisa bermain sepuasnya di wahana permainan baru yang baru dibuka di kota.” Miss July memberikan berita gembira lagi, anak-anak semakin riuh bersorak, terutama anak laki-laki.
Bethany langsung mendekatiku, “Angel, nanti kau temani aku di wahana permainan, ya. Kau tahu kan aku ini penakut.” Aku hanya mengangguk.
Tapi, entah kenapa perasaanku mendadak tak enak. Kupegang bandul kalung di leher, kebiasaanku jika sedang khawatir. Kalung perak dengan bandul batu ruby berwarna hitam. Satu-satunya benda yang ada di keranjang bayi saat aku pertama ditemukan.
***
Kami berjalan dengan pelan sambil mendengarkan penjelasan pemandu museum. Rasa bosan mulai menghampiriku, mulut ini tak henti-hentinya menguap.
Museum bukan tempat kesukaanku.
Kami berpindah ke ruangan berikutnya. Di tempat ini dipajang aneka kendaraan antik. Kereta kuda, sepeda, sampai mobil tua. Di tembok bagian utara ada sebuah pintu.
Aku melambatkan langkahku, berharap itu pintu keluar dari ruangan ini. Ingin rasanya menghirup udara segar sebentar sebelum kami melanjutkan perjalanan ke tempat permainan.
Saat aku hendak berbalik menuju pintu, Bethany menarik tanganku.
“Kau mau ke mana?” Ia bertanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.
“Aku mau mencari udara segar. Nanti kutunggu di luar. Saat tur museumnya sudah selesai, aku akan menyusul kalian.” Aku balas berbisik di telinganya.
“Tak mau, aku ikut denganmu.”
Kami berjalan mengendap-endap supaya tak terlihat Miss July. Yes, pintunya tak terkunci. Cepat-cepat kami membuka pintu kayu berwarna coklat itu.
Sayangnya, itu bukan pintu keluar. Pintu itu malah membawa kami ke ruangan lain di museum ini. Namun, rasanya aku belum pernah masuk ke ruangan ini.
Ruangannya cukup gelap, hanya ada lampu kecil dengan bohlam berwarna kuning yang menerangi ruangan.
Ada sebuah gerbong kereta usang dengan cat yang sudah terkelupas di dalamnya. Bethany menarik tanganku saat hendak mendekati gerbong itu.
“Angel, ayo kita kembali ke ruangan tadi. Sepertinya kita salah masuk ruangan, itu bukan pintu yang membawa kita keluar.” Suaranya mencicit seperti ketakutan.
Suasana di ruangan ini memang cukup seram. Pengap dan berbau lembab seperti tak pernah ada udara masuk. Aku memutuskan mengikuti kemauan Bethany.
Saat kami hendak melangkah menuju pintu, terdengar ketukan dari dalam gerbong.
Tok … tok … tok
Bethany sampai melonjak karena terkejut. Kemudian terdengar suara orang minta tolong. Walaupun samar, tapi itu terdengar seperti orang yang hampir kehabisan napas.
Aku mencoba mendekat, suara ketukan itu kembali terdengar. Kucoba menarik tuas yang ada di pintunya. Terkunci.
“Apa ada orang di dalam?”
“Angel, ayo kita pergi,” ajak Bethany, ia terlihat gemetar karena ketakutan.
“Apa kau tidak mendengarnya? Bagaimana kalau ada orang yang terluka di dalam gerbong ini? Kita harus menolongnya, ayo bantu aku, Beth.” Aku mencoba membujuknya. Walaupun takut, tapi akhirnya dia mau membantuku membuka pintu gerbong.
Ceklek ….
Tiba-tiba pintu gerbong itu terbuka sendiri, asap hitam keluar dari dalam gerbong. Kami seperti tertarik ke dalamnya. Aku dan Bethany berteriak kencang. Tanganku mencoba menggapai apa saja yang ada di dekatku untuk dijadikan pegangan. Tapi percuma, tenaga kami tak seimbang dengan kekuatan yang menarik kami.
Aku hanya bisa memejamkan mata, kupegang bandul kalungku sambil berdoa, tolong aku, Tuhan.
***
Aku membuka mata, mencoba menghalau sinar yang membuat mataku silau dengan sebelah tangan. Kuedarkan pandangan ke sekitar.
Hah … kenapa aku sudah berada di kamar tidur panti? Bukannya tadi aku sedang bersama Bethany di museum?
Miss July masuk ke kamar dan duduk di tepi ranjang.
“Bagaimana keadaanmu, Angel? Kemarin kami membawa kamu pulang karena kamu pingsan di museum,” ucap Miss July.
“Bethany, di mana dia?” Aku langsung menanyakan keberadaannya.
“Apa kamu tidak tahu, Bethany sudah keluar dari panti ini, semalam ada pasangan yang mengadopsinya.”
“What? No way!”
Pdg, 15092021
Noey, ibu tiga anak yang suka membaca dan sangat menyukai warna ungu.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: pixabay