Pulang
Oleh : Cokelat
Akhirnya kali ini aku benar-benar bisa pulang. Setelah sebelumnya berbagai macam kebijakan dari pemerintah, termasuk para pimpinan di perusahaan tempatku bekerja tak memungkinkan hal itu terjadi. Bahkan, saat lebaran pun aku tak bisa pulang. Kubayangkan betapa bahagianya Bapak dan Ibu menyambut kedatanganku nanti.
“Jangan pernah lepas masker, Bro. Tangan elu jangan malas disemprot. Walau baru kemaren kita dites antigen di kantor, kamu bisa aja ketularan di perjalanan. Salam sama Bapak dan Ibu, ya. Nanti aku main ke sana kalau acara nikahan elu.” Adnan, sahabat sekaligus teman sekamarku di indekos terbahak.
Seperti biasa, jika mulai membahas soal covid, masker ataupun hand sanitizer, Adnan tak ubahnya seperti seorang kakek yang sedang menasihati cucunya. Sangat menyebalkan. Menurutku, dia terlalu paranoid dengan penyakit yang disebabkan virus corona itu. Mudah-mudahan bus segera berangkat, agar aku bisa lepas dari ceramahnya soal corona.
Aku bergegas naik ke bus saat kernet mengumumkan keberangkatan bus yang akan kutumpangi. Sebelumnya, kudorong Adnan menjauh dan menggodanya dengan nada bercanda. “Pulang sana. Eh, pasti mampir ke rumah Lisa dulu, kan? Elu mana bisa nggak lihat dia walau sehari pun.” Aku memasang mimik mengejek untuk menggoda Adnan yang mengantarku ke terminal.
“Iri bilang, Bos! Jomlo emang bisanya iri. Huuu ….“ Adnan berteriak-teriak. Suaranya bahkan masih terdengar sampai aku duduk di kursiku. Beberapa penumpang melirik dan menoleh ke arahku sambil tersenyum. Sialan kau Adnan!
Setelah memakan waktu perjalanan hampir semalaman, aku akhirnya tiba di rumah. Bapak, Ibu, dan kedua adikku sangat bahagia. Ibu setengah berlari dari dapur ketika mendengar suaraku mengucap salam di depan pintu ruang tamu.
“Ya Allah, Nak. Akhirnya kamu bisa pulang.” Ibu membentangkan tangannya, hendak memelukku.
Seketika bayangan Adnan berkelebat. “Ingat, sampai rumah elu langsung ganti baju dan mandi. Perjalanan elu jauh. Lebih baik berjaga-jaga, kan? Saran gue, sih, elu juga pakai masker di rumah. Ga usah deket-deket apalagi peluk-pelukan sama Bapak dan Ibu. Yang penting kan udah ketemu.” Ucapan Adnan saat kami duduk-duduk di depan kamar, malam sebelum keberangkatanku, kembali terngiang.
Bagaimana ini? Ibu pasti sedih kalau aku tak menyambut dan membalas pelukannya. Apa kujelaskan saja? Ah, biar sajalah. Aku kan baik-baik saja. Apa yang bisa ditularkan oleh orang sesehat aku?
“Ibu, Gun kangen.” Segera kuraih tubuh Ibu ke dalam pelukan. Wangi khas Ibu yang begitu kurindukan memenuhi penciumanku.
“Kamu sudah tiba, Nak?” Suara berat Bapak terdengar dari pintu tengah. Aku pun melepas pelukan Ibu, dan berganti memeluk Bapak. Betapa aku merindukan mereka berdua.
Malamnya, kami bercengkrama di depan televisi. Ibu membuat kolak pisang kesukaanku. Saat Ibu menyuapi sesendok kolak ke dalam mulutku, Adi melirik dengan wajah mengejek. Adikku itu lalu menyenggol Ari, kembarannya. Lalu mereka berdua cekikikan.
“Gak cocok sama bodi dan tampang,” Ari pura-pura berbisik, tapi suaranya bahkan bisa terdengar sampai ke teras. Mereka berdua kini tertawa terbahak-bahak. Dasar anak-anak usil.
“Kalau iri, ngomong! Nih, Bu, anak-anak manja pada iri.” Aku menjitak kepala Ari yang duduk di sampingku.
“Abaaang, sakit tahu!” Ari memasang wajah memelas sambil mengusap-usap kepalanya. Kami semua pun tertawa melihat kelakuan Ari.
Begitulah Ibu. Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu, masih saja memanjakan anak-anaknya. Padahal usiaku sudah di akhir dua puluhan dan kedua adikku kini duduk di bangku SMA. Apalagi aku yang jarang pulang, tentulah mendapat perlakuan istimewa selama di rumah. Seperti malam ini, aku makan kolak sepiring berdua dengan Ibu.
Aku sedang mengatur pakaian ke dalam tas ketika terdengar suara ketukan di pintu. Rencananya besok aku akan kembali ke Jakarta karena waktu cuti yang sudah selesai, dan Senin lusa harus kembali berkantor.
Adi melongokkan kepalanya dari balik pintu setelah aku berteriak menyuruh masuk.
“Bang, Ibu kok badannya makin panas, ya. Trus batuk-batuk Bapak makin parah. Apa kita bawa ke dokter praktek, aja, Bang?”
Aku meletakkan baju kaos yang sedang kulipat. Sejak kemarin Ibu memang mengeluh badannya hangat. Sementara Bapak sejak dua hari yang lalu mulai terdengar sering batuk-batuk. Kupikir hari ini mereka berdua membaik setelah dibelikan obat dari apotek, ternyata malah makin parah.
Aku baru kembali setelah sejak pagi keluar untuk bertemu dengan teman-teman SMA-ku. Seharian ini kami bernostalgia dan mengunjungi beberapa teman yang lain. Pantas saja saat pulang tadi, aku tak melihat Bapak dan Ibu di ruang televisi. Biasanya mereka berdua akan menghabiskan waktu di depan televisi sampai pukul sepuluh malam, sebelum masuk ke kamar dan bersiap tidur.
Aku bergegas menuju kamar Bapak dan Ibu. Badan Ibu sangat panas. Sementara Bapak, batuknya membuat lelaki kesayanganku itu susah bernapas. Ya Tuhan, mereka harus segera dibawa ke dokter.
Akhirnya Bapak dan Ibu harus dirawat di rumah sakit. Aku menelepon Bos untuk menjelaskan keadaanku. Syukurlah, beliau mengerti dan permohonan tambahan cutiku dikabulkan. Ya, bagaimana mungkin aku kembali ke Jakarta dalam keadaan seperti ini?
Saat hasil tes Bapak dan Ibu keluar, dan mereka dinyatakan positif covid, aku terduduk lemas di bangku rumah sakit. Tidak! Tidak mungkin! Tuhan, bagaimana bisa ….
Perasaanku hancur saat beberapa hari kemudian Bapak dan Ibu drop. Mereka berdua kini bernapas dengan bantuan ventilator. Aku tak berhenti mengutuk diriku sendiri. Ini semua karena aku. Aku! Aku anak yang tak bisa menjaga kedua orang tuanya.
Ampuni aku Pak, Bu. Air mataku bercucuran saat melihat video yang dikirimkan seorang perawat. Aku tak kuasa melihat kedua orang yang begitu kusayangi kini tak berdaya dan menderita. Dan semua karena keteledoranku. Ya Tuhan, apakah mereka berdua mampu melewati semua ini? Sembuhkan lah Bapak dan Ibu, ya, Tuhan. Aku mohon.
“Nan, sungguh, tak pernah seumur hidup aku menyesal seperti ini. Seharusnya aku tak pulang.” Aku menelepon Adnan dari rumah sakit. Berharap, waktu bisa berputar kembali dan aku tetap di kamar indekos, menonton televisi bersama Adnan. Seandainya aku tak pulang …. (*)
Kamar Cokelat, Agustus 2021
Cokelat. Penggemar cokelat dan segala turunannya
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata