Bukan Sahabat Sejati
Oleh : Rizka Mufita
“Sesil, pinjem tas, ya!”
“Dona, kita pakai baju kembaran ya!”
“Ngemall, yuk, Sil. Bosen di kos.”
Begitulah kami, aku dan Dona memang seperti gadis kembar beda orang tua. Persahabatan kami dimulai sejak awal masuk kuliah. Sering jalan dan beraktivitas bersamalah yang membuat banyak orang memanggil kami si kembar. Meskipun begitu, Dona lebih cantik dari pada aku. Berkulit putih dengan postur tubuh tinggi semampai, mudah bergaul, dan memiliki banyak teman menjadi ciri khas Dona. Berbeda dengan aku, berwajah pas-pasan dengan postur tubuh lebih pendek dibandingkan Dona. Sifatku yang cuek dan cenderung pendiam membuatku tidak memiliki banyak teman.
Untuk urusan hati, aku tak seperti Dona yang sering bergonta-ganti pacar. Aku lebih tertutup dengan kehadiran cinta, bisa dibilang aku termasuk orang yang sulit jatuh cinta. Namun, jika sudah jatuh cinta, aku justru sulit melupakan. Itu kenapa aku enggan jatuh cinta. Sebenarnya ada satu rahasia tentang cinta yang sengaja kututup rapat, tentang rasaku terhadap seseorang yang tak mungkin bisa aku raih apalagi memiliki.
Sore itu mendadak ibu mengirimkan pesan untukku. Tidak biasanya aku disuruh pulang ke rumah secepatnya. Jarak rumah dan kosan hanya berjarak 2 jam jika ditempuh dengan motor. Tepat azan Magrib berkumandang berdampingan dengan senja yang mulai menggantikan malam, aku tiba di rumah. Setelah bersalaman dengan Ayah dan Ibu, aku segera bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri serta bersiap melaksanakan salat Magrib.
Seusai salat, ibu menghampiriku di dalam kamar. “Sayang, sekarang berapa usiamu?” tanyanya sambil membelai lembut kepalaku. Aku tersenyum memandangnya, wanita kesayanganku itu selalu menjadi penguatku saat aku rapuh. Hanya bersamanya aku merasa nyaman karena aku selalu tak berdaya akan sikap otoriter Ayah.
“Sesil baru 21 tahun, Bu. Tumben Ibu tanya umur segala, masa iya mau disuruh nikah. Masih bau kencur, Bu,” Aku tertawa terbahak karena tidak biasanya Ibu bertanya dengan wajah serius. “Sebenarnya, e … Ayahmu telah menjodohkanmu dengan anak sahabatnya. Kamu kenal dengan Om Fian? Sahabat Ayah ketika kuliah dulu.”
Terkejut, aku diam sambil menatap lanti kamar. Untuk kesekian kali keputusan Ayah tentang hidupku tanpa meminta pendapatku terlebih dulu, Kedua tangan Ibu menggenggam erat tanganku. Ibu mulai menasihatiku dengan berbagai kata mutiaranya agar aku bisa menerima keputusan Ayah. Nasihat Ibu nyatanya tidak ada satupun yang masuk dalam gendang telinga.
Sebagai anak tunggal, aku tidak mungkin menolaknya. Jika tidak ingat penyakit jantung Ayah mungkin aku bisa menolaknya secara perlahan. Esok hari mereka mau melamarku. Ingin rasanya marah meluapkan apa yang ada di dalam hati, aku bahkan tidak tahu siapa calon suamiku nanti. Perjodohan macam apa ini!
***
Hari yang dinanti telah tiba, rombongan keluarga Pak Fian telah duduk di ruang tamu, sementara aku masih duduk di depan meja rias di dalam kamar. Keriuhan suara mereka terdengar sampai kamarku. Ibu datang untuk membawaku keluar menemui mereka.
“Sesil sayang, rombongan calon suamimu sudah menunggumu. Mari ikut Ibu.” Tangan Ibu menggamit erat tangunku. Ketika sampai di ruang tamu, suara yang sangat aku kenal mengejutkanku. “Sesil!”
Aku segera mendongakkan kepala. Tatapan kami bertemu sesaat, sontak hati ini tercengang di saat tahu bahwa calon suamiku adalah Mas Fandi. Pria bertubuh tegap yang duduk di sana juga terkejut. Setelahnya kami sama-sama memalingkan muka. Ayah dan Pak Fian heran akan sikap kami, bahkan mereka bertanya apakah kami saling mengenal sebelumnya. Kami berbohong untuk menutupi kenyataan yang sebenarnya. Mas Fandi adalah pacar dari Dona-sahabatku. Kami mengatakan bahwa pernah bertemu saat kami di kampus karena memang aku, Dona, dan Mas Fandi satu kampus, tepatnya satu jurusan.
Saat itu ingin rasanya aku menolak, tapi melihat senyuman Ayah yang merekah, aku kembali mengurungkan niat. Tidak tega melihat Ayah kecewa terlebih jika penyakit jantung Ayah kambuh. Tiga bulan yang lalu keadaan Ayah sempat kritis sampai masuk ICCU karena ada orang kepercayaannya yang menikung bisnis dari belakang.
Keadaan di ruang tamu menjadi kikuk, terutama untukku dan Mas Fandi. Sorot mata kebencian dan tidak suka begitu kentara. Mengapa dia tidak mau berterus terang saja jika dia sudah memiliki kekasih. Jika dari pihak Mas Fandi yang menolak mungkin Ayah bisa memahaminya, tetapi dia tidak mau melakukannya.
Setelah hari itu, tidak satupun kata terucap dari mulut Mas Fandi. Kami masih sering bertemu di kampus maupun saat dia menjemput Dona di kos. Lamaran dari keluarga Mas Fandi aku terima karena memang aku sudah menyukainya sejak lama. Bahkan sebelum dia menjalin kasih dengan Dona. Perasaan ini selalu aku tutup rapat. Tidak ada yang mengetahui. Sikap Mas Fandi selalu cuek terhadapku. Pernah sesekali aku mencoba menghubungi Mas Fandi, tetapi tidak pernah direspons.
Hubunganku dengan Dona pun terasa berbeda. Mungkin Mas Fandi sudah menceritakannya. Dona seolah tidak mau menerima penjelasan apapun dariku. Bahkan dia rela berpindah tempat kos demi menghindariku. Hingga akhirnya hari pernikahan telah ditetapkan oleh kedua belah pihak. Mas Fandi tetap bergeming. Sebenarnya rencana apa yang dia akan lakukan?
Satu hari menjelang akad nikah dimulai, keluarga Mas Fandi membatalkan acara secara sepihak karena Mas Fandi mengaku telah menghamili kekasihnya. Pembatalan acara itu disampaikan oleh Pak Fian ketika bertandang ke rumah. Ribuan maaf terluncur dari lisan pria separuh baya tersebut. Dada Ayah sesak. Napasnya tersenggal-senggal kemudian pingsan. Ibu menjerit memanggil nama Ayah. Aku yang duduk tidak jauh dari posisi Ayah langsung mengambil kunci mobil. Dibantu oleh Pak Fandi, Ayah dilarikan ke rumah sakit.
***
Kini aku cuma bisa menangis menyesali apa yang terjadi di depan gundukan tanah yang belum mengering. Ayah, maafkan Sesil yang sudah egois. Jika saja aku berani bilang kepada Pak Fian. Mungkin hal ini tidak akan terjadi. Maafkan Sesil, Ayah!(*)
Surabaya, 15 Juli 2021
Rizka Mufita, berperan sebagai ibu dari dua anak ini mulai menyenangi dunia tulis menulis, terus belajar dan berusaha memberikan karya yang baik.
Editor : F. Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata