Elison and His Guitar

Elison and His Guitar

Elison and His Guitar
Oleh : Ine Young

Teriknya sinar sang bintang raksasa siang itu, membuat seorang pria memutuskan untuk berteduh. Di bawah rerimbun pohon kersen yang begitu lebat daunnya, pria itu mengeluh kesal. Elison, begitulah ia sering dipanggil. 

Tanpa sengaja, Elison melirik sebuah toko alat musik di seberang jalan yang seakan memanggil dirinya sedari tadi. Sudah sejak lama, ia tertarik untuk memainkan sebuah alat musik dan mungkin inilah kesempatannya. Sekalian cuci mata, pikirnya.

Mata tegasnya tertuju pada satu benda yang sekilas tampak asik untuk dimainkan. Elison tertantang untuk menaklukan alat musik berlekuk dan bersenar, serta memiliki warna coklat muda tersebut. 

Ya, gitar. Ia memberanikan diri untuk membeli alat musik itu. Dengan perasaan senang yang sulit dijelaskan, pria itu pun beranjak pulang dengan menyusuri jalan setapak bersama gitar yang baru saja dibelinya.

Ia tinggal seorang diri. Menjauhi hiruk pikuk. Menghindari berbagai macam interaksi dengan orang yang dikenalnya di masa lalu. Ia membatasi diri mengenal orang baru, berusaha tak terlibat dengan apa pun atau siapa pun. 

Dan kini, sudah ada gitar yang menjadi teman di kala ia merasa sepi. Itu sudah cukup. Itu bahkan lebih baik dibanding dengan segala kerumitan yang akan terjadi jika ia terlalu sering berurusan dengan orang lain. Setidaknya, itulah yang ia yakini.

Malam gelap kali ini, ia ditemani suara jangkrik yang bersahutan. Elison duduk santai di teras depan rumah. Ia menyeruput secangkir kopi hitam buatannya sendiri. Pahit. Kopi itu pahit. Namun, masih tak dapat menyaingi kepahitan yang ia alami selama ini. 

Ia memosisikan gitar baru miliknya dengan nyaman di atas pangkuan. Dipetiknya satu persatu senar-senar gitar tersebut. Petikan jari yang tak paham kunci nada menghasilkan suara tak beraturan, memecah malam kelam.

Ternyata, tak semudah itu memainkannya.

Beberapa saat menghabiskan waktu hanya menghasilkan nada sembarangan, Elison pun sedikit putus asa. Ia tidak menduga alat musik yang disangkanya mudah untuk dimainkan, ternyata dapat membuatnya mengernyitkan dahi dan mendengus kesal.

Ia menghempaskan gitar ke lantai ubin rumahnya dan menyudahi kegiatannya itu. Lalu, ia masuk ke dalam rumah untuk merehatkan diri. 

“Rumit! Segala hal yang kukerjakan tak ada gunanya!” teriaknya, lalu ia membanting pintu kamar.

***

Sudah selama seminggu, Elison mengabaikan gitar yang kini berada di sudut ruangan. Ia melirik benda itu dan kemudian mendelik. Ia menyesal membelinya karena tak dapat memainkannya dengan baik.

Ketika ia melewatinya, langkahnya terhenti. “Tunggu.” Ia kemudian berpikir dan membalikkan badan. “Bagaimana bisa aku mahir bermain gitar, jika aku hanya mendiamkannya? Apa kali ini aku akan berhasil? Aku akan mencoba lagi dan menaklukkannya,” sambungnya tegas, bertekad mendulang asa.

Hari berganti bulan, seperti mengayuh sebuah sepeda, Elison berlatih perlahan, tapi pasti. Ia menyadari bahwa senar-senar gitar perlu diselaraskan sebelum dimainkan. 

Dengan mengesampingkan rasa menyerah, Elison terus berlatih meski menemui beberapa kesulitan. Ia kini dapat memainkan beberapa tangga lagu dengan cukup lancar. Jemari yang lecet dan terluka pun semakin lincah memainkan nada.

Usaha tak pernah mengkhianati hasil. Hari ini, ia telah selesai memainkan sebuah tangga lagu dengan semringah puas. Ia berada di penghujung latihan dan menaruh alat musik itu di sudut ruangan seperti biasa. Sebelum tidur, dipandanginya gitar itu lekat-lekat.

“Maafkan aku pernah tak acuh padamu.” Ia meminta maaf, menyesal.

***

Memainkan gitar layaknya seperti menjalani hidup. Kerap kali, seseorang akan mengalami jatuh bangun sebelum akhirnya berhasil. Seperti Elison yang berlatih keras meski sempat ingin menyerah. Akhirnya, ia dapat menghasilkan alunan nada yang indah dari jarinya. 

Senar-senar gitar yang dipetik menghasilkan warna nada yang harmoni bagaikan insan manusia yang berbeda tetapi saling bertautan. Mereka menciptakan hubungan yang hangat di dalam hidup.

“Ini adalah hidupku, tapi aku tidak hidup sendiri. Mungkin aku memang harus berjuang dan mengalami patah sebanyak mungkin sebelum akhirnya sembuh. Mungkin aku juga akan menuai petuah juga berkah di setiap sudutnya. Satu hal yang pasti, aku ingin menikmati nada-nada indah yang kau hasilkan ataupun yang dunia berikan. Terima kasih telah mengajarkanku sesuatu,” ucapnya tersenyum pada alat musik petik miliknya itu. 

Malam ini gitar kesayangannya seolah menjelma bagai guru kehidupan. Semua bukanlah kebetulan. Bukan Elison yang memilih gitar itu. Akan tetapi, gitar itulah yang telah memilihnya. (*)

 

Semarang, 14 Juli 2021

Ine Young. Menulis adalah kekuatan tersembunyi, jangan ragukan dampak hebatnya suatu hari nanti. Kritik dan saran: Instagram: @ineyoung.

Editor : Imas Hanifah N

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply