Rahasia Suamiku

Rahasia Suamiku

Aku terbangun saat mendengar seseorang sedang mengetuk pintu. Sebenarnya malam itu belum begitu larut, tapi ia sudah pulang tanpa berteriak seperti biasanya. Hanya memanggil-manggil namaku dengan suara yang bergetar—memintaku untuk segera keluar.

Sambil menahan rasa pusing di kepala, aku beringsut turun dari ranjang. Merapatkan selimut yang melindungi tubuh Fira dan Andi dari dinginnya cuaca, lalu menutup perlahan pintu kamar dan bergegas menghampirinya.

“Iya, sebentar!” teriakku setelah berulang kali mendengar ketukan yang lebih keras. Ternyata percuma saja ia membawa kunci cadangan, jika ujung-ujungnya masih menyulitkanku juga.

Ia memang aneh. Sering melupakan sesuatu dan bersikap seenaknya. Bahkan tak jarang kami bertengkar hanya karena masalah sepele. Dan pada akhirnya akulah yang harus mengalah demi menghindari pertengkaran yang lebih besar.

Lihat saja, aku akan mengejutkanmu.

Tak berapa lama, pintu pun terbuka. Namun di luar dugaan, bukannya ia, malah aku yang terkejut. Berdiri di hadapannya dengan jantung yang berdegup kencang. Ia … tidak sendirian.

“Mas?”

***

Entah sudah berapa lama aku terbaring di tempat tidur, yang aku tahu semua ruangan di dalam rumah sudah berantakan. Begitu juga dengan kamar tempatku berada. Barang-barang yang sebelumnya tertata rapi di atas meja sudah berserakan. Beberapa potong baju juga tergeletak di lantai dekat lemari.

Aku mengerjapkan mata demi memastikan bahwa semua ini nyata. Aku tidak sedang bermimpi, dan hal buruk yang tak pernah kubayangkan memang sudah terjadi.

“Yang sabar ya, Wi.”

“Kenapa Mas Bayu tega sama Dewi, Bu?” ucapku sesenggukan. “Sekarang apa yang harus saya lakukan?”

Bu Hanum mendekat. Mengelus pelan punggungku sambil meneteskan air mata, seolah mengerti dengan kesedihan yang tengah aku alami.

Tetanggaku itu memang orang yang baik. Ia sudah seperti ibu kandungku sendiri. Kami hidup rukun dan saling membantu. Ketika salah satu sedang mengalami kesulitan, yang lain dengan setulus hati mengulurkan tangan. Memberi dukungan juga doa agar masalah yang sedang dihadapi cepat terselesaikan. Dua tahun tinggal berdampingan dengannya membuatku betah.

Tapi sekarang, entahlah. Aku benar-benar bingung dan takut dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku juga tidak akan sanggup mendengar caci maki tetangga tentang permasalahanku ini. Belum lagi jika harus membayangkan reaksi Ayah dan Ibu ketika mengetahuinya.

“Kamu harus kuat demi anak-anakmu,” mendengar nasihat yang Bu Hanum lontarkan semakin membuatku sedih. Bukan karena aku tak ingin tegar, melainkan baru menyadari bahwa ada sosok yang lebih tersakiti.

Pelan, aku memanggil Fira dan Andi agar mendekat ke arahku. Memeluk erat mereka berdua dengan tangis yang melemah.

Seketika kenangan bersama Mas Bayu muncul begitu saja. Saat kami menjalani biduk rumah tangga, sampai hadirnya buah hati di tengah-tengah keluarga. Kebahagiaan yang telah lama menghilang dan sangat kurindukan. Itu karena hubungan di antara kami tak lagi seperti dulu. Mas Bayu berubah. Semenjak ia mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar, berbagai masalah mulai muncul.

“Sebenarnya apa yang Mas lakukan?” tanyaku padanya, pagi hari sebelum peristiwa menyakitkan itu terjadi. “Belakangan ini kau sering pulang larut malam. Bahkan….”

“Jadi kau mencurigaiku sekarang?”

“A—apa ada tempat lain untukmu tinggal? Jawab, Mas!”

Plak!

Aku meringis kesakitan sambil mengelus pipi yang memerah, ini sudah biasa kualami. Tanpa rasa bersalah, ia langsung pergi. Masuk ke dalam kamar lalu berbaring di atas ranjang.

“Ayah sedang sakit ya, Bu?” tanya Fira membuyarkan lamunanku, “wajahnya pucat seperti Kak Andi.”

“Iya, Sayang. Makanya Fira jangan ganggu Ayah dulu, ya.”

Putri bungsu kami itu mengangguk, lalu mengajakku pergi ke kamar kakaknya. Andi yang malang. Ia tak bisa sekolah karena sakit yang dideritanya sejak tiga hari yang lalu.

Ia masih terlihat lemas. Tertidur pulas dengan keringat dingin di wajah. Khawatir jika sampai ia terbangun dan membutuhkan sesuatu, aku meminta Fira untuk menemaninya. Sementara itu aku menyelesaikan pekerjaan rumah yang sempat tertunda.

Usai mencuci piring, aku bergegas menata baju yang sudah kusetrika. Memasukkannya ke dalam lemari, lalu membereskan mainan Fira yang berserakan di lantai.

Harus berapa kali aku mengingatkanmu, Mas?

Aku meraih kemeja dan jaket hitam yang Mas Bayu letakkan di atas sofa. Kebiasaannya itu tak jarang membuatku kesal. Sudah tahu kotor malah meletakkannya di sembarang tempat. Sesulit itukah memasukkannya ke dalam keranjang?

“Apa ini?” bisikku pada diri sendiri.

“Bu…!!!” saking paniknya mendengar teriakan Fira, aku melemparkan begitu saja jaket itu ke tempat semula. Begitu juga dengan butiran pil berwarna putih yang tersimpan di salah satu sakunya.

***

Malamnya, Mas Bayu sudah menghilang. Tak berapa lama setelah aku menidurkan Fira dan Andi di kamarnya. Merasa cemas, aku mengirim pesan singkat kepadanya.

Aku sedang ada urusan, sebentar lagi pulang.  

Balasan darinya itu cukup membuatku bernapas lega. Karena sangat lelah, aku bergegas mengunci pintu dan jendela. Mematikan lampu di beberapa ruangan, lalu menemani anak-anak tidur di kamarnya.

Tok! Tok! Tok!

Aku berjingkat, jam menunjukkan pukul sembilan. Siapa yang bertamu malam-malam begini?

“Wi….”

Mas Bayu terus mengetuk pintu dan memanggil-manggil namaku. Perlahan, aku beringsut turun dari ranjang lalu datang menghampirinya. Membuka pintu dengan kepala yang masih terasa pusing. Dan semakin parah, saat aku melihat siapa yang berdiri di hadapanku.

“Mas?”

Aku termangu dengan jantung yang berdegup kencang. Mas Bayu berdiri sambil menundukkan kepala dengan tangan yang diborgol. Dua orang polisi yang berpenampilan layaknya preman menjelaskan maksud kedatangannya padaku.

Semua terjadi begitu cepat. Mereka menggeledah seluruh isi rumah dan mengobrak-abrik perabotan yang ada di dalamnya. Aku kaget, juga bingung. Tak tahu harus bagaimana.

Fira?Andi? Aku bergegas menuju kamar tempat mereka terlelap saat ini. Namun baru saja melangkahkan kaki, semua terlihat buram. Gelap dan semakin gelap, lalu….

“Wi,” gumam Bu Hanum. “Syukurlah, kau sudah sadar.”

Aku mengusap air mata sambil terus terisak. Bayangan mengerikan itu pun muncul lagi di benakku. Saat aku harus menyaksikan dua orang polisi menggeledah rumah kami. Mencari barang bukti dari pecandu narkoba yang telah lama menjadi target operasi.(*)

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira. Email: triwahyuu01@gmail.com

Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-3 Februari.

Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:

Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan

Leave a Reply