Layu Sebelum Berkembang

Layu Sebelum Berkembang

Layu Sebelum Berkembang

Oleh: Hassanah 

 

Dari atas rumah panggung yang terbuat dari kayu jati, Arumi berdiri di sisi jendela besar yang terbuka sambil menengok ke samping kanan rumahnya. Dia memperhatikan ujung jalan dengan seksama. Wajahnya seperti tengah menunggu kedatangan seseorang. Setelah beberapa saat, dia berlari kecil ke d yaalam rumah. Entah apa yang dia kerjakan. Suara derap kakinya membuat lantai rumah berderit, menandakan dia bergegas ke sana kemari. 

 

“Umi, di mana kaus kaki Arum?” pekik gadis dua puluh tahun itu. 

 

“Nak pergi kat mana, Rum?” suara dari belakang rumah terdengar membalas. 

 

Gadis yang menggunakan kerudung sampai pinggang itu berlari ke luar kamar: berbelok ke kiri, menuruni lima anak tangga, dan berdiri di ambang pintu yang terbuka hanya sebagian atasnya saja. “Arum mau ikut Akak Fia ke kampung sebelah, Mi. Ada acara berarak. Nikahannya Akak Fatimah dan Abang Zul,” ungkap Arumi kepada uminya yang tengah memberi makan ayam. 

 

“Pergi sama Abak saja, Rum. Nanti abakmu berang kalau kamu pergi ke kampung sebelah tanpa dia atau abangmu.”

 

“Umi … Arum tak pergi sendiri. Ada Akak Fia dan Dik Kenanga. Kami juga pergi bertujuh ditambah rombongan Acik Salamah sekeluarga.”

 

Arumi ingin sekali pergi ke acara berarak. Kata Fia, Hazmi ada di sana sebagai rombongan arak-arakan dari pihak laki-laki. Dia akan menggunakan baju Melayu Cekak Musang, lengkap dengan songket dan kopiah hitam. Membayangkannya saja, sosok itu akan tampak tampan. Arumi tersipu. 

 

“Si Salamah pergi sekarang? Kok Umi tak tahu.” 

 

Kaget, Arumi beristigfar dalam hati. Susah-susah dia menekan gemuruh di dadanya agar tidak semakin menjadi. 

 

“Iya, Umi. Acik sama Apak dimintai tolong tadi malam. Tadi pas jemur kain Arum dibagi tahu. Pagi ini mereka harus sudah di sana. Abak pasti kasih izin kalau pergi sama adik kesayangannya itu.” 

 

Umi terdiam sejenak. Dari wajahnya, dia tampak berpikir. Lima detik kemudian, jawaban yang ditunggu Arumi pun terdengar. “Tetap harus minta izin Abak. Sana kamu tengok di kebun getah Datuk Deras yang dekat hutan. Tadi katanya mau antar kambing makan ke sana,” tutur Umi. 

 

“Baiklah, Umi.”

 

Arumi berbalik dan hendak menaiki anak tangga. Tapi baru saja kakinya menjejak di undakan pertama, Umi kembali bersuara. “Kaus kakimu jangan lupa, Rum! Tengok di keranjang rotan dekat samping lemari Umi. Ada yang baru. Pakailah!”

 

“Iya, Umi.” Arumi bergegas menaiki anak tangga. Setibanya di bagian paling atas, dia berbalik dan berteriak, “Makasih uminya Arum yang baik hatiii.”

 

Langkah gadis keturunan Melayu-Minang itu pun seketika menjadi ringan. Setelah menemukan apa yang dicari, gegas dia menuju kebun Datuk Deras yang berjarak dua ratus meter dari rumahnya. Tak sabar, juga takut tertinggal oleh rombongan yang hendak berangkat ke nikahan. Umi dan Abak juga diundang sebetulnya, tapi mereka biasanya datang menjelang sore hari. Pagi-pagi begini masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. 

 

Arumi mulai berlari saat pandangannya tak menemukan orang-orang di sepanjang jalan. Rumah-rumah juga tak lagi ada di sisi kanan dan kirinya. Yang terhampar hanyalah pohon getah berbaris rapi dengan suara nyaring binatang kecil, saling bersautan. Sesekali buah getah yang sudah kering itu pecah dan terpelanting ke sembarang arah, menimbulkan bunyi yang selalu Arumi suka.

 

Sambil berlari, dia memegangi ujung kerudung agar tidak tersibak. Jantungnya mulai berdebar seiring napas yang tersengal. Sejenak, dia berhenti dan mengatur napas yang tercekat di pangkal tenggorokan. 

 

Arumi memukul-mukul dadanya. Dia berjongkok, mengucap istigfar, dan terus berusaha mengembuskan napasnya. Bukan, dia bukan terkena asma. Ini hanya sesak napas biasa yang dideritanya sejak kecil. Bila terlalu banyak capai, dia selalu begini. Padahal udara di Desa Tandikek ini sangat asri, tapi tetap saja pernapasan Arumi tak sebaik anak Abak yang lain. Kata dokter, dia membawa gen penyakit tersebut dari nenek buyutnya. 

 

“Adik? Tak apa, kah?” tanya suara yang amat Arumi kenal. Walau tidak selalu bertemu karena lelaki itu belajar lalu bekerja di kota besar, tapi suaranya yang indah sangat disukainya. Apalagi saat mengumandangkan azan. 

 

“Tak apa. Sesak, sedikit.” Arumi terbata-bata saat menjawab. Walau menunduk, dia jelas dapat melihat warna baju lelaki itu. Biru tua. 

 

“Abang antar ke rumah? Sepertinya Adik tak sehat.” 

 

Seketika bulu kuduk Arumi meremang. Mendengar kalimat itu membuatnya merasa diperhatikan. Pujaan hati, lelaki yang tiap malam disebut namanya dalam doa. Bukan baru satu atau dua tahun, dia terpikat sejak tujuh tahun lalu. Lelaki yang menolongnya dari kejaran beruang hitam. Rela digigit kakinya, bahkan memberi kain sarung untuk Arumi agar auratnya terlindungi. Baju Arumi robek karena dicakar beruang. 

 

“Arum!” Abak datang dengan tergesa-gesa. Dia berjongkok dan mengusap punggung putrinya pelan-pelan. Sampai sesaknya hilang, Abak berdzikir meminta pertolongan Tuhan. 

 

“Sudah?” tanya Abak. 

 

Arumi mengangguk. Mereka berdua lalu bangkit da Abak bertanya kepada anaknya, hendak ke mana dia? Setelah mendengar jawaban, Abak melayangkan pertanyaan yang sama kepada pemuda yang tadi bersama Arumi. 

 

“Saya mau ke kampung sebelah, Pak. Teman saya yang menikah.”

 

Mereka mulai berjalan dengan perlahan. 

 

“Apak baru lihat Nak Hazmi hari ini. Apa sengaja pulang karena Zul menikah?”

 

“Tidak juga, Pak. Mamak juga rindu, katanya.”

 

“Kapan balik lagi ke kota?”

 

“Tiga hari lagi, Pak.”

 

Hazmi pun undur diri karena harus segera pergi. Tiga temannya baru saja berhenti di pertigaan. Mereka menaiki motor dan mengenakan pakaian Melayu yang sama. Hanya songketnya yang berbeda-beda. 

 

Dalam hitungan detik, dua motor itu sudah tak tampak setelah berbelok. Arumi yang tadinya malu-malu menatap, kini mendengarkan deru motor yang mulai samar. 

 

“Kamu masih suka budak tu?” Abak bertanya. 

 

“Masih, Abak.”

 

“Tidak bosan?”

 

Arumi menggeleng. 

 

“Kamu tidak lupa pesan Abak, kan?”

 

Arumi kembali menggeleng. “Dia pun jarang pulang kampung, Bak. Arum juga tak berani ambil jalan salah dekat-dekat dengan dia. Arum ikuti kata Abak. Minta ke Allah.”

 

“Lalu? Hati kamu masih mau sama dia?” 

 

Kali ini Arumi mengangguk. Dia bahkan yakin bahwa cintanya tak berpaling. Walau ada banyak pemuda yang hendak mempersunting, tapi tak satu pun dapat menggoyahkan hatinya. 

 

“Daripada begini terus, mau Abak lamarkan dia? Biar kamu tak menunggu-nunggu.”

 

Langkah Arumi terhenti. Dia menatap wajah Abak dengan mata berkaca-kaca. 

 

***

 

Jam sudah menunjukkan angka sembilan lewat dua puluh. Suara jangkrik dan kodok mengiringi langkah Arumi yang hilir-mudik tak mau diam. Bising suara nyamuk pun tak mengganggunya sama sekali. Yang dia nanti, adalah kepulangan Abak dari surau. Kata Abak, malam ini akan dilamarkannya Hazmi untuk dia. 

 

“Kamu sesuka itu, Rum?”

 

“Bukan macam tu, Umi. Arum cuma cemas menunggu Abak.”

 

“Jangan harap dalam-dalam, Arum. Kamu sakit hati nanti.”

 

Arumi terdiam, berdiri di tempat, lalu setelahnya duduk di samping Umi dan membantu mengayam daun pandan membentuk wadah. Tangannya sangat lihai dan cekatan. Tapi pikirannya masih tertuju pada kepulangan Abak. 

 

“Umi restu Arum menikah dengan Abang Hazmi?” 

 

“Kalau berjodoh, Umi pasti bagi restu. Hazmi itu anak baik. Lagi rajin ibadah dan santun budipekertinya. Tiap gadis pasti ingin memilikinya. Tiap orang tua pula hendak bermenantu dia.”

 

Arumi tersipu-sipu kala mendengar perempuan tali takdirnya itu berkata, lalu dia pun memeluknya erat-erat. Dihirupnya aroma tubuh Umi yang entah mengapa selalu memberinya ketenangan. Doa juga dia pinta banyak-banyak. Berharap, Tuhan pun sama memberi restu kepadanya. 

 

“Tapi, Umi. Kalau semisal nanti Arum menikah dengan Abang Hazmi, lalu tinggal di kota besar, apa Umi dan Abak bagi izin? Apa Umi tak rindu Arum nanti? Macam mana kalau Abak nak makan asam pedas tempoyak buatan Arum? Terus, kalau Abang—“

 

“Istigfar, Rum! Jangan berandai-andai. Agik pula, yang namanya istri, mestilah ikut ke mana suaminya pergi,” Umi bercakap cepat, memotong kalimat Arumi yang belum siap. 

 

Sejenak, Arumi tampak berpikir sambil menatap wajah Umi yang menunduk dengan tangan yang terus menganyam. Dia memikirkan kalimat Umi barusan lama-lama. Setelah itu, dia pun beristigfar dalam hati sebanyak tiga kali. 

 

Akhirnya, tepat jam sembilan lewat empat puluh, Abak pulang. Dia lalu duduk bersandar pada dinding papan. Sarung yang dilepasnya saat baru memasuki rumah sudah dilipat Umi. Tidak hanya Arumi, perempuan empat puluhan itu pun sama cemasnya dengan sang putri. Sambil menunggu Abak membuka suara, dua perempuan itu kembali menganyam daun pandan. 

 

“Arumi.” Abak memanggil. 

 

“Iya, Bak.”

 

“Hazmi akan kembali ke kota besok.”

 

“Iya.”

 

“Tapi ….” Abak menarik napas panjang. “Bukan ke kota tempat dia bekerja.”

 

Arumi masih menanti dengan wajah cemas. Pandan-pandan kering yang ada di tangannya diremas kuat. Dia benar-benar menunggu kabar baik, tapi wajah Abak membuat dadanya bergemuruh hebat. 

 

“Dia hendak pergi ke Kota Padang. Melamar gadis Minang di sana.” Kini Abak mengusap wajahnya. Dia menatap wajah putrinya yang terkejut. 

 

Arumi tidak berkata sepatah pun. Dia masih diam, dengan tangan yang meremas daun pandan. Perlahan, air matanya jatuh setelah tubuhnya terasa lemas lebih dulu. 

 

“Bersabar, Nak. Ingat pesan Abak.” Umi tak tahu harus berkata apa untuk menghibur putrinya. Dia mengambil tangan Arumi dan mengusap punggungnya. 

 

Arumi menoleh pada Umi. Matanya memerah dan dipenuhi linangan air mata. Tak lama kemudian, dia memeluk Umi dan meminta kepada Tuhan seperti pesan Abak. Meminta ampunan, juga setumpuk rasa sabar untuknya agar bisa melewati hari-hari selanjutnya. Dalam isaknya, dia berkata: “Belum dicinta tapi sakit kerana kecewa. Mengapa jodoh tak harus bersamanya?”(*) 

 

Bumi Lancang Kuning, 4 Agustus 2021 

 

Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Bukan seorang yang mahir melakukan sesuatu, tapi dia sangat suka mencoba untuk melakukan sesuatu yang baru.

Editor: Lutfi Rosidah

Sumber gambar: https://pin.it/3MvWMZX

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply