Hukuman

Hukuman

Hukuman

Oleh: Erien

Aku masih mengingat dengan jelas tatapan Ibu saat tanpa sengaja kuinjak kaki Arka, adikku. Mata indah yang dibingkai warna merah dan bulu mata palsu itu seperti pisau yang diasah oleh Paman Rio, tetangga kami, tadi pagi. Tajam dan siap menusuk mataku. Aku menunduk dan mematung, agar mata Ibu tidak melukaiku.

Aku memang tidak melihat Arka saat masuk pintu karena tubuhnya yang tiduran terhalang sofa. Posisi kepalaku pun menoleh ke belakang, tentu saja aku tidak melihat kakinya. Arka seketika mengaduh membuatku menyadari ada ia yang sedang tiduran di lantai. Tak lama, tangisannya terdengar panjang, melolong seperti serigala yang berubah wujud saat melihat bulan purnama. Padahal, aku yakin kakinya tidak sesakit itu karena aku langsung melonjak kaget.

Meski aku sudah meminta maaf, ia tetap menangis. Arka memang manja. Ledekan temannya yang hanya berupa kata “hu” saja, sudah membuat tangisnya seperti ditinggal mati Ibu. “Lebay!” Begitu tetanggaku menjuluki Arka. Entah kenapa, meski tahu adikku memang lebay, aku tidak rela saat tetangga kami berkata seperti itu. Bagaimanapun, Arka itu saudaraku.

Ibu berjalan tergesa-gesa keluar dari kamar ketika mendengar tangisan Arka. Di belakangnya, sesosok lelaki mengikuti. Aku mengenalinya. Paman Rio. Sempat heran, aku memilih tidak bertanya atau berkomentar.

Ibu mendekat. Dan itulah saat aku ditodong tatap tajamnya. Sekali aku membela diri atau bergerak, bisa-bisa seluruh tubuh Ibu menjelma menjadi mesin penyiksa. Tangannya akan melukis lebam atau merah di telinga dan pahaku. Kakinya akan menjejak kaki atau bokongku. Bahkan kata yang keluar dari bibir merahnya akan membuat hati ini sedih. Jadi aku memilih menjadi patung.

“Keluar!”

Satu kata itu meluncur dari bibir Ibu. Telunjuk kanannya mengarah ke pintu depan, sedangkan tangan kirinya membentuk sudut siku ke pinggang.

Itu hukuman untukku. Benar, hanya satu kata tapi bisa membuatku sedih. Waktu itu aku menangis. Hari sudah sore. Sebentar lagi azan Magrib berkumandang. Jika aku berada di luar, bagaimana caranya aku berbuka puasa nanti?

Namun, percuma. Ibu paling tidak suka dibantah. Jika hukuman sudah dijatuhkan, maka aku harus sukarela menjalankan. Matanya tidak lagi menatapku. Percuma saja aku menangis dengan wajah memelas. Ibu tidak melihat.

Paman Rio yang berdiri di belakang Ibu, menyeringai. Ia menggeleng-geleng sambil menatapku. Bibirnya bergerak melafalkan satu kata tanpa suara. “Mampus!”

Rasa heran kenapa laki-laki yang juga tetanggaku itu bisa keluar kamar bersama Ibu, berganti sebal ketika melihat gerak bibirnya. Aku sebal karena lelaki bodoh itu mengejekku. Aku tahu ia bodoh dari caranya mengenakan baju. Kancing kemeja kotak merahnya terpasang pendek sebelah, seperti Arka saat memakai kemeja sendiri. Bahkan celana jinnya tidak terkait. Rambut pun acak-acakkan. Sepertinya ia hanya pandai mengasah pisau, bukan mengasah otaknya. Kulihat Paman Rio mendekati kulkas.

Aku tersentak kaget ketika Ibu kembali berteriak menyuruhku keluar. Padahal, Arka sudah tidak menangis. Ia malah sedang menonton kartun sambil melahap es krim yang diambilkan Paman Rio tanpa sedikit pun melirik padaku.

Dengan gontai, aku melangkah menuju pintu. Ketika berbalik, kulihat Ibu mengibaskan tangan padaku, seolah-olah mengusir lalat yang mengerumuni makanannya. Sembari terisak, aku keluar lalu duduk di kursi bambu di bawah pohon mangga yang tidak pernah berbuah meski Ibu sudah menebasi batang utamanya. Pintu ditutup oleh Ibu.

Ditemani nyamuk dan senja, aku duduk memeluk lutut, bersender pada batang pohon mangga itu. Perlahan, cahaya senja hilang. Azan berkumandang.

Perutku berbunyi minta diisi. Semalam memang aku tidak makan sahur. Aku kesiangan. Di rumah, hanya aku yang puasa. Ibu bilang, ia berhalangan dan Arka belum kuat. Aku hanya mengangguk, meski heran pada halangan Ibu yang berlangsung sebulan penuh.

Aku berdiri, berjalan ke samping rumah. Di sana ada keran air. Setelah lebih dahulu mengucap doa buka puasa dan doa mau makan, aku mengumpulkan air di ceruk kedua tangan yang kusatukan. Perlahan, kusesap air keran itu. Alhamdulillah … segar sekali tenggorokanku. Tepat di samping keran, kulihat tanaman kemuning yang layu. Mungkinkah ia puasa juga? Aku kembali mengisi ceruk kedua tangan dan menyirami tanaman itu beberapa kali. Senyumku mengembang ketika tangkai-tangkai tanaman itu bergerak tertimpa air, seperti sedang menari bahagia.

Aku kembali duduk di kursi bambu. Kuamati sekitar. Sepi. Tentu saja sepi. Tidak ada seorang pun yang berkeliaran di waktu seperti ini. Waktu pergantian siang dan malam adalah waktu para jin jahat berkeliaran. Eh, tetapi aku tidak tahu apakah ada jin jahat berkeliaran di waktu bulan puasa seperti ini?

Sebenarnya aku ingin pergi ke musala. Namun, aku takut Ibu keluar mencariku. Jika aku tidak ditemuinya, bisa-bisa malam ini aku benar-benar tidur di luar.

Mataku terasa berat. Air beberapa sesap itu entah kenapa membuat perutku kenyang. Seperti habis makan nasi Padang di pojok jalan yang pernah dibelikan oleh guru ngajiku sebagai hadiah karena aku berhasil menghapal Surat An Naba dalam waktu tiga hari.

Aku merebahkan diri. Mataku berkeriyip. Hati ini sedikit resah karena belum menunaikan salat Magrib. Kursi yang kutiduri serasa bergoyang. Aku tersenyum. Rasanya mirip seperti ayunan. Kemudian, aku tidak ingat apa-apa lagi.

Aku terbangun dengan bingung ketika mendengar orang-orang berteriak.

“Gempa! Gempa!”

Bergegas aku bangkit. Kulihat rumahku bergoyang ke kanan kiri seperti mainan rumah-rumahan yang kubuat dari kertas. Aku melongo ketika sesaat kemudian, rumah di depanku ambruk, nyaris rata dengan tanah.

Aku masih mematung ketika tetangga menghampiriku. Tidak kudengar suara Ibu atau pun Arka–aku tidak peduli pada Paman Rio. Tidak pula jelas kudengar pertanyaan orang-orang. Aku hanya bertanya dalam hati.

Ya, Allah, tadi aku dihukum Ibu. Apa belum cukup? Apa ini hukuman dari-Mu karena aku mengecewakan Ibu?

Erien. Stuck, but never give up. Mari berkenalan dengan saya di akun FB Maurien Razsya.

Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com

Leave a Reply