Menyapa Camar
Oleh : Fei Ling
Keringat dingin menetes di dahinya yang tertutup poni. Kaki dan jemari tangannya tidak berhenti bergerak. Beberapa kali dia juga terlihat menghela napas panjang. Duduknya pun tidak tenang. Namun, mata indah gadis itu masih fokus menatap layar laptop yang ada di depannya.
Lagu Aku Pasti Bisa terdengar dari ponsel yang terletak di atas meja. Sekilas dia melihat nama yang tertera di layar, tanpa ragu panggilan itu pun diangkat.
“Anya! Cepetan cek e-mail. Pengumumannya sudah keluar!” teriak suara itu.
Langsung saja Anya menggerakkan telunjuknya. Lima detik kemudian, sorot matanya meredup. Dia baru saja mendapat pemberitahuan bahwa proses pengajuan beasiswanya ditolak karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Nilainya kurang hanya di koma. Tanpa banyak kata, dia segera mematikan laptopnya dan berdiri meninggalkan tempat itu.
Anya merasa ribuan pisau menusuk jantungnya saat itu. Hanya rasa perih, nyeri, dan sesak yang memenuhi hati dan jiwanya. Pikirannya melayang-layang tanpa tahu arahnya ke mana.
***
Anya memberesi buku-bukunya. Hari itu pekerjaan dia sebagai guru les usai. Dia memang seorang mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris sekaligus menjadi tenaga pengajar di lembaga pendidikan. Pagi hingga sore Anya kuliah, sisanya dia bekerja.
“Thank you, Miss.” Suara bersahutan dari beberapa muridnya terdengar dan dibalas anggukan Anya.
Sebelum pulang Anya mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.
“Halo, Bu,” sapanya.
“Nak … kok, bisa pas? Baru saja ibu mau menghubungimu, eh, kamu malah telepon ibu duluan.” Anya hanya tergelak mendengar respon ibunya.
Anya membayangkan ibunya tergopoh-gopoh menerima panggilan melalui ponsel itu. Ayah dan ibu Anya bukanlah orangtua yang paham teknologi. Bagi mereka berdua, ponsel hanya berfungsi menerima dan melakukan komunikasi melalui suara saja. Anya memaklumi hal tersebut. Keterbatasan pendidikan membuat ayah dan ibunya tidak mampu membaca dan menulis. Akan tetapi, kedua orangtuanya tidak ingin Anya seperti mereka.
Selepas pendidikan menengah ke atas, Anya bertekad melanjutkan pendidikannya di Surabaya. Dia tidak mau terkungkung di desa asalnya dan tentu saja mendapat dukungan dari ayah ibunya. Berbekal uang tabungan yang jumlahnya tidak seberapa, berangkatlah anak semata wayang itu mengadu nasib di kota terbesar kedua setelah Jakarta. Sengaja Anya memilih Surabaya karena selain biaya hidup tidak terlalu tinggi, persaingan di universitas pun tidak terlalu ketat, menurut pemahamannya.
Tahun pertama setelah lulus sekolah menengah atas, Anya diterima bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan keluarga. Dari situlah dia bisa bertahan hidup. Keberuntungan pun di pihaknya karena selanjutnya, dia berhasil diterima sebagai mahasiswi di Universitas Negeri Surabaya. Karena tidak memungkinkan bekerja dan kuliah secara bersamaan, akhirnya Anya mengundurkan diri dari kantornya. Untuk menutupi biaya hidup, dia mengambil peran sebagai guru les dan bantuan dana dari orangtuanya.
“Ibu, gimana? Sehat? Ayah juga?” tanyanya.
Terdengar isak tangis dari wanita yang melahirkannya itu. Anya terhenyak bergeming saat mengetahui bahwa orangtuanya mengalami musibah kecelakaan tabrak lari beberapa hari yang lalu dan mengakibatkan ayahnya stroke. Ibu sengaja tidak memberitahu karena takut mengganggu konsentrasi Anya. Tabungan mereka pun habis untuk biaya perawatan dan otomatis ayahnya tidak bisa membantu uang kuliah Anya.
“Tidak apa-apa, Bu. Anya bisa sendiri, kok.” Anya berusaha menenangkan ibunya walaupun hatinya sendiri juga merasa resah.
Semenjak itu Anya berusaha mencari informasi tentang beasiswa. Untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak, tempat kerja Anya tutup akibat pandemi. Tidak hanya itu, proses pengajuan beasiswa ke berbagai sponsor pun ditolak.
Tadinya Anya seorang yang pantang menyerah dan berkemauan keras. Apa yang diinginkan, dia berusaha mendapatkannya. Namun, beberapa bulan belakangan ini pikirannya dipenuhi dengan berbagai masalah. Ibaratnya mengurai benang kusut. Anya diharuskan memenuhi kebutuhan hidupnya, biaya kuliah yang tidak murah, dan keinginan untuk membantu biaya pengobatan ayahnya. Sebagai anak tunggal, mau tidak mau dia merasa harus bertanggung jawab terhadap kebutuhan ayah dan ibunya.
Hari itu Anya mendapat kabar bahwa ayahnya harus masuk rumah sakit karena kesadarannya menurun. Adanya penyakit bawaan makin memudahkan virus Corona menyerang tubuh ringkih itu. Ibu hanya bisa menangis kala menelpon Anya. Saat itu juga, keluarga mereka diharuskan memberikan sejumlah uang deposit. Anya hanya bisa berdiam diri. Dia pun sudah hampir tiga hari hanya makan sehari sekali.
***
Salah satu media online memghebohkan warga Surabaya dihebohkan dengan berita penemuan jenazah seorang gadis di Suramadu. Sehari sebelumnya seorang warga melapor ke Kantor SAR Surabaya bahwa ada satu unit sepeda motor tanpa pemilik yang ditinggal di atas Jembatan Suramadu dengan kondisi mesin menyala.(*)
Surabaya, 12 September 2021
Fei Ling menjadikan kegiatan menulis sebagai self healing.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/qr05uEI