Tentang Rasa
Oleh : Jemynarsyh
“Ibu enggak sempat masak, uang jajan kamu sudah Ibu tambahkan, jadi sarapan di sekolah saja,” ucap Maria, dengan terburu-buru ia meninggalkan rumah.
Resya yang sedang meminum susu hanya menatap kosong kepergian sang ibu. Gadis dengan rambut sebahu itu tak heran jika ia tak mendapatkan makanan di atas meja. Meski begitu, hampir setiap pagi Maria, sang ibu, berucap dengan alasan yang sama: tak sempat memasak. Setelah menghabiskan segelas susu, Resya segera bersiap berangkat sekolah, mengambil uang saku, dan mengunci pintu rumah.
Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Resya melangkah menyusuri gang yang sepi. Hari masih pagi bahkan mata hari masih malu-malu muncul ke permukaan, seperti penghuni komplek tempatnya tinggal yang mungkin saja masih asyik bergelung dengan selimut.
Tiba di muara gang, Resya belok ke kiri menuju halte tempat biasa ia menunggu angkutan umum. Halte itu terlihat sepi, hanya ada satu orang yang duduk di ujung kursi dengan seragam sekolah yang sama dengan yang ia pakai. Resya menatap lamat sosok lelaki yang nampak sibuk dengan gawainya.
Seakan tahu sedang ditatap, Bagas mendongak dan beradu pandang dengan Resya. Ia menatap lurus pada sosok gadis yang sedang berjalan dengan pelan tetapi kian memangkas jarak. Seulas senyum terukir di bibir Bagas, ia tahu jika Resya akan salah tingkah bila selalu diperhatikan. Seperti sekarang, gadis itu menundukkan kepalanya, merapikan helaian rambut ke telinga dan duduk di ujung kiri kursi. Bagas hanya menggeleng melihat tingkah Resya, lalu ia berpindah tempat dan duduk di samping gadis yang diam-diam telah mencuri hatinya.
“Nih, buat kamu. Dimakan, ya,” titah Bagas seraya meletakan satu paper bag di samping Resya.
Resya menatap lekat bingkisan di sampingnya. Rasa hangat menjalar dalam hati saat tahu ada seseorang yang begitu perhatian padanya. Tetapi, Resya takut jika nanti ia akan ditinggalkan lagi seperti teman-temannya dulu. Resya menarik napas panjang, menghilangkan rasa sesak yang bersarang di hati kala teringat kejadian buruk di masa lalu. Bagas mengernyitkan kening melihat sikap Resya, “Kenapa?”
Seulas senyum terukir di wajah berlesung pipit dan matanya nampak sendu, “Terima kasih, aku bersyukur masih ada yang peduli sama aku.”
Bagas mengangguk, “Kamu tidak sendiri Res, aku selalu ada di samping kamu.”
Dua remaja itu saling bertatapan, menyelami perasaan masing-masing. Jantung Resya kembali begetar hebat kala Bagas mengusap sayang kepalanya. Tuhan, andai boleh meminta, Resya ingin menghentikan waktu, menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi.
Sejak kejadian itu, dunia Resya lebih berwarna. Ada Bagas yang selalu menghibur dan mendukungnya, berangkat dan pulang sekolah bersama, berbagi kisah tentang apa saja. Meski, hingga kini Bagas belum juga menyatakan perasaannya. Tak mengapa, Resya baik-baik saja menunggu momen itu datang.
Resya dan Bagas sedang berjalan ke luar dari gerbang sekolah menuju halte, tetapi urung kala suara yang tak asing di telinga Resya memanggil namanya. Di sana, tak jauh dari tempat Resya, sosok wanita berusia empat puluhan berdiri di samping mobil hitam dengan lampu sen yang masih menyala.
“Resya, cepat! Ibu tak bisa lama-lama,” ucap Maria, kedua lengannya bertumpu pada pinggang.
Resya tersentak dari lamunannya. Ia tak pernah menduga ibunya akan menjemput ke sekolah. Diliriknya Bagas yang juga menatapnya, memberi isyarat agar Resya segera menyusul sang ibu. Setelah berpamitan dengan Bagas, Resya bergegas pergi menghampiri wanita yang telah melahirkannya itu.
Mobil itu berjalan pelan melintasi Bagas. Dari balik kaca Resya menatap lekat lelaki yang telah menumbuhkan benih-benih sayang di hatinya. Sosok Bagas kian mengecil dan akhirnya menghilang seiring dengan laju mobil yang meninggalkan sekolah. Perasaan Resya kian berkecamuk saat pandangannya terpaku pada dua tangan orang dewasa yang saling bertaut di depannya.
Laju mobil kian pelan saat memasuki pekarangan rumah bercat biru. Setelah mesin mobil dimatikan, Resya bergegas ke luar, berjalan dengan cepat menuju pintu. Ia tak memedulikan lagi ibunya dengan sosok lelaki itu. Tetapi sebagai anak, Resya penasaran apa lagi yang dilakukan ibunya di sana. Akhirnya dengan mengabaikan egonya, Resya mengintip di balik cendela. Perbuatan yang ia sesali pada akhirnya karena harus melihat kemesraan sang ibu dengan lelaki asing.
Tanpa mengganti seragam sekolah, Resya duduk di ruang tamu menanti penjelasan sang ibu atas perbuatannya. Terdengar deru mobil yang kian menjauh lalu suara hak sepatu yang beradu dengan lantai kian mendekat. Resya menoleh ke arah pintu dan Maria juga menatapnya, lalu duduk di depan Resya.
“Ibu sudah putuskan ini yang terbaik untuk kamu, besok kita pergi ke rumah Nenek di Palangka Raya dan kamu sekolah di sana karena secepatnya Ibu harus bekerja di luar negeri”
Kedua mata Resya kian mengembun. Pandangannya buram. Sekejap setelah ia memejamkan mata, buliran bening mengalir di pipinya. Dengan suara bergetar menahan isak ia berucap, “Ibu, kenapa tidak pernah tanya dulu ke Resya, apa Resya mau pindah ….”
Maria terdiam menatap sang anak yang menangis tersedu. Susah payah Resya menenangkan perasaan yang kian berkecamuk. Ia pun pergi ke kamar meninggalkan sang ibu yang masih termangu di kursi.
Tangis Resya kian menjadi kala kenangan bersama sang ibu terlintas di benaknya. Hubungan mereka yang kian merenggang, lalu senyum Bagas kian terbayang kemudian memudar dan hilang. Tuhan, Resya ingin sekali menertawakan takdirnya yang seolah tak memberinya waktu lama menikmati kebahagiaan.
Palangka Raya, 15 Agustus 2021
Jemynarsyh, gadis kelahiran Kalimantan yang sedang belajar aksara.
Editor : Vianda Alshafaq
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan Kontributor
Mengirim/Menjadi Penulis Tetap di Loker Kata