Tingkat Literasi Indonesia Masih Terpuruk
Oleh : Cici Ramadhani
Menyedihkan, itulah satu kata yang mungkin tepat untuk menggambarkan tingkat literasi di Indonesia yang sangat rendah. Paling tidak, itu tergambar dalam dua penelitian yang dilakukan dua lembaga bergengsi di dunia.
Menurut hasil penelitian Program for Internasional Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economy Cooperation and Development (OECD) pada 2015, Indonesia berada pada peringkat kedua terendah dari 70 negara. Responden penelitian itu adalah siswa sekolah usia 15 tahun, yang jumlahnya sekitar 540.000 orang. Peringkat pertama dalam penelitian tersebut diperoleh oleh Singapura, disusul Jepang, kemudian Estonia.
Setahun kemudian, Central Connecticut State University (CSSU), salah satu perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat, merilis peringkat literasi negara-negara di dunia berdasarkan keberadaan perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer. Dari 61 negara, Indonesia lagi-lagi memperoleh peringkat kedua terendah, satu tingkat di atas Botswana. Sedangkan untuk peringkat pertama adalah Finlandia, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, Amerika Serikat, dan Jerman. Singapura sendiri berada di peringkat 36.
Dari kedua hasil survei itu, jelas terlihat bahwa tingkat literasi di Indonesia masih terpuruk. Hal itu juga tampak dari minat baca orang Indonesia yang masih rendah. Jika orang Indonesia menghabiskan waktu membaca buku 3-4 jam per minggu, orang Finlandia, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Australia menghabiskan waktu membaca buku 7-8 jam setiap minggunya.
Finlandia adalah negara paling terpelajar dalam bidang literasi di seluruh dunia, demikian dikatakan Presiden CSSU, John W. Miller. Pemerintah Finlandia selalu memberi paket perkembangan anak untuk orang tua yang baru memiliki anak. Selain beberapa keperluan bayi, ada juga buku bacaan bagi orang tua dan bayinya.
Perpustakaan di Finlandia terdapat di mana-mana. Setelah jam sekolah berakhir, anak-anak diwajibkan belajar Bahasa Inggris dan membaca satu buku per minggu. Orang tua di Finlandia juga memiliki tradisi membacakan cerita dongeng sebelum tidur kepada anak-anaknya. Film berbahasa asing di layar televisi di Finlandia tidak dialihsuarakan, hanya diberi teks terjemahan agar anak-anak rajin membaca.
Sementara di Jepang, budaya membaca juga ditanamkan sejak usia dini. Di Jepang, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak diwajibkan membaca buku selama 10 menit. Kemudian toko-toko buku di Jepang menyediakan buku-buku baru untuk dibaca secara gratis. Menurut pemilik toko, semakin banyak yang membaca buku gratis di tokonya, maka semakin banyak kemungkinan orang tersebut akan kembali untuk membeli buku di hari berikutnya.
Di Jepang, selain toko buku yang menjamur, banyak juga ditemui ruang publik untuk membaca. Masyarakat Jepang selalu memanfaatkan waktunya dengan membaca, baik itu saat nongkrong di kafe, mal, bahkan saat berada di dalam angkutan umum, seperti bus dan kereta api.
•Sulit Memperoleh Buku•
Lalu, mengapa minat baca masyarakat Indonesia, terutama anak-anak dan remaja, sangat rendah?
Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka menjelaskan, anak-anak tidak membaca buku, karena sulitnya memperoleh buku yang sesuai. Ditambah lagi, kegiatan membaca buku tidak digalakkan sejak usia dini. Membeli buku bukanlah hal prioritas bagi masyarakat Indonesia. Menjamurnya game online juga menjadi faktor rendahnya minat baca. Itulah sebabnya, aktivis Pustaka Bergerak berusaha menghadirkan perpustakaan bagi anak-anak hingga ke pelosok daerah.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia juga mulai aktif membantu perkembangan literasi di tanah air. Di antaranya, mendukung taman bacaan di pelosok daerah dengan program pengiriman buku gratis melalui kantor pos setiap tanggal 17. Kini, masyarakat Aceh bisa mengirimkan buku pada anak-anak Papua secara gratis, atau masyarakat Bandung mengirimkan buku untuk anak-anak Manado. Selain menimbulkan rasa nasionalisme, karena terhubung yang lewat sebuah buku, kegiatan ini juga dapat menumbuhkan budaya baca yang menyeluruh ke pelosok nusantara.
Masih banyak lagi upaya yang dilakukan untuk menumbuhkembangkan tingkat literasi di Indonesia. Kita berharap dengan berbagai usaha yang dijalankan, secara perlahan tapi pasti, tingkat literasi akan semakin meningkat di negara kita. (*)
Aceh Tamiang, 11 Maret 2021
Cici Ramadhani, ibu dua anak yang suka berpetualang dan penyuka warna biru.
Editor: Imas Hanifah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata