Menanti Sebuah Janji
Oleh : F. Hazmi
Di usia yang baru menginjak tujuh tahun, Rani terpaksa berpisah dengan sang ibu untuk kedua kalinya. Bukan perpisahan yang sebentar seperti ditinggal belanja ke pasar. Ia harus mengulum rindu hingga ratusan minggu lamanya.
Dari bingkai pintu Rani mengintip ke dalam kamar belakang. Seorang wanita berambut ikal tengah menyusun berhelai-helai pakaian ke dalam koper di sana. Lebaran telah usai bersamaan dengan liburan yang berakhir. Semua barang selesai dimasukkan. Perempuan itu pun menarik salah satu ritsleting hingga bertemu yang lainnya. Ia lalu menurunkan tas itu dari tempat tidur. Kemudian berjalan ke luar dan berhenti tepat di depan Rani yang menyaksikan dengan perasaan berkecamuk.
“Mamak pergi dulu, ya. Rani di rumah jaga adek Rifki. Jangan berantem sama adek. Sekolah yang rajin. Nanti kalau mamak pulang, mamak belikan baju cantik sama mainan,” ucap wanita itu dengan nada agak bergetar. Sementara tangannya mengelus pucuk kepala putri kecilnya.
Rani menjawab dengan anggukan lalu mencium tangan wanita itu. Sesekali ia mengerjapkan matanya, seperti sedang kelilipan. Gadis yang baru kelas dua SD itu tak lagi meraung seperti tiga tahun lalu. Meski tak dipungkiri, sedihnya berpisah dengan sang ibu kini masih terasa sama. Hanya kali ini ia menahannya sekuat tenaga agar tak jatuh menjadi air mata.
“Rani sekarang sudah jadi kakak. Jadi harus kuat, nggak boleh cengeng lagi.” Pesan dari ibunya itu terus terngiang di benak Rani acap kali akan menangis.
Ratna pun melangkah menuju teras. Sementara Rani masih mematung di tempatnya sampai tubuh sang ibu menghilang. Sesaat keheningan berganti dengan suara jeritan seorang anak laki-laki di halaman. Rani segera berlari ke luar.
Di depan rumah, Rifki sudah menggerung sambil memeluk kaki Ratna. Rani segera menangkap bocah kecil itu. Lalu memeluknya erat-erat. Dibiarkannya tangis adiknya itu menggema. Begitu pun langkah ibunya yang terus menjauh.
Sepeninggal Ratna, Rani terus membujuk Rifki yang masih mengamuk. Segala rayuan ia ucapkan, tidak satu pun mampu meredam tangis Rifki yang meledak, termasuk ajakan membeli es krim yang biasanya berhasil membujuk bocah yang baru masuk SD itu.
Rani menatap sia-sia lembaran dua puluh ribu di tangannya. Pemberian Ratna sebelum pergi tadi. Ia akhirnya membiarkan adiknya bergulung di tanah sambil meraung-raung. Tenaganya sudah tak mampu lagi menahan Rifki yang terus memberontak.
“Mamak … ikut, Mamak … ikut,” teriak Rifki di sela tangis. Aksinya itu berhasil mencuri perhatian tetangga sekitar. Beberapa pasang mata menyaksikan dengan tatapan beragam. Rani paham arti setiap pandangan itu. Ia coba mendekati Rifki kembali untuk membujuknya.
“Udah, Dek. Berhenti nangisnya. Nanti kalau bapak pulang kamu dilibas tali pinggang lagi.” Ucapan Rani sukses membuat amukan Rifki mereda meski isaknya masih tersisa. Anak itu pun bangkit dari tanah dibantu Rani. Kemudian mereka masuk ke rumah beriringan.
Hari-hari Rani dan Rifki setelahnya kembali sediakala. Rani yang mengerjakan pekerjaan rumah, kecuali memasak. Sementara Rifki membantu mengangkat pakaian dari jemuran atau mengumpulkan piring kotor ke kamar mandi. Mereka bahu membahu meski kadang Rifki suka mencuri-curi kabur ketika disuruh.
Keadaan ekonomi yang sulit memaksa Ratna memperpanjang kontrak kerja di negeri jiran. Edi, suaminya hanya tamat SMP. Saat ini pekerjaannya berjualan siomai keliling dengan hasil yang tak seberapa. Sementara Rani dan Rifki sudah duduk di bangku sekolah. Mereka butuh biaya untuk terus mengenyam pendidikan. Demi tak mengulang nasib kedua orang tuanya.
Sebelumnya, kepergian Ratna yang pertama kali telah melalui perdebatan panjang dengan Edi. Pasalnya Edi melarang keras. Ratna terus merongrongnya dengan janji memperbaiki kehidupan. Bermodalkan ijazah SMA, Ratna merasa hanya ini peluangnya membalik keadaan. Terbukti dari keluarga jauhnya di kampung sebelah yang lebih dulu berangkat. Kini mereka hidup berkecukupan.
Lagi pula, rumah pasangan suami istri itu di kelilingi sanak famili baik dari Edi maupun Ratna. Pasti akan aman ditinggalkan karena akan ada yang menjaga atau menengok anak-anak itu pikir Ratna. Sayang kenyataan tak demikian. Dua kakak beradik itu sering dikucilkan oleh sepupu mereka ketika bermain bersama. Bukan hanya karena tampilan yang centang-perenang tak terurus, tetapi juga disebabkan watak keras Rani. Sifat itu adalah manifestasi dari ketiadaan ibu sebagai tempat naungan kasih sayang. Belum lagi ia harus melindungi diri dan adiknya.
Seperti kejadian beberapa waktu lalu. Rani dan Kesya beserta beberapa anak lain tengah bermain boneka Barbie. Mereka bermain di teras rumah Kesya. Sepupunya itu memamerkan beberapa baju Barbie hasil kerajinan tangan ibunya. Semua anak mengerumuni Kesya termasuk Rani. Mereka pun berebut meminjam gaun-gaun dari kain perca itu.
Rani berhasil mendapatkan sepotong baju berbahan brokat. Sayangnya seorang anak lain juga menginginkan baju yang dipegang Rani. Akhirnya terjadi adegan tarik-menarik antara Rani dan anak perempuan tersebut.
Saat itu Kesya coba melerai dan meminta Rani memberikannya pada anak tadi. Rani menolak dan semakin keras menggenggamnya. Baju cantik yang terjahit rapi itu pun koyak. Kontan saja Kesya menangis. Ibu Kesya keluar lantas memarahi Rani dan mengusirnya.
Gadis kecil itu langsung angkat kaki sambil menenteng boneka yang sudah botak sebelah. Tak ada setetes pun air mata jatuh hingga ia sampai di rumah. Luka-luka seperti itu sudah biasa bagi Rani. Layaknya terkena duri ketika bermain. Hanya memunculkan penyesalan mengapa ibunya tak di rumah. Setidaknya ia bisa mengadu atau berkeluh kesah.
“Pak, kapan Mamak pulang?” tanya Rani kepada Edi yang tengah minum kopi sarapan pagi. Rifki pun ikut menimpali dengan pertanyaan yang sama.
“Mamak bilang apa rupanya sebelum pergi?” Edi balik bertanya sambil mengepulkan asap rokok yang baru diisapnya.
“Kemaren katanya lebaran tahun depan. Berarti bentar lagi ya, Pak? Ini kan sudah mau puasa,” ucap Rani dengan mata berbinar. Rifki yang duduk di sebelahnya bersorak. Sementara Edi tenggelam dalam nikotin yang telah mengisi dada. Setelah kopi dalam gelas tandas, pria itu pun pamit pada anaknya untuk pergi berjualan.
Tak terasa, kurang dari seminggu hari kemenangan akan tiba. Rumah keluarga Edi masih hening seperti biasa. Tak ada aroma kue atau pun gorden baru terpasang seperti tahun lalu.
Kabar kepulangan Ratna belum juga sampai di telinga Rani dan Rifki. Padahal puasa sebelumnya wanita itu sudah hadir mewarnai rumah di waktu seperti ini. Rifki acap kali bertanya pada Rani. Ia tak berani melakukannya pada Edi. Sebab lelaki itu langsung membentak saat ia bertanya untuk pertama kalinya.
Dua kakak adik itu banyak menghabiskan waktu di rumah. Sambil menghitung waktu kepulangan sang ibu. Seperti janji yang telah diucapkan Ratna sebelum pergi. Hingga takbir berkumandang, kedua anak itu masih memeluk harapan yang sama sambil mengulum tanya. “Kapan Mamak pulang?”
Rumah Kesya yang cukup besar telah ramai oleh sanak saudara. Mereka baru saja selesai menunaikan salat Idulfitri tahun ini, halalbihalal keluarga besar Edi diadakan di sana.
Rani dan Rifki akhirnya datang dengan terpaksa. Setelah sebelumnya melancarkan drama yang menguras emosi Edi. Untuk kali ini, perayaan lebaran menjadi siksaan tersendiri buat kedua anak itu tanpa kehadiran ibunya. Bukan hanya perkara pakaian yang tak baru. Namun juga melihat sekumpulan anak-anak bermanja ria dengan ibu masing-masing.
Acara sungkeman pun dimulai. Diawali dari yang paling tua lalu ke yang lebih muda. Saling bertutur maaf atas segala khilaf. Ayah mereka yang menanti giliran, tiba-tiba dipanggil oleh ibunya Kesya. Mereka berdua menuju dapur diiringi tatapan penuh tanya Rani dan Rifki. Tak lama lelaki itu muncul, lalu melambai pada kedua bocah tadi yang masih melihat ke arah dapur. Rani dan Rifki segera bangkit lalu berlari menghampiri.
“Ini Mamak kalian menelepon,” ucap ibunya Kesya sambil menyerahkan ponsel di tangannya. Kedua anak itu menatap tak percaya.
“Mamak, kapan pulang?” tangis Rani dan Rifki menyambut panggilan dari Ratna.
Bandar Setia, 15 September 2021
BIONARASI
Hazmi adalah seorang perempuan kelahiran Medan yang kini berstatus istri sekaligus ibu. Selain menikmati hidup ala ibu rumah tangga, saat ini, ia juga sedang mengasah ilmu di dunia literasi dengan mengikuti berbagai event menulis.
Editor : Freky Mudjiono
Link ilustrasi : https://pixabay.com/illustrations/time-clock-timepiece-art-hours-6621838/