Keterbatasanku

Keterbatasanku

 

Keterbatasanku

 

Oleh: Elly ND

 

Ruangan bercat putih dengan gorden berwarna hijau menyambutku saat pertama kali membuka mata. Aroma obat-obatan dan wangi pengharum ruangan menyeruak, menusuk indra penciuman. Cahaya lampu di ruangan juga membuat mataku silau. 

 

Mengabaikan rasa nyeri di sekujur tubuh, aku mencoba mengerjapkan mata berkali-kali. Perlahan, kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Di sofa dekat pintu, ada seorang perempuan paruh baya yang sedang tidur. Aku tahu, dia adalah mamaku. Ingin aku memanggilnya, tapi hanya lirih yang keluar dari mulut ini. 

 

Tak berapa lama, kulihat Mama terbangun. Begitu melihatku, segera saja dia mendekat ke ranjang tempat aku berbaring. 

 

“Reza, kamu sudah sadar, Nak?” tanya Mama khawatir.

 

Aku mengangguk perlahan. Mama yang melihat responku, segera keluar dari ruangan. Mungkin memanggil dokter atau perawat yang sedang berjaga.

 

Suasana hening sangat terasa saat Mama keluar. Kulihat jam yang berada di atas pintu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Pantas saja sepi, ternyata masih malam. Sambil menunggu Mama, aku mencoba menggerakkan tangan dan kaki, tapi justru sakit yang terasa.

 

Tidak lama, Mama masuk bersama seorang dokter muda dan perawat. Setelah memeriksa tanda-tanda vital, dokter muda itu mengatakan agar kami bisa menunggu dokter yang menanganiku saat waktu visit tiba, yaitu sekitar empat jam lagi.

 

***

 

Hari itu adalah jadwal pengumuman penerimaan pegawai baru. Setelah sarapan dan berpamitan pada Mama, dengan mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana panjang hitam, kulajukan kendaraan roda dua ke kantor Badan Kepegawaian Daerah. 

 

“Hai, Reza, baru nyampe?” tanya Bandi saat aku memarkirkan motor.

 

“Eh kamu, Ndi. Iya, nih. Aku baru nyampe. Kamu udah liat pengumuman?” tanyaku sambil menaruh helm di kaca spion dan menyisir rambut menggunakan jari tangan.

 

“Belum. Yuk, sama-sama kita lihat.”

 

“Hayuklah.” Beriringan kami menuju papan pengumuman.

 

Papan pengumuman yang dipasang tepat di halaman kantor ternyata sudah dipenuhi oleh banyak orang. Aku yang enggan berdesak-desakan mengajak Bandi untuk menunggu sebentar. Saat orang-orang mulai mundur, aku dan Bandi pun maju untuk melihat hasil pengumuman. 

 

“Wah, selamat, Za. Kamu diterima.” Bandi mengulurkan tangan dan menepuk bahuku pelan.

 

“Alhamdulillah, selamat juga untuk kamu, Ndi.” Aku menjabat tangannya erat.

 

Usai mengetahui hasil pengumuman, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya disertai angin. Aku dan Bandi memutuskan untuk menunggu di warung dekat kantor. Sembari menikmati gorengan yang baru saja diangkat dari penggorengan, kami asyik bercakap-cakap. Menjelang sore, aku berpamitan pada Bandi untuk pulang lebih dahulu. Ia yang sedang berbincang dengan teman yang lain hanya mengucapkan hati-hati kepadaku.

 

Sepanjang jalan pulang, kudendangkan lagu-lagu yang ceria sebagai hiburan, sambil membayangkan betapa bahagianya Mama nanti saat mendengar kabar yang kubawa. Tidak sabar rasanya ingin segera tiba di rumah.

 

Jalan beraspal yang kulalui tampak licin, tersiram hujan yang turun siang tadi. Sesekali beberapa kendaraan menyalip dari arah belakang. Tepat di tikungan, tanpa terduga dari arah depan, melaju sebuah mobil dengan kecepatan tinggi mengambil lajur kanan. Kejadiannya cepat sekali berlangsung. Suara bodi motor dan aspal yang saling bergesekan terdengar rusuh di telinga. Badanku terasa seperti terlempar, kemudian kudengar dengingan panjang yang membuat kepala ini terasa sakit sekali. Sepertinya itu akibat helm yang kukenakan membentur pembatas jalan.

 

“Mas, Mas. Nggak apa-apa?” tanya seorang bapak.

 

“Hei, itu motornya. Pinggirkan dulu, biar nggak menghalangi jalan,” teriak pengendara yang lain.

 

Aku yang mendengar itu, berusah untuk membuka mata, tapi kelopak mataku terasa berat. Perlahan pandangan semakin memburam. Dan terakhir, aku merasa, ada beberapa orang yang menggeser tubuhku, sampai akhirnya semuanya menjadi gelap.

 

***

 

Mama yang baru saja kembali dari membeli makanan di kantin rumah sakit, datang menghampiri. Diletakkannya sekantong plastik berisi makanan dan sebotol air mineral.

 

“Nak, gimana? Masih sakit kakinya?”

 

“Masih terasa nyut-nyutan, Ma. Apalagi di bekas jahitan ini,” jawabku sambil menyentuh perut dengan telapak tangan.

 

Mama yang melihat itu, hanya menganggukkan kepala.

 

“Sudah makan?” 

 

“Belum, Ma. Itu baru aja diantar makanannya,” jawabku sembari menunjuk makanan yang ada di atas meja kecil.

 

“Makan dulu, ya? Mama sudah makan tadi.” Mama mengambil makanan di atas meja dan menyodorkanya kepadaku.

 

Ya, setelah kecelakaan yang terjadi beberapa hari lalu, aku yang saat itu tidak sadarkan diri, langsung dilarikan ke rumah sakit oleh orang-orang yang melihat peristiwa tabrakan itu. Pihak dokter yang melihat keadaanku, memutuskan untuk segera melakukan tindakan operasi setelah Mama dan beberapa keluarga berhasil dihubungi.

 

Perlu waktu berbulan-bulan untukku menjalani pemulihan. Dan hari ini adalah hari ketiga aku mencoba berjalan dengan menggunakan tongkat.

 

“Masih kuat?” tanya seorang perawat yang menemaniku belajar berjalan.

 

“Masih. Kita coba sampai sana, ya?” tunjukku ke arah bangku semen yang ada di taman.

 

“Oke, hati-hati.”

 

***

 

Lima tahun sudah berlalu semenjak kecelakaan itu. Mama bercerita, setelah kecelakaan yang kualami, aku harus menjalani beberapa kali operasi. Dan salah satunya adalah tindakan operasi untuk mengamputasi kaki sebelah kanan. Awalnya sempat tidak terima dengan keadaanku yang harus kehilangan satu kaki. Bagaimana nanti aku harus bekerja? Apakah aku bisa mandiri dengan keadaanku yang tidak lagi bisa berjalan seperti dulu? Bersyukur sekali memiliki keluarga yang sangat mendukung apa yang kukerjakan. Kini, aku sudah bisa berdamai dengan keadaan.

 

Sejak beberapa bulan yang lalu, dengan keterbatasan yang kumiliki, aku bisa membangun sebuah sanggar lukis. Sanggar ini diperuntukkan bagi  anak-anak dan teman disabilitas yang memiliki bakat melukis.  

 

“Wah, Doni, lukisan kamu sudah makin bagus sekarang, ya?” Pujian itu kuberikan kepada Doni, seorang remaja yang melukis menggunakan kaki.

 

“Terima kasih, Pak.”

 

“Beberapa bulan lagi ‘kan mau diadain pameran. Nanti kamu pamerkan hasil lukisan kamu ini, ya?” tawarku pada Doni.

 

“Wah, siap, Pak. Akan saya usahakan cepat selesai.”

 

“Tetap semangat, ya.”

 

“Baik, Pak. Terima kasih.”

 

Berjalan dengan langkah pelan, kuamati hasil lukisan-lukisan dari anak-anak yang bergabung di sanggar ini. Lukisan mereka sudah lebih baik jika dibanding dengan pertama kali mereka datang ke tempat ini. 

 

Seperti yang kukatakan pada Doni tadi, bahwa di kota tempat tinggalku setiap bulan Mei selalu diadakan pameran EXPO. Aku berencana untuk mengikuti pameran tersebut. Tujuanku tentu saja untuk memperkenalkan sanggar ini dan memamerkan hasil lukisan anak-anak. Aku yakin, akan banyak orang-orang yang menyukai hasil karya mereka.

 

“Permisi, Pak. Ada tamu yang menunggu Bapak di depan.”

 

“Oh, ya? Siapa, Gus?” tanyaku pada Agus, salah seorang pengajar di sanggar lukis ini.

 

“Bu Nia, Pak. Katanya beliau sudah membuat janji dengan Bapak.”

 

“Oh, Bu Nia. Baik, saya temuin beliau dulu, Gus. Terima kasih ya.” 

 

Agus berlalu setelah mengatakan bahwa sebentar lagi dia harus mengisi kelas. Menggunakan tongkat, kutemui sosok seorang wanita yang selama ini menemaniku saat aku sedang terpuruk. Nia, kekasihku. Calon istriku. (*)

 

Palangka Raya, 14 Juli 2021

 

Elly ND, penulis pemula penyuka bakso dan kopi susu.

 

Editor: Imas Hanifah N

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply