Separuh Mimpiku

Separuh Mimpiku

Separuh Mimpiku

 

Oleh : Ridwan Permana

 

Aku bertemu dengannya setelah lama tidak berjumpa. Ia teman di kelasku sewaktu SMA dulu. Namanya Ratih. Ia adalah seseorang yang pendiam dan tidak banyak tingkah seperti anak gadis lain. Sering kudapati ia tengah dijahili oleh teman-temannya, hanya karena ia tidak gaul seperti mereka. Kesehariannya hanya belajar, belajar, dan belajar. Itu yang kutahu. Saat waktu istirahat tiba, ia tidak pergi ke kantin. Biasanya, ia membawa bekal dari rumah dan melahapnya di kelas. Setelah itu, ia akan pergi ke perpustakaan. Belajar di sana.  Kenapa aku tahu? Karena aku memerhatikannya setiap waktu.

 

Selepas SMA, kami melangkah ke arah yang berbeda. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas terkemuka. Sementara aku, memilih bekerja untuk membantu ayahku yang sudah renta. Hanya ia, satu-satunya orang tua yang masih ada. Ya, ibuku wafat ketika aku masih kecil. Tidak banyak kenangan tentangnya. Hanya beberapa kali mendengar cerita dari orang-orang, bahwa ibuku adalah orang yang baik. Baik tutur katanya maupun perangainya. Dan itulah yang kulihat dari Ratih, perempuan yang aku harap jadi tempat yang tepat aku menaruh perasaan. Ia bagaikan perwujudan dari cerita orang-orang tentang ibuku. Ia baik, baik sekali malah. Tidak pernah sekalipun aku melihatnya berbuat sesuatu yang salah.

 

Kini, ia tidak seperti yang dulu. Kulitnya putih berseri. Mungkin tidak akan lagi ada yang berani memanggilnya Si Hitam seperti saat SMA dulu. Walaupun kacamata masih bertengger di hidung kecilnya, itu tidak mengurangi kecantikannya di mataku. Beberapa hal yang kusuka darinya, ia selalu tampil sederhana dan baik hati. Selalu tersenyum pada semua orang, bahkan pada orang yang suka menjahilinya pun. Aku selalu bertanya-tanya, terbuat dari apa hatinya? 

 

Sekarang, di sini, di taman perpustakaan di pusat kota. Aku melihatnya tengah duduk seorang diri, dengan buku di pangkuan. Sosoknya begitu menawan. Cahaya matahari yang bersinar menerpa wajahnya, membuat ia terlihat sangat cantik. Teringat ketika SMA dulu, aku selalu mengikutinya. Aku selalu sengaja keluar terakhir dari kelas, ketika waktu istirahat tiba. Hanya untuk mengikutinya ke mana pun ia pergi. Ah, mengingat hal itu membuatku malu. Apalagi pernah satu kali, aku ketahuan. Ia bertanya padaku, kenapa aku mengikutinya? Aku kebingungan mencari jawaban. Memang saat itu ia tidak pergi ke tempat biasanya. Menuju ke arah belakang sekolah yang memang jarang dikunjungi siswa lain. Aku hanya berdiri mematung, sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

 

“Ah, tidak. Aku tidak mengikutimu. Kebetulan saja aku sedang ingin pergi ke tempat ini, tidak ada niat mengikutimu,” jawabku sekenanya.

 

Semenjak itu, aku menjadi lebih dekat dengannya. Sering menghabiskan waktu berdua. Entah itu membahas pelajaran, novel, atau hal lain. Aku suka cara bicaranya dan tidak banyak orang yang tahu tentang itu. Sebenarnya ia cukup lucu dan terbuka. Ia bercerita tentang keluarganya. Ayah dan ibunya sudah wafat semenjak ia masih duduk di bangku SD. Hidup bersama nenek dari pihak ayahnya, ia tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bersemangat tinggi. Tidak aneh kalau dilihat dari kebiasaannya, sering belajar di luar jam pelajaran. Karena itulah, aku pun tertular semangat  hidupnya. Mulai rajin belajar, di mana pun dan kapan pun. Saat di rumah, aku sering membuka buku, berlatih mengerjakan soal. Akhirnya di setiap ujian, nilaiku naik dan masuk sepuluh besar. Ia senang dengan hasilku. Aku berkata bahwa ini berkat bantuannya.

 

“Hmm, bukan. Ini hasil dari usahamu sendiri. Siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil, bukan begitu?” sanggahnya.

 

Aku semakin memantapkan niatku, mengutarakan isi hati. Agar ia tahu bahwa aku menyukainya. Aku tidak ingin sampai kehilangan kabar tentangnya. Di hari terakhir sekolah, aku melaksanakan niatku. Awalnya ia terkejut, tidak menyangka bahwa aku akan berkata hal itu. Ia seperti kebingungan, menimang-nimang jawaban apa yang akan ia lontarkan.

 

“Maaf. Bukannya aku tidak mau, hanya saja saat ini aku sedang ingin mengejar impianku. Kau sendiri pasti punya mimpi yang ingin kau capai, ‘kan? Kalau kau memang yakin kepadaku, berdoalah. Semoga kita dipertemukan di saat yang baik, di saat mimpi kita telah tercapai. Dan kalau saat itu sudah tiba, aku siap menerimamu.”

 

Begitu jawabannya ketika itu. Sekarang separuh mimpiku sudah tercapai, hidupku sudah agak membaik. Dipercaya atasan di tempat kerja utuk naik jabatan. Sudah punya rumah hasil kerja keras sendirim Inikah saat yang ia maksud waktu itu? Entahlah, kuharap memang begitu. Aku mencoba mendekatinya yang tengah duduk. Berharap sesuatu yang baik terjadi.

 

“Permisi. Ratih, ‘kan? Ini aku, temanmu sewaktu SMA dulu.” Aku memberanikan diri menyapanya. Ia menoleh, wajahnya tampak kebingungan. Tetapi, beberapa detik kemudian ia tersenyum. Senyuman yang membuatku merasa senang dan ingin segera menjadikannya sebagai pelengkap mimpiku.

 

“Sudah lama tidak berjumpa, ya … Galih.” (*)

 

  • Ridwan. Pemuda kelahiran Tanah Sunda, Bandung. Saat ini tengah bekerja di sebuah rumah produksi bunga sintetis. Usianya sudah dewasa, tapi masih labil. Bermimpi menjadi orang hebat di masa yang akan datang.

Editor: Imas Hanifah N

 

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply