Ayah dan Gen yang Dibawanya
Oleh: Ika Mulyani
Aku tidak memercayai kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh Ibu. Akan tetapi, wajahnya terlihat benar-benar serius, tidak seperti saat mencoba mem-prank aku dan Donny kemarin.
“Ibu tidak bisa,” kata Ibu waktu itu, setelah Donny menyampaikan maksudnya, ingin mempersunting aku.
Keluarga Donny adalah tetangga kami satu blok. Ia teman bermainku sejak masa kecil. Usia kami terpaut satu tahun, tetapi kami berada di tingkat pendidikan yang sama. Kami bersekolah di sekolah yang sama, sejak taman kanak-kanak hingga jenjang SMA. Hanya saja, Donny memilih untuk melanjutkan studinya berkuliah di ibu kota, sementara aku memutuskan untuk tetap di kota kecil ini. Aku tidak tega meninggalkan Ibu sendirian.
Aku memang sudah lama menaruh hati kepada Donny. Tidak kusangka, ternyata laki-laki itu memiliki perasaan yang sama dan langsung memintaku untuk menjadi istrinya, tidak lama setelah ia mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan multinasional.
Ketika Ibu menolak pinangan Donny, aku dan laki-laki itu sama-sama tersentak. Wajah Donny bahkan terlihat sedih dan merana sekali. Ia menunduk dengan kedua tangan terkepal erat.
Hatiku rasanya patah, pecah berkeping-keping. Aku mencintai Donny dan ingin hidup bersamanya, tetapi tidak tanpa restu dari Ibu.
Aku menatap Ibu, melayangkan pertanyaan lewat sorot mata, “Kenapa?”
Pandanganku perlahan buram oleh air mata yang mulai menggenang. Aku mengerjap dan mengusap sudut mata.
Kemudian, kulihat sudut bibir Ibu bergetar dan ada tawa di matanya. Tahulah aku, Ibu tidak serius dengan kata-katanya. Aku pun tertawa, membuat Ibu terkekeh dan Donny menatap kami kebingungan.
“Ibu tidak bisa. Tidak bisa menolak lamaran pemuda saleh dan baik seperti kamu.” Kata-kata Ibu membuat Donny mengembuskan napas lega.
Donny lalu mengatakan, ia akan datang lagi bersama ayah dan ibunya, dalam dua minggu mendatang.
Akan tetapi, sejak hari itu, Ibu terlihat sering melamun. Beberapa kali aku harus mengulang kata-kataku saat berbicara dengan Ibu, seolah-olah pikirannya tengah berkelana entah ke mana.
Dan aku tidak percaya ketika baru saja, seusai sarapan, Ibu tiba-tiba berkata, “Sebenarnya, ayahmu masih ada.”
Tidak ada tawa di mata Ibu saat ia mengucapkan kata-kata itu. Kali ini, ia serius. Ini bukan prank. Ibu mengangguk menanggapi pandangan bertanya-tanya yang kulayangkan.
Selama ini, yang aku tahu, Ayah sudah berpulang ketika aku masih berada di dalam kandungan Ibu. Kecelakaan, begitu jawab Ibu ketika di masa kecil dahulu, aku bertanya apa penyebab Ayah wafat.
Aku tertegun mendengar kata-kata Ibu. Bagaimana bisa Ibu menyembunyikan hal sepenting itu di hadapan anaknya sendiri selama puluhan tahun?
“Sekarang Ayah di mana? Kenapa tidak tinggal bersama kita? Ibu dan Ayah bercerai?”
Lama sekali Ibu baru menjawab, setelah diawali dengan menghela napas panjang.
“Ibu baru berhasil hamil setelah lima belas tahun Ibu dan ayahmu menikah.”
Aku mengangguk. Aku sudah tahu.
“Ayahmu nyaris depresi ketika program kehamilan yang kami jalankan tidak juga berhasil, tetapi Ibu selalu meyakinkan dia untuk tidak berhenti berusaha dan berdoa. Toh, dokter menyatakan organ reproduksi kami baik-baik saja.”
Ibu berhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Belakangan Ibu baru tahu, kalau keluarga ayahmu selalu mendesak dia untuk menikah lagi, tetapi ayahmu tidak mau. Mungkin itu yang membuat dia stres.”
Oh, ini cerita baru bagiku.
“Waktu Ibu akhirnya hamil, di kampung keluarga ayahmu sedang musim pemilihan kepala desa. Ayah menuruti desakan kawan-kawan sepermainannya juga keluarga besarnya, untuk ikut mencalonkan diri. Dari lima pasangan bakal calon, Ayah berhasil terpilih menjadi salah satu dari tiga pasangan calon, bahkan ia dan pasangannya diunggulkan untuk menang.”
Aku terdiam, sementara Ibu terlihat menarik napas kuat-kuat sebelum melanjutkan ceritanya.
“Saat itu Ayah amat yakin akan meraih kemenangan. Ia tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk membiayai kampanye, bahkan hingga berutang. Namun, ternyata hasil perolehan suara Ayah dan pasangannya jauh dari yang diharapkan. Jumlah suara yang mereka peroleh bahkan menjadi juru kunci dalam hasil penghitungan. Ayah lantas benar-benar mengalami depresi, cukup berat hingga harus dilarikan ke rumah sakit jiwa. Bahkan sampai sekarang.”
Aku menatap Ibu yang mulai terisak. Dadaku ikut terasa panas. Setelah berhasil menenangkan hatinya, Ibu kembali melanjutkan ceritanya.
“Rumah dan semua harta milik Ayah dan Ibu yang tersisa, terpaksa dijual untuk melunasi semua utang dan membiayai pengobatan Ayah. Keluarga besar Ayah lalu bersikap memusuhi Ibu. Mereka menganggap Ibu tidak bisa menjadi pendamping hidup yang baik dan menyebabkan stres Ayah makin berat, pasca kekalahannya di ajang pemilihan kepala desa. Ibu tidak tahan dan memutuskan untuk pergi dari kampung halaman Ayah dan pulang ke rumah Nenek sampai sekarang.”
Aku menatap Ibu yang masih terisak. Pantas saja, aku tidak pernah mengenal keluarga ayahku.
“Untung Ibu tidak ikut gila.” Ibu berbisik parau, mengakhiri ceritanya.
Aku masih belum bisa melihat, apa yang membuat Ibu resah selepas Donny menyampaikan lamarannya. Kalau masalah wali nikah, kami bisa menggunakan wali hakim, seandainya memang Ibu tidak lagi mau berjumpa dengan Ayah atau berhubungan dengan kerabat Ayah.
Aku baru bisa mendapatkan jawabannya beberapa hari kemudian, ketika aku mendesak Ibu untuk menemui Ayah, bagaimanapun keadaannya.
***
Jarak rumah sakit jiwa itu cukup jauh dari kota tempat kami tinggal. Kami menyewa kamar di Hotel Melati dekat rumah sakit tersebut. Ibu tetap tidak mau singgah ke rumah orang tua Ayah.
Dengan saling bergandengan tangan dan menguatkan hati, kami memasuki rumah sakit yang gedungnya terlihat tua itu. Dinding bangunannya tinggi, dengan jendela-jendela yang berukuran besar. Model daun pintu dan jendelanya seperti rumah peninggalan zaman penjajahan Belanda.
“Itu dia. A-ayahmu,” ucap Ibu dengan suara bergetar.
Telunjuk Ibu yang juga bergetar, mengarah pada seorang lelaki yang sedang duduk sendirian di bawah naungan pohon besar di pinggir sebidang tanah lapang. Laki-laki itu terlihat melamun. Sepertinya ia sama sekali tidak menyimak permainan sepak bola yang tengah digelar di hadapannya.
Hatiku berdesir. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat wajah Ayah dengan cukup jelas. Kulit wajahnya sedikit kecokelatan. Rambut ikalnya sudah mulai memutih, juga kumis dan sedikit janggutnya yang terlihat rapi. Ayah tampak sehat dan bersih, sama sekali tidak ada kesan sedang mengalami gangguan jiwa.
“B-bisakah kami menemuinya?” tanyaku kepada perawat lelaki yang kami temui.
Perawat lelaki itu mengangguk.
“Akhir-akhir ini, kondisi Pak Dudi sudah jauh lebih baik. Dia sudah tidak pernah lagi mengamuk seperti dulu. Sebenarnya, beberapa tahun lalu, dokter sudah mengizinkan dia untuk pulang dan berobat jalan. Tapi seminggu kemudian, dia kembali ke sini. Rupanya lingkungan tempat tinggalnya justru membuat kondisi Pak Dudi kembali memburuk.”
Aku dan Ibu saling berpandangan.
Tidak lama kemudian, kami bertiga sudah berada di hadapan Ayah. Perawat itu menyarankan agar kami sedikit menjaga jarak, untuk berjaga-jaga dari kemungkinan terburuk. Debar jantungku kembali terasa bertalu-talu.
“Pak Dudi. Ada yang mau ketemu, nih. Boleh?” Perawat itu bertanya dengan lembut sambil mengambil tempat di samping Ayah yang tengah duduk berselonjor. Mata Ayah yang tadinya terlihat mengantuk, seketika memandang kami penuh waspada.
Pandangaku lalu bertemu dengan tatapan mata Ayah.
Hatiku kembali berdesir. Aku kembali meraih tangan Ibu yang terasa dingin. Beliau balas menggenggam jemariku, seolah-olah mencoba memberi kekuatan. Atau justru sama seperti aku, mencari tumpuan bagi kegamangan yang sedang dirasakannya?
Tatapan tajam Ayah terasa keras menghunjam dan membuatku agak takut. Namun, aku bertahan untuk tidak berpaling atau menunduk. Aku mencoba tersenyum.
“Siapa dia?” Ayah bertanya tanpa melepaskan tatapannya pada mataku. Ia tidak membalas senyumanku. Suara Ayah terdengar penuh wibawa. Tidak heran bila dahulu orang-orang menjagokannya untuk menjadi kepala desa.
“Dia a-anak kita, Kang.” Ibu menjawab dengan suara pelan, terdengar takut-takut. Genggaman tangannya terasa makin kencang.
Pandangan Ayah lalu tertumbuk pada Ibu. Tidak kusangka, bibir Ayah kemudian tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Seketika wajahnya terlihat sangat tampan.
“Ratih?” Ayah bangkit dari duduknya.
Ibu mengangguk.
“Ke mana saja? Aku rindu.” Tangan Ayah menggapai ke arah Ibu.
Ibu terisak. Mataku berkaca. Jantungku kembali berdebar kencang.
Ibu melirik si lelaki perawat. Ia mengangguk, tetapi pandangannya tetap waspada mengawasi setiap pergerakan Ayah.
Tanpa melepas genggamannya di tanganku, perlahan Ibu melangkah. Ia menarikku serta untuk mendekati Ayah, hingga jarak di antara kami hanya tersisa satu langkah saja. Lelaki perawat lekat menatap kami, seakan-akan bersiap untuk segala kemungkinan terburuk.
Perlahan, tangan kanan Ibu yang bergetar meraih tangan Ayah dan mengecupnya dengan takzim, sementara tangan kiri Ibu tetap menggenggam jemariku. Ibu kembali terisak, lama sekali. Air matanya membasahi tangan Ayah.
Ayah lalu mengelus kepala Ibu dengan lembut. “Ratih,” bisiknya dengan suara parau.
Ibu makin tersedu, dan aku ikut menangis.
Rupanya, selama ini Ibu memendam kerinduannya kepada Ayah. Namun, mengapa Ibu merahasiakan keberadaan Ayah? Malu? Atau justru melindungiku dari rasa malu?
Pandangan kami–aku dan Ayah–lalu bertemu lagi. Bukan lagi sorot mata tajam yang kudapatkan, tetapi tatapan penuh kelembutan yang membuat hatiku menghangat.
“Kamu?”
“Saya Arini.” Aku menjawab dengan suara bergetar.
“Anakku?”
Aku dan Ibu mengangguk bersamaan.
“Cantik.” Ayah tersenyum sambil mengusap lembut pipiku yang basah.
***
Dokter memperbolehkan kami untuk membawa Ayah pulang. Ia membekali kami obat-obatan yang harus selalu diminum oleh Ayah secara rutin dan tidak boleh terlewat. Dokter senior itu juga menjadwalkan kontrol di rumah sakit setiap satu bulan.
Sebelum menemui Ayah, aku sempat mengunjungi mesin pencarian di internet. Kudapati fakta, bahwa gangguan jiwa termasuk penyakit genetik yang bisa diturunkan seseorang kepada generasi berikutnya. Mungkin memang ada keluarga Ayah yang juga pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu.
Menurut sebuah situs yang kukunjungi, gen tertentu dapat meningkatkan risiko seseorang terkena gangguan jiwa dan situasi penuh stres atau kejadian traumatis dalam hidupnya dapat memicu gen tersebut aktif di kemudian hari.
Fakta ini tidak menggoyahkan keinginanku untuk menemui Ayah. Dan aku tidak menyesal telah melakukannya.
Tetapi, kini aku mulai memikirkan rencana pernikahanku bersama Donny. Jika ia tahu cerita tentang Ayah, apakah ia masih akan tetap mau menjadikan aku sebagai istrinya? Jika pun niatnya tidak goyah, akankah kedua orang tuanya bersedia memberikan restu?
Sudah kukatakan, bukan? Aku mencintai Donny dan ingin hidup bersamanya, tetapi tidak tanpa restu orang tua.
Mungkin ini yang membuat Ibu lalu menjadi resah dan akhirnya membuka rahasia yang telah dipendamnya bersama Nenek selama bertahun-tahun.
Di hari Minggu pagi yang hangat, aku melihat kedua orang tuaku yang tengah bercengkrama di teras rumah. Mereka tertawa-tawa atas lelucon yang dilontarkan Ayah. Rasanya baru kali ini aku melihat Ibu tertawa selepas itu. Aku pun ikut tersenyum.
Aura kebahagiaan terasa pekat memenuhi udara di sekeliling kami. Rasanya, aku masih bisa tahan, seandainya Donny membatalkan pinangannya. Dan semoga, tidak akan ada gen di dalam tubuhku yang terpicu hingga menyebabkan depresi. []
Ciawi, 15 September 2021
Bionarasi:
Ika Mulyani, emak-emak berumur senior, tetapi di dunia literasi masih sangat junior dan perlu banyak belajar. Memiliki karya solo adalah mimpinya yang tengah dicoba untuk diperjuangkan.
Editor: Erlyna
Sumber gambar: https://pin.it/1xukGqf