Hadirmu
Oleh: Melati ER
“Jangan lupa sepulang sekolah, kita beresin ruang serbaguna. Nanti malam, semua peserta pentas seni akan geladi resik,” ujarku, mengingatkan teman-teman panitia untuk acaranya anak-anak kelas sepuluh SMA Tunas Negeri.
Saat ini, di ruang serbaguna sudah seperti pasar kaget. Banyak pernak-pernik penuh warna dari dekor untuk acara pentas seni dengan tema ‘Bersama Kamu Bisa’ yang berserakan. Itu karena para tukang yang kami pekerjakan sedang membuat panggung. Untung saja suara riuhnya tidak memantul ke kelas-kelas. Di setiap acara pentas seni, memang selalu menyita waktu dan tenaga para panitia. Termasuk urusan mencari bintang tamu agar anak-anak tetap semangat. Baik pengisi acara maupun penonton.
Menjelang sore, mulai banyak yang mondar-mandir mempersiapkan penampilan mereka. Dari mulai mempersiapkan kostum, hingga peralatan lain yang disiapkan sendiri. Kami selaku panitia, turut sibuk. Terutama para penanggung jawab panggung. Mereka tengah menggelar atributnya di lantai dekat panggung, agar mudah mengambil dan memasangkannya di dinding.
“Aduuuh, capek banget gue. Naik turun tangga pasang ginian,” ujar Rere.
“Iya, padahal udah dibantu tukang buat ngurus panggung,” timpal Denis.
Mereka berdua terlihat kelelahan. Rere segera duduk di pinggir panggung dan menyodorkan guntingan huruf kepadaku.
“Ya udah, disemangatin aja, ‘kan kalian panitia dekor dan panggung,” kataku sembari memberi tanda checklist di sebuah papan khusus berisi tulisan apa saja yang sudah siap.
Kali ini, panitianya sebagian besar dari anak kelas sebelas. Dalam rapat pembentukan panita, aku ditunjuk sebagai ketuanya. Jadi, bisa dibilang tanggung jawab acara ini ada di pundakku. Kebetulan juga, aku sebagai wakil ketua OSIS. Mau tidak mau, aku harus bisa menjalaninya dengan baik.
“Kak Ranti! Sound-nya kayaknya belum beres deh, listriknya enggak kuat!” teriak Siko dengan muka bulatnya. Dia terlihat bingung.
“Oke. Gue ke tempat lo!” jawabku sambil berlalu dari Rere dan Denis.
Banyak orang berseliweran membuatku tidak melihat jalan yang aku lalui. Tanpa sengaja, aku menginjak genangan air dari tumpahan botol minum anak-anak yang habis rehat. Sehingga membuatku oleng, terpeleset.
“Aduuuh, … aaah …!” teriakku sembari mencoba tetap menjaga badan tetap seimbang agar tidak langsung terjerembap. Namun, terlambat. Badanku nyaris terjatuh.
“Hati-hati!” Kudengar seseorang memperingatkanku dan kurasakan tubuhku ditahan seseorang, hingga tidak langsung jatuh ke lantai. Suara datar itu singgah di telingaku. Dengan cepat aku menoleh dan melihat senyum tipis seseorang itu. Sejenak aku tersihir dengan senyum dan wanginya.
Aku masih terkejut dengan sosoknya yang tiba-tiba itu.
Siapa dia? Wajahnya tidak kukenal dan mengapa ada di ruangan ini, pikirku tanpa melepas pandangan dari wajahnya. Aku berusaha bangkit dan merapikan posisi berdiri dengan agak gugup.
“Oh … eh … hmm, makasih, ya.”
Hanya kata-kata itu yang bisa keluar dari bibirku. Dia pun hanya tersenyum dan mengangguk kecil, kemudian beranjak pergi. Aku pun segera bertanya sebelum dia berlalu.
“Tapi siapa kamu? Kayaknya bukan siswa sini, kan?” tanyaku dengan sedikit jutek, berusaha tetap menampilkan sikap wibawa.
Mendengar pertanyaanku, dia menghentikan langkahnya sambil memandang ke arahku.
“Hemmm, aku sudah lebih dulu ada di sini daripada kamu,” jawabnya singkat sembari berlalu meninggalkanku yang bingung.
Siko yang dari awal melihatku hampir terjatuh dan ditolong cowok aneh itu, justru sedang memandang dengan sorot mata kagum kepadanya yang berjalan melenggang ke arah panggung.
“Kak Ranti, gak apa-apa?” tanya Siko sambil melihat ke arahku. Pertanyaan Siko membuyarkan lamunanku. Aku masih terkejut dengan cara cowok tadi.
“Gak apa-apa, tapi siapa sih, dia? Sok ngetop amat,” gerutuku sembari mengambil papan cheklist yang terjatuh di lantai.
Ternyata dia alumni sekolah ini. Nanti malam dia akan hadir sebagai bintang tamu di acara Pensi. Itu kata Siko.
“Namanya Fiko. Dia artis multitalenta. Nyanyinya pinter dan main film juga bagus,” jelas Siko lagi Ia merupakan anak dari kelas sepuluh yang berperan sebagai penanggung jawab sound system. Aku mendengarkan penjelasan terakhir Siko dan merasa tak terlalu kenal dengan yang namanya Fiko itu.
“Oke, jadi apa tadi masalahmu?” tanyaku. Aku lupa gara-gara terpeleset.
“Sound system-nya engga bisa nyala, Kak,” kata Siko setelah kami sampai ke belakang panggung.
Kuambil ponselku dan menghubungi teknisi dari tempat penyewaaan sound system. Namun, sudah beberapa kali tersambung, tidak ada yang mengangkat teleponnya. Akhirnya aku naik sendiri. Mencoba melihat panel listrik dengan menaiki anak tangga yang dipakai koordinator panggung.
“Gimana, Kak?” tanya Siko.
Aku yang sok tahu, terkesima melihat panelnya sangat banyak. Lalu, tiba-tiba ada suara yang seperti kukenal.
“Hebat, Mbak Ketua Pensi, kalau enggak ketemu, turun, ya! Daripada jatuh lagi,” ujarnya, menyindirku.
Haaa, ternyata dia lagi, tapi emang bener aku engga paham, sih, gumamku dalam hati. Berhubung acara sudah harus siap, maka terpaksa aku buang jauh rasa gengsi di hadapan cowok aneh ini.
“Oke, aku emang enggak ngerti, tapi bukan berarti kamu juga paham, kan?” kataku masih sombong.
Dia hanya terdiam dan berjalan ke arah tangga. Kemudian dia pun menaiki anak tangga setelah aku menginjakkan kaki di lantai. Walaupun tanpa kata, setelah diterangi dengan senter kecil yang ada di saku celananya, dengan cekatan dia memeriksa, dan klik. Langsung saja, lampu yang berhubungan dengan panel sound sytem menyala.
Siko pun segera menghidupkan sound system yang mati tadi dan ternyata berhasil. Setelah diberi tanda jempol oleh Siko, cowok aneh itu pun turun dari tangga, sambil memberikan obeng tespen kepadaku.
“Makanya, jadi cewek itu jangan suka naik-naik tangga. Itu urusan cowok,” bisiknya sambil berlalu meninggalkanku yang masih terdiam di bawah tangga.
Ada kesal di hatiku, tapi sekaligus bersyukur ada dia. Meskipun adanya seperti bayang-bayang, hadir tiba-tiba dan pergi semaunya. Diam-diam aku penasaran akan cerita Siko tentang cowok aneh yang bernama Fiko itu.
Belum juga aku beranjak dari ruang panel, terdengar suara indah yang menyanyikan lagu dengan judul Surat Cinta untuk Starla. Penyanyinya seperti angat menghayati, hampir persis dengan penyanyi aslinya. Namun, dengan versi yang berbeda. Seperti sudah memiliki ciri khas.
Dengan sedikit berlari, aku menuju panggung. Ternyata cowok aneh itu yang sedang bernyanyi. Makin meleleh rasanya hatiku. Dia itu tidak cuma wangi ternyata, tapi suaranya pun bagus.
“Saya minta, Mbak Ranti untuk naik ke atas panggung,” panggilnya tiba-tiba. Itu sangat mengejutkanku. Aku salah tingkah dibuatnya. Sementara itu, hampir semua mata langsung melirik ke arahku.
“Ayo, Kak. Naik! Siapa tahu bisa duet nanti malam. Kan masih latihan,” seru Siko setengah memaksa.
Sebagai ketua acara dan seolah mendapat tantangan dari cowok aneh ini, akhirnya aku melangkah ke atas panggung. Dia tetap melanjutkan nyanyiannya. Dengan hati dag-dig-dug, aku mencoba menekan perasaan, khawatir dia hanya mempermainkanku seperti yang sudah-sudah.
Ketika makin dekat, sorot matanya yang teduh dan wanginya, sudah membuat dengkulku gemetar. Makin gemetar, ketika kata yang diucapkannya di atas panggung, membuatku seperti mendapat sambaran halilintar.
“Ranti, maukah kamu jadi pacarku?” katanya dengan suara lirih, dengan mik yang masih menyala. Aku yakin suaranya itu akan terdengar ke seluruh ruang kelas.
Wajahku memanas dan pasti warnanya merah, entah ini karena tersipu atau malu. Aku jadi serba salah. Seperti dugaanku, cowok aneh ini penuh kejutan. Hampir semua panitia dan beberapa guru tersenyum melihat ke atas panggung dan menunggu jawaban dariku.
“Ranti! Jawab iyaaa … jangan diem aja!” seru beberapa temanku.
Aku melihat sorot matanya yang dari pertama bertemu, sudah mampu menyihirku. Meskipun aku sebenarnya tidak suka dengan caranya mempermalukanku, tapi aku merasa telah jatuh cinta dengan dia dan segala keanehannya. (*)
Bumiku, 15 September 2021
Melati ER, adalah penulis yang senang menulis kisah-kisah ringan. Saat ini sedang belajar menulis agar tulisannya makin matang dan baik. Silakan kenal lebih dekat di Facebook-nya: Melati Fortune.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: pixabay
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata