Pertemuan Abadi
Oleh: Rizka Mufita
Perempuan itu bersimpuh di depan gundukan tanah. Terlihat beberapa orang mulai meninggalkannya. Sedangkan yang lain masih bersabar menemaninya serta menguatkannya dari belakang. Perempuan itu tersedu, mengingatkanku akan peristiwa beberapa waktu lalu, saat tanah di depanku digali. Pertanda ada penghuni baru.
Meski telah dilantunkan deretan doa dan tahlil, tetap saja sosok perempuan itu berkomat-kamit lirih dengan deraian air mata tanpa henti. Serangkaian doa terus keluar dari bibirnya. Sesekali tangannya mengusap air mata, lalu mengusap nisan yang terpancang. Dia berusaha tegar, tetapi tetap saja rapuh karena kehilangan yang mendalam.
Samar-samar aku mendengar dia berucap. “Mas, aku akan berusaha mengikhlaskanmu meski berat. Bila tidak ada iman, ingin sekali raga ini ikut denganmu. Menemanimu dalam kesendirian di dalam sana. Terlalu cepat waktu kebersamaan kita, belum genap dua tahun. Tutur katamu yang lembut, belaian tanganmu yang mampu meredakan amarahku dan alunan selawat yang setiap saat kamu baca membekas hati. Kamu yang tidak pernah mengeluh tentang rasa dan apa pun yang aku hidangkan meski terkadang rasanya tidak enak menambah sesak rasa di dada. Doakan aku kuat berdiri tanpamu.”
“Sudahlah, Mir, ikhlaskanlah Husain. Husain sudah tenang di sana. Doakan suamimu mendapat tempat terindah di sisi Allah. Tugas manusia yang ditinggalkan harus bisa bersabar dan tabah. Yakinlah, ini yang terbaik menurut Allah.” Wanita berwajah teduh itu—berusia sekitar setengah abad lebih— berusaha menguatkannya. Tangannya memegang bahu perempuan itu, berharap dapat menyalurkan kekuatan.
“Bu, tolong tunggu sebentar lagi, rasanya berat meninggalkan Mas Husain di sini.”
“Jangan terlalu lama, sebentar lagi sore. Kamu juga perlu istirahat. Jaga kesehatanmu, Sayang.”
Perempuan itu mengangguk. Kemudian matanya terpejam, kedua tangannya terangkat, dan mulutnya mengucapkan doa untuk sang kekasih.
Perempuan itu akhirnya berdiri sambil dibantu oleh tiga orang perempuan yang ada di sekelilingnya. Raut wajahnya begitu pucat, tubuhnya lemah sehingga harus dipapah. Aku hanya bisa mengamati dalam diam melihatnya pergi.
***
Keesokan harinya, perempuan itu datang kembali sambil membawa serangkaian bunga dan kendi. Setelah menaburkan bunga dan air dari kendi di atas pusara, lantunan doa dan tahlil kembali menghiasi lisannya. Dia datang dengan berpakaian serbahitam dan kerudung putih. Wajahnya sayu dan pucat. Lingkaran di bawah matanya menghitam, menandakan perempuan itu tidak bisa memejamkan mata barang sekejap.
“Mas, semalam aku tidak bisa tidur, wajah teduh Mas menari-nari di pelupuk mata. Semua sudut rumah mengingatkanku kepadamu. Pun di dalam kamar, semua kenangan seolah-olah berputar tanpa rasa lelah. Belum lagi para tetangga dan handai tolan yang datang, semua membicarakan kenangan baik tentangmu. Bukan cuma aku yang kehilangan, mereka juga. Doakan aku kuat. Rasanya cobaan ini begitu berat dan menghunjam sangat dalam. Mencabik asa, menghilangkan angan. Semoga Allah memberikanmu tempat terbaik di sisi-Nya.”
Begitu sedih rasanya mendengar keluh kesah perempuan itu, dia menangis tersedu-sedu di depan pusara. Ucapannya terbata-bata, sementara sapu tangan yang dia bawa basah karena air mata. Berkali-kali dia mengusap batu nisan, sesekali menciumnya dengan penuh rasa sayang. Kepedihan terlihat sangat nyata.
Dari kejauhan, terlihat sosok tampan nan gagah dengan sorot mata teduh mendekat ke arah sang perempuan. Wajah dingin itu seolah-olah ingin berkata bahwa kamu harus kuat. Sayangnya, perempuan itu tidak mengetahuinya. Andaikan dia tahu bahwa sosok lelaki yang ditangisinya melihat dan menyaksikan kesedihannya, pasti dia akan menahan semua rasa yang ada.
Waktu terus berjalan. Tak terasa hampir empat puluh hari berlalu. Kini perempuan itu datang dengan raut wajah yang berbeda, lebih pucat dari sebelumnya. Seperti biasanya, dia menabur bunga dan menyirami pusara dengan air kendi yang dibawanya. Lantunan doa pun dilangitkan.
“Assalamualaikum, Mas, aku datang. Maaf, mungkin setelah ini nggak bisa sering mengunjungimu, Mas. Aku akan menjalani rawat jalan. Tunggu aku, ya, Mas. Aku sayang Mas.” Sambil berderai air mata, perempuan itu berbicara di depan nisan suaminya. Kalau pada setiap kunjungan yang lalu wanita itu berlama-lama di sana, tetapi tidak kali ini. Setelah berbicara sebentar dia meninggalkan pusara itu.
***
Tahun-tahun berlalu. Tak terasa hampir dua puluh empat purnama perempuan itu tidak mengunjungi pusara. Yang terlihat hanya handai taulannya yang berkunjung ketika jelang Ramadan dan hari raya. Tak jarang pula aku melihat sosok lelaki berpakaian serbaputih berwajah dingin itu menatap pusara, seperti menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Hingga sore ini ada petugas makam yang menggali lubang di sebelah pusara yang biasa dikunjungi oleh perempuan itu. Siapakah yang meninggal?
“Kasian, ya, si Mira, setelah suaminya meninggal malah divonis kena kanker. Tubuhnya makin kurus dan akhirnya menyusul suaminya juga.”
Salah satu pengantar jenazah itu berbicara di saat selesai mengebumikan jasad baru itu. Rasa penasaran terjawab sudah. Kulihat dari kejauhan dua orang berbaju putih berpegang tangan sambil tersenyum. Aku melihat mereka bahagia.
Selain kisah sepasang suami istri itu, ada banyak kisah lain di permakaman ini karena akulah saksi kisah-kisah yang terjadi. Ya, aku adalah si Kamboja Tua.
Surabaya, 15 September 2021
Bionarasi:
Rizka Mufita, berperan sebagai ibu dari 2 anak ini mulai menyenangi dunia tulis menulis sejak Maret 2020, terus belajar dan berusaha memberikan karya yang baik.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: https://pin.it/5XsG2rY