Rasa yang Salah
Oleh : Mafaaza
Pagi yang mendung. Hujan semalam meninggalkan jejak tetes air di jendela kaca tempatku bekerja. Pemandangan di luar kaca menjadi kabur, buram, seperti semangatku. Ujung jariku mengetuk-ngetuk meja yang baru saja kubersihkan.
Entahlah, sudah lima hari tak ada semangat kerja, karena setiap masuk ke restoran ini, di setiap sudut hanya ada bayangannya, senyumnya, perhatiannya. Dia yang saat ini sedang berbahagia dengan … ah, mengingatnya aku jadi kesal sendiri. Tanpa sadar aku melemparkan kanebo yang berada di atas meja.
“Gabut, lu?” Suara Rena, rekan kerjaku, menyadarkan dari lamunan.
Aku tak menanggapi ucapannya. Meraih kanebo yang tergeletak di lantai lalu bergegas ke dapur.
Lima hari sudah kurindu
Tak bisa ‘ku menghubungimu
Kau sedang dengan dirinya
Sedang kita rahasia
Kapankah kau ada waktu
Sembunyi untuk bertemu?
Lagu dari Juicy Luicy mengalun pelan dari speaker gawaiku. Aku meraihnya, mencari kontak nama yang membuatku rindu. Menimbang, apakah aku harus meneleponnya terlebih dulu, ataukah harus menunggu dia menghubungiku terlebih dulu? Tapi rasanya, aku sudah sangat lama menunggu. Apakah dia di sana terlalu bahagia sehingga tak mengingatku sedikit pun?
Tak tahan juga, kusentuh gambar telepon berwarna hijau. Beberapa detik kemudian terdengar nada tersambung. Sedetik, dua detik … semakin lama debaran di dadaku semakin kencang. Antara takut tapi juga rindu. Bagaimana kalau bukan dia yang mengangkat teleponnya? Bagaimana kalau dia marah karena aku lancang menghubunginya terlebih dahulu?
“Halo ….” Suara wanita di seberang telepon terdengar seperti petir.
“I-ya, halo.” Aku berusaha keras mengatur nada bicaraku agar tak terdengar gugup.
“Ada apa, Ran?”
“Eh … nggak papa, Mbak. Eng … cuma mau tanya, Mbak kapan pulang?” Keringat dingin membasahi badan dan telapak tanganku. Aku sungguh berdoa wanita itu tidak menyadari sesuatu dari nada suaraku yang bergetar.
“Oh, nggak lama lagi, Ran. Mungkin besok kami sudah pulang. Gimana? Nggak ada masalah, kan, di restoran kami?”
“Aman, Mbak. Semuanya aman.” Kecuali hatiku.
“Oke. Eh, kamu mau dibawain oleh-oleh apa?”
“Nggak usah repot-repot, Mbak. Ya udah, ya. Rani tutup dulu.”
Sebelum sambungan telepon terputus, sempat terdengar suara pria yang kurindukan bertanya “Siapa yang menelepon?”
Aku tak sanggup mendengarnya lebih lama. Kusentuh gambar telepon berwarna merah. Panggilan terputus, tapi jantungku masih berdetak dengan cepat. Aku takut … takut seseorang tahu aku telah mengambil hati yang bukan milikku. Tapi juga takut, jika harus kehilangannya.
***
Keesokan paginya, dengan malas aku berjalan menuju restoran yang memang letaknya tak jauh dari kontrakan. Pria itu yang memilihkannya untuk tempat tinggalku. Pasti dia khawatir kalau aku menempuh perjalanan jauh, kemudian terjadi hal-hal yang tidak baik. Dia memang sangat perhatian.
Aku teringat, kemarin wanita itu bilang hari ini mereka akan pulang, itu berarti nanti sore atau bahkan malam mereka baru akan sampai di kota ini. Mengingat jauhnya perjalanan mereka ke luar kota dengan pemandangan yang indah itu. Huh, mengingatnya aku jadi semakin sebal.
“Hai, Cantik.”
Aku terkesiap, baru sadar ternyata langkah kakiku sudah di depan pintu restoran. Dan suara itu? Cepat aku mendongak, mataku melotot melihat siapa yang ada di depanku.
“Bapak sudah pulang? Ibu bilang kalian baru pulang hari ini.”
“Siapa yang tahan lama-lama nggak jumpa sama gadis manis kayak kamu?”
Aku refleks mencubit pinggangnya.
“Auw!” Dia mengaduh manja.
“Jangan ganjen di sini, nanti dilihat orang.” Aku berbisik pelan. Pipiku menghangat.
“Ada hadiah buat kamu di atas meja dapur. Cepat ambil, mumpung pegawai yang lain belum datang.”
Aku mengangguk dan bergegas masuk, takut gerak-gerik kami mengundang kecurigaan dari orang-orang yang lewat di depan restoran. Tapi baru hendak melangkah, kakiku tersandung gawang pintu, tubuhku limbung, refleks tangan pria itu meraih lenganku. Rasanya hangat, sehangat hatiku saat melihat senyumnya yang telah lama kurindu.
“Lepas, Pak.”
Dia diam, tetap memegang lenganku, bahkan membantuku menegakkan tubuh.
“Nanti ada yang lihat.” Kali ini berusaha kulepaskan genggaman tangannya.
Baru kau sapa ‘ku tersipu
Kau puji lupa amarahku
Karena kau paling tahu
Cara lemahkan hatiku
Walau tak ada yang pasti
Yang kau beri hanya mimpi
Lantas mengapa kumasih menaruh hati
Padahal kutahu kau telah terikat janji
Keliru ataukah bukan? Tak tahu
Lupakanmu, tapi aku tak mau
Aku duduk di kursi sambil mengatur napas yang naik turun. Pria itu, paling tahu apa yang kusuka. Kedua tanganku menggenggam sekotak skincare lengkap dengan peralatan makeup. Aku tak habis pikir, bagaimana dia bisa membeli barang-barang ini tanpa menimbulkan kecurigaan istrinya.
“Ibu yang beli semua itu buat kamu, Ran.”
Aku mendongak, menatapnya dengan sejuta tanya.
“Kata Ibu, itu hadiah buat karyawan yang paling rajin. Kamu jangan bilang-bilang sama yang lain, ya.”
Seketika air liurku terasa pahit.[*]
Indragiri Hilir, 15 Agustus 2021
Mafaaza, seorang perempuan penyuka hujan, biru, bunga, benang, dan pena.
Editor : Inu Yana
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata