Adik Bocahku

Adik Bocahku

Adik Bocahku
Oleh : Hassanah

Aku dengar, di pinggir jalan di depan rumah sakit jiwa, selalu ada orang-orang yang membagikan kolak gratis setiap sore. Tentu saja selama bulan Ramadan. Karena hanya di bulan itulah, banyak orang-orang yang tiba-tiba menjadi “baik”. Atau mungkin hanya menurutku saja? Entahlah, bagiku semua bulan itu “sama”. Sama-sama harus dilalui dengan membuang segala malu yang kian hari kian menempel layaknya debu yang menjamah tubuhku.

Sejujurnya, aku tidak begitu tertarik dengan makanan yang kebanyakan dijadikan sebagai hidangan pembuka puasa itu. Walau isiannya bisa bermacam-macam, tetapi rasanya tetap sama saja. Manis dan membuatku berhenti memakannya saat suapan kedua. Kuahnya yang terbuat dari santan itulah yang tak begitu aku sukai.

Namun, detik ini adikku sudah merengek untuk menunggu orang-orang di depan rumah sakit jiwa, menunggu dibagikan kolak, juga beristirahat setelah berkeliaran di berbagai tempat sampah. Dasar bocah, dia tak tahu kalau matahari belum menyingsing ke peraduannya. Itu tandanya, orang-orang itu belum tiba di sana. Dia pun memasang wajah melasnya dengan baju lusuh yang sudah tiga hari tidak ganti itu.

Orang bilang, kami itu pemulung. Ada pula yang menyebut kami itu anak-anak nakal yang suka mencuri setiap ada kesempatan. Sementara itu, tidak sedikit pula yang menyebut kami orang miskin. Padahal, aku selalu bilang kepada adikku bahwa kami adalah anak-anak penyelamat bumi. Bukankah begitu? Botol plastik yang mereka sebut sampah itu adalah musuh bumi dan sahabat kami. Tanpa mereka, kami akan merana, tetapi bumi berbahagia.

“Ayolah, Kak. Aku sangat ingin makan kolak untuk berbuka puasa.” Adikku terus merengek. Sudah dua kali dia meletakkan goni lima puluh kilo pada pundaknya itu dengan kasar ke tanah bersama tubuhnya. Sudah dua kali pula aku hanya diam menatapnya sambil melirik orang-orang yang lewat di dekat kami.

“Penuhi dulu gonimu, baru kita pergi ke sana.” Aku berjalan lambat, meninggalkan dia yang terdengar masih merengek. Setelah aku melangkah sebanyak usiaku, enam belas, suaranya sudah berganti dengan entakan kaki dan botol-botol plastik serta kaleng yang bertumbukan. Sudah dipastikan, dia akan mendahuluiku dengan karung yang diseret malas. Dasar bocah!

Sejujurnya, daripada kolak dalam gelas plastik yang biasa menjadi tempat pop ice itu, aku lebih ingin mencicipi kurma. Bukan sembarang kurma yang biasa dibagikan orang-orang di lampu merah saat bulan Ramadan, tetapi kurma yang katanya adalah kurma Nabi. Apa namanya? Aku lupa karena pertama kali mendengar nama itu sudah cukup lama, sekitar tahun lalu. Ketika orang-orang yang pergi haji, pulang ke rumahnya dan aku lewat untuk mengambil kardus-kardus bekas barang bawaan mereka.

Adikku selalu bertanya, lebih tepatnya terdengar seperti cemoohan, mengapa aku begitu ingin mencicipi kurma Nabi tersebut? Apakah setelah memakannya kami akan hidup mulia? Atau mungkin menjadi sehat selamanya hingga uban-uban memenuhi kepala kami? Cih, banyak sekali pertanyaannya.

Dia memang tidak akan pernah tahu mengapa aku begitu ingin makan kurma Nabi. Sebab, aku pun tidak tahu alasannya. Yang ada di benakku saat ini adalah, hanya ingin mencicipinya. Hanya itu. Ya, seperti orang-orang yang pulang ke rumah dan ingin tidur. Alasan sederhana, hanya ingin saja. Apa salah?

Padahal, adikku itu selalu  meninggalkanku dengan kaki yang dientak-entakkan setiap kali aku bertanya: kalau kita makan kolak, apakah kita akan merasakan kepulangan Ibu?

Padahal, perempuan yang mengambil kami di stasiun saat Bapak tak kunjung kembali dari toilet itu, hanya sekali membuatkan kami kolak dengan isian ketela pohon.

Padahal, setelah Ibu pergi dengan alasan hendak mengantar kolak ke rumah temannya, dia tak pernah pulang hingga kami diusir dari rumah petak.

Ah, aku masih ingat saat dua tahun lalu harus mencuci baju dan membersihkan rumah pemilik kontrakan untuk melunasi utang Ibu. Lima bulan lamanya. Nasib baik, adik bocahku masih dapat makanan dari sang pemilik, walau itu hanya sisa mereka. Nasib baiknya lagi, aku pun diberi sedikit uang oleh mereka untuk menyewa sepetak kamar di daerah gang sempit.

Mengenang masa-masa itu, dadaku jadi bergemuruh. Mataku terasa panas seperti dibakarkan suluh-suluh. Sekarang, lihatlah adik bocahku. Dia mengorek tempat sampah dengan bibir mengerucut. Tangan dengan jari-jari yang kukunya hitam itu tak berhenti mengais, memilah, lalu memasukkan botol plastik ataupun kaleng minuman ke dalam goni.

“Sudah penuh!” Adikku berkacak pinggang dengan senyum simpul.

“Belum. Masih ada ruang untuk memasukkan sepuluh botol plastik.” Tanganku bergegas melipat kardus bekas dan memasukkannya ke dalam goni. Sementara, adik bocahku kembali mengerucutkan bibirnya.

“Nanti kolaknya habis, Kak! Awas saja kalau mereka sudah pergi nanti. Aku berdoa agar Kakak tak bisa makan kurma Nabi.” Dasar bocah! Dia berjalan malas sambil mengentak-entakkan kakinya lagi.

Kami pun kembali menyusuri jalan-jalan yang diapit rumah-rumah. Dengan tubuh yang dipenuhi peluh, juga kulit kepala yang terasa panas dan gatal, aku mengedarkan pandangan dengan seksama. Barang kali ada barang rongsokan yang dibuang pemilik rumah.

“Mau ke mana?” Aku menatap punggung adik bocahku yang berlari menuju halaman salah satu rumah. Langkahnya terlihat sangat ringan. Setelah membungkuk, dia berdiri tegap sambil mengacungkan sesuatu. Mobil-mobilan berwarna merah.

“Letakkan kembali di tempatnya. Pemiliknya akan marah bila barangnya hilang padahal tidak dibuang.” Aku menatapnya dengan serius. Sekejap saja, wajah riangnya menjadi kecut. Tanpa mengulang permintaanku, atau lebih tepatnya perintah, dia meletakkan mobil-mobilan itu. Dia pun berjalan gontai menuju tempat sampah di depan rumah berwarna putih yang kemudian aku menyusulnya.

Selagi aku dan adikku mengais dengan serius, suara pintu dibuka membuat kami segera menyudahi mengorek-ngorek. Takut mendapat teriakan dan makian, kami bergegas meninggalkan tempat sampah. Namun, panggilan seseorang menghentikan langkah kami.

“Kemarilah. Ini ada beberapa botol dan kardus bekas. Bawalah.” Ibu berdaster yang memanggil kami itu menyodorkan sekantong plastik penuh botol bekas. Pun empat kardus minuman yang sudah dilipat.

“Terima kasih.” Aku berujar setelah mengambil kardusnya.

“Ibu baik, terima kasih, ya?” Adik bocahku juga berucap hal serupa denganku setelah mengambil kantong plastik. Ibu itu pun tersenyum.

Setelahnya, adikku kembali tersenyum semringah. Goni di pundaknya sudah penuh. Langkahnya kembali terlihat sangat ringan. Dia juga bersenandung kecil.  “Sekarang sudah boleh, ‘kan? Kolaaak.” Suaranya terdengar merayu dengan alis yang sengaja dinaik-turunkannya. Dasar bocah!

“Goniku masih muat untuk beberapa kardus lagi. Nanti saja,” ucapku, pura-pura tak peduli. Aku suka melihatnya kesal. Apalagi saat dia mengerucutkan bibirnya seperti saat ini. Dia benar-benar adik bocahku.

Walau kesal, langkahnya pun kembali menuju tempat sampah di depan rumah, dekat pertigaan.

“Mau ke mana? Kita belok ke sini untuk keluar gang.” Aku tersenyum saat melihatnya masih mengerucutkan bibir sambil mengentak-entakkan kaki. Akan tetapi, langkahnya menuju arah yang kumaksud.

“Mereka sudah datang! Kolak!” pekik adikku saat kami berada di seberang rumah sakit jiwa. Ya, aku sengaja membuatnya menyusuri jalan hingga keluar gang. Lihatlah, dia tersenyum semringah saat ini. Berulang kali dia menatapku dan orang-orang di seberang jalan sambil menunjuk-nunjuknya. Kegirangan. Dia adik bocahku.

“Itu hanya untuk orang-orang yang berpuasa.” Aku berujar dengan sengaja karena dia memang tidak berpuasa. Tengah hari tadi dia sudah minum teh yang tersisa di dalam botol, di tempat sampah.

Dia berhenti kegirangan, lalu berkata, “Aku juga orang yang berpuasa. Aku sudah menahan diri untuk tidak memaki orang yang memakiku. Aku tidak mengambil apa yang bukan milikku walau itu sesuatu yang begitu ingin kumiliki. Aku juga tidak pernah bilang lapar kepadamu. Apakah puasaku berbeda dengan puasa orang-orang?”

Kali ini giliran aku yang berhenti di tempat. Sepertinya, bocah itu sudah bukan bocah lagi. Ah, kejam sekali aku, membiarkan dia menahan amarah, juga berpura-pura tidak merasakan perih yang melilit perut saat uang hasil memulung dirampas preman gang.

Adik bocahku sudah bukan bocah lagi. Dia tumbuh dan didewasakan oleh keadaan. Dia besar dan ditegarkan oleh takdir Tuhan. Dia bukan lagi bocah lima tahun saat Bapak membuang kami. Juga bukan bocah tujuh tahun saat Ibu meninggalkan kami. Dia adalah anak laki-laki yang sangat menyukai kolak dan berusia sembilan tahun.

Aku memasang senyum untuk adikku seraya berkata, “Ayo, kita berbuka puasa!”(*)

 

Bumi Lancang Kuning, 21 April 2021 (direvisi pada 13 Juni 2021)

Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Penyuka petrikor, segelas kopi panas, dan senja. Menulis dengan baik adalah fokus utamanya.

Editor : F. Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply