Gadis Kecil dan Mas Heri
Oleh : Fitri Hana
Seorang anak kecil yang tiba-tiba muncul di hadapanku membuat olesan spons bedak di wajahku terhenti. Matanya berbinar lalu seulas senyum merekah di wajahnya, memperlihatkan gigi depannya yang ompong satu. Rambutnya lurus sebahu tergerai begitu saja tanpa hiasan rambut apa pun. Tangan-tangan kecilnya memainkan make-up yang berserak di meja depanku.
“Kapan kamu datang?” tanyaku sambil berusaha menguasai diri dari keterkejutan.
Ia tersenyum, “Maukah engkau mendengar kisahku?” ia mengabaikan pertanyaanku.
Aku mengangguk sambil meletakkan bedak di atas meja rias.
“Kemarin Mas Heri ke rumah. Ibu sedang ke pasar.” Ia menghentikan ceritanya, mengambil celak lalu menggoreskan celak itu ke kelopak matanya. “Apa ini untuk mata begini?”
Aku sengaja tidak menjawab, sebab aku rasa ia tidak butuh jawaban.
Setelah menggores celak asal-asalan ke kedua matanya, ia lalu duduk di atas meja rias. Sesekali ia mengayunkan kaki perlahan.
“Ibu tahu Mas Heri, kan? Anak Pak Guru, yang rumahnya deket musala itu?” Ia menatapku lekat-lekat.
Aku seolah melihat mataku yang lain di wajahnya. Mata bulat dengan bulu mata panjang, juga alis yang rapi seolah diukir dengan pensil alis.
“Dia sekolah apa sudah kerja, sih, Bu?” Tangan kirinya memilin rambut yang jatuh di keningnya. Pandangannya mengarah ke lantai. Entah apa yang ia lihat, sandal jepitnya yang berwarna merah atau malah lantai kamar ini.
“Dia orangnya baik, loh, Bu. Ngajak main aku.” Matanya kembali berbinar. Kali ini ia menatap ke depan, bukan menatapku, pandangannya menerawang.
“Aku dikasih uang dua ribu, dikasih kelereng yang dalamnya berwarna putih, sama kayak punya temen-temen itu.”
“Terus?” tanyaku memancing ceritanya lagi.
“Kan Ibu enggak ada di rumah. Mas Heri bilang mau nemenin aku nonton TV. Ya udah, nonton TV, kan. Nonton Inuyasha di nomor 9 itu, loh, Bu.”
Aku menatapnya dalam-dalam. Mencoba mencerna ke arah mana ia bercerita.
“Tapi enggak enak. Mas Heri tiduran di atas badanku. Kan berat, Bu. Dia itu udah besar, masak tidur di atasku, Bu? Harusnya ngerti kalau dia itu berat.” Ia mengembuskan napas, mukanya berubah murung.
“Hah? Tiduran gimana, sih?”
“Tiduran, ya tiduran. Ah, Ibu ini!” Ia bersedekap. Bibirnya cemberut.
“Hei, jangan begitu. Coba jelasin pelan-pelan.” Aku merayunya.
“Aku kan nonton TV sambil tengkurap, Mas Heri tiba-tiba duduk di atas punggungku. Abis duduk, eh, dia malah ikut tiduran, tapi di atasku, Bu. Rambutku terbang-terbang karena napasnya.”
Dadaku berdebar kencang setelah mendengarkan ceritanya.
“Terus disuruh gantian. Mas Heri yang tengkurap, aku gantian di suruh duduk di atas punggungnya. Abis duduk disuruh tiduran juga di atas punggungnya. Begitu terus berulang-ulang sampai Inuyasha kesukaanku selesai.”
Ayunan kakinya terhenti.
“Abis itu, uduk uduk uduk, suara motor Ibu kedengaran, Mas Heri kasih aku uang sama kelereng lima.” Ia menirukan suara motor, matanya berbinar seolah itu hadiah yang sangat besar.
“Ibu terus nanya, ‘ngapain ke sini, Her?’ Mas Heri jawabnya, ‘enggak ngapa-ngapain, Lik. Mampir doang.’ Padahal Mas Heri main lama sama aku, Bu. Kenapa enggak bilang jujur ke Ibu, ya?”
Wajah gadis kecil di hadapanku tampak murung lagi. Ia menunduk sambil memainkan ujung kaos yang ia kenakan.
“Mama!” Sentuhan tangan kecil di pundak membuatku terkejut.
Aku menoleh ke belakang, ke sumber suara. Rupanya Azzam yang memanggilku.
“Dipanggil Papa dari tadi. Papa udah pulang, minta dibukakan pintu. Azzam enggak sampai mau buka kunci yang atas.”
Aku gelagapan. Kugelengkan kepala beberapa kali, mencoba meraih kesadaran kembali.
Kutatap cermin di depanku. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada gadis kecil dengan gigi depan yang tanggal. Hanya ada bayangan wajahku yang baru memakai bedak satu sisi saja.
Segera kuoleskan spons di sisi wajahku yang belum terkena bedak. Cantikku bukankah untuk suamiku saja? Aku segera berlari ke pintu depan.
“Tumben pintunya dikunci dobel, Sayang?” tanya suamiku setelah kubukakan pintu. Tentu saja setelah kecupan hangat mendarat di keningku.
“Kan sudah tugasku menjaga semua hartamu, Mas. Ya anak kita, ya rumah ini. Iya, enggak?” Kukedipkan mata kiriku. Menggodanya seperti ini bisa menghentikan pertanyaan-pertanyaan lain yang akan ia utarakan.
Jantungku berdebar kuat saat mataku menangkap seorang lelaki bermotor berbelok ke halaman rumah sebelah. Ia tetanggaku di kampung.
Sejak menikah aku memang merayu suamiku agar pergi merantau jauh dari kampung. Meninggalkan masa kecilku yang suram di sana. Namun kemarin, sejak lelaki itu tinggal di rumah sebelah, dadaku terus berdebar kencang. Ia datang bersama masa kecilku. Ia adalah anak Pak Guru itu.(*)
Klaten, 22 Oktober 2020
Fitri Hana, seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis, menuangkan isi kepala juga kegelisahan-kegelisahannya.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/oZvLPUV