Kita yang Beda

Kita yang Beda

Oleh: Hertiya

 

Lantunan lagu dari Ed Sheeran yang berjudul Perfect terus berputar selama aku duduk di hadapan pria yang kini sedang memandangiku. Malam ini, gaun hitam selutut dengan brokat di bagian leher hingga lengan menjadi pilihanku untuk dikenakan.

Dia memandangiku tanpa berkedip. Apa ada yang salah dengan pakaianku? Ataukah make-up yang terlalu menor?

“Kamu kenapa, sih, liatinnya gitu?” Kukulum senyum malu ke arahnya yang malam ini terlihat lebih tampan dari biasanya.

“Cantik.”

Satu kata darinya berhasil membuat pipiku terasa panas. Mungkin ada warna merah di sana yang tercipta akibat pujian sederhana itu. Dia memang selalu tahu caranya agar membuat diri ini merasakan letupan di dada. Pujiannya bukan sekadar omongan semata. Terlihat dia benar-benar mengatakannya dari sudut hati yang teramat tulus.

Aku pun memandangi wajahnya yang khas. Mata yang sedikit sipit adalah objek yang selalu ingin aku tatap. Juga pada saat dia tersenyum, akan ada cekungan kecil di pipinya. Seperti saat ini. Sungguh … dia memang pria yang manis.

“Za … di malam yang sangat indah ini, aku mau bicara sesuatu sama kamu.”

“Kamu mau bicara apa?”

Dia menarik napas dan mengembuskannya pelan sebelum mengungkapkan,  “Would you marry me, Azza? Let me be your husband now and forever.”

Mataku membelalak. Tak menyangka jika Daniel akan melamarku malam ini. Apa ini mimpi? Tidak, ini bukan mimpi. Ini nyata, dan aku bisa merasakannya saat Daniel menggenggam dan meremas jemariku dengan lembut.

Tubuhnya yang tegap bangkit dari duduk, lalu melangkah pelan ke arahku. Kemudian pria dengan tuksedo hitamnya itu berjongkok, menumpu tubuhnya dengan satu lutut menyentuh lantai.

Would you marry me, Azzahra? Aku mencintaimu. Dan aku mau, kamu jadi istriku.”

Untuk kedua kalinya dia mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang berarti dia menginginkan aku untuk menjadi istrinya. Bersamaan dengan itu, Daniel mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah yang di dalamnya terdapat sebuah cincin dengan berlian yang bersinar.

Aku terlampau senang. Rasa bahagia begitu kencang menerpa hatiku pada malam hari ini.

“Daniel.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Jadi istriku, ya, Za. Please.” Binar di matanya semakin terpancar, bahkan mungkin menembus hati ini.

Daniel pun mengambil cincin itu dari kotaknya. Kemudian hendak menyematkannya ke jari manisku. Namun saat cincin itu baru sedikit menyentuh jariku, pikiran ini tertuju pada satu hal yang sejak kecil membatasi kami, benteng yang menghalangi aku dan Daniel.

Kutarik jemari dan menautkannya dengan jari yang lain. Bisa kutangkap bahwa sosok di depanku kini sedang bertanya-tanya.

“Za?” Dahinya terlihat mengerut. Matanya menatap, menuntut penjelasan. “Kamu nolak lamaranku?”

Tidak, bahkan kata itu tidak ada dalam pikiran ini, Daniel.

“Aku gak bisa jawab sekarang, Niel,” kataku pada akhirnya.

“Kenapa?” Aku tak bersuara. Hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Daniel mengembuskan napas berat. Bisa kurasakan ada kecewa di sana. Acara makan malam ini kami lanjutkan dengan keheningan. Tak ada yang bersuara baik aku ataupun Daniel. Hanya ada dentingan dari garpu dan pisau yang bergesekan dengan piring. Steak yang kusantap pun seperti hambar rasanya.

Hati ini terus saja mendorong agar aku mengatakan “ya”. Namun, pikiranku justru sedikit menolak. Argh, kenapa keduanya begitu berbeda? Seperti aku dan Daniel.

Selesai makan, Daniel mengantarku pulang. Dalam perjalanan pun kami tak banyak bicara.

“Udah sampe, Za.”

Perkataan itu terucap bersamaan dengan mobilnya yang berhenti tepat di depan rumahku. Aku tak buru-buru untuk turun, justru memandanginya lekat. Lelaki dengan wajah oriental itu benar-benar sudah memanah hati ini untuk kesekian kalinya.

Kemudian, Daniel keluar dari mobil. Dia berjalan memutar dan membukakan pintu untukku.

Thanks for tonight. Aku seneng banget bisa sama kamu malam ini,” ungkapku dengan jujur.

Daniel hanya mengangguk.

“Maaf, ya, untuk–”

“Aku selalu menunggu jawabanmu, Za,” pangkasnya.

Kutarik napas dan mengembuskannya pelan lalu berkata, “Kalau gitu … aku masuk dulu, ya.”

Kaki ini melangkah untuk memasuki rumah. Sesekali aku memastikan bahwa Daniel sudah membawa kembali mobil hitam miliknya itu dari depan rumahku.

Assalamualaikum,” ucapku memasuki rumah. Kudapati Ibu dan Ayah yang sedang duduk, seakan-akan menungguku pulang. Aku pun menyalami keduanya dan ikut duduk mendaratkan tubuh di samping Ibu.

“Kamu pergi sama Daniel lagi?” Suara Ayah terdengar menyelidik.

Aku pun hanya mengangguk.

“Sudah berapa lama kamu menjalin hubungan sama dia?” Posisi duduk Ayah yang semula bersandar kini menegak.

Bibir ini terasa bergetar. Aku berusaha menjawab, tetapi lidah begitu kelu. Beberapa kali aku mengatur perasaan dalam diri. Lebih tepatnya untuk mengatur perasaan jika Ayah akan memarahi. Ini sudah pasti.

“Jawab, Azzahra!” bentak Ayah.

Seketika jantungku berpacu lebih cepat. Lagi, aku menarik napas dalam, berharap kecemasan ini segera pergi.

“Azza gak tahu kapan perasaan ini muncul untuk Daniel, Yah. Sejak kecil kita selalu sama-sama. Hubungan pertemanan ini terus berjalan sampai sekarang, bahkan … malam ini Daniel–”

“Melamar kamu?” tanya Ayah cepat, memotong kalimatku. Kujawab dengan anggukan pelan walau sebenarnya ragu untuk kulakukan.

“Putuskan hubungan kamu dan dia sekarang! Ayah tidak restui kalian untuk menikah!” Ayah berkata dengan tegas, membuat aku terkejut dan mendongakkan wajah.

Memutuskan hubungan dengan Daniel? Membayangkannya saja rasanya begitu sakit.

Aku pun bersimpuh di hadapan Ayah dan berkata, “Enggak, Yah. Azza gak bisa putus sama Daniel. Azza mencintai Daniel, Yah. Azza mohon beri kami restu.”

Air mataku luruh detik itu juga. Aku tidak bisa membayangkan jika hidupku tanpa Daniel. Kami sudah seperti ditakdirkan untuk melengkapi satu sama lain. Aku mencintainya. Sangat.

“Azzahra! Apa kamu tidak bisa mengerti? Dia itu berbeda, Nak. Dia tidak seiman dengan kita.”

“Azza bisa saja meminta dia untuk menjadi mualaf, Yah. Daniel pasti mau.” Kutatap wajah lelaki yang sudah berumur setengah abad itu. Wajahnya terlihat lelah saat ia mengembuskan napas dengan berat.

“Nak, kita tidak bisa memaksa dia untuk meninggalkan Tuhan-nya hanya demi kamu. Kalau Daniel memang ingin menjadi mualaf, pastikan niatnya hanya karena Allah. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun.”

Penuturan Ibu membuatku terdiam. Otak ini berusaha mencerna perkataannya yang mungkin saja benar. Ya, aku tidak boleh memaksanya menjadi mualaf hanya karena aku. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan kukatakan pada Daniel? Apakah menolak lamarannya adalah pilihan terbaik?

Diri ini seperti sedang berjalan entah mau ke mana, karena jalan yang dilalui bercabang. Aku harus ke mana? Mematuhi perintah Ayah atau tetap memperjuangkan cintaku? Semua membuat bimbang. Andai saja perbedaan itu tak ada di antara kami. Mungkin aku dan Daniel … argh! Sudahlah.

***

Dering ponsel sudah menyambutku di siang hari ini. Kulirik siapa yang menelepon. Ternyata Daniel. Ah, ya, sejak semalam aku tak mengabari lelaki keturunan Cina itu. Ini jelas saja karena perkataan Ayah dan Ibu yang membuatku begitu bimbang.

“Ha-lo,” ucapku saat menjawab panggilan.

“Za, aku ada di depan rumah kamu.”

Apa?

Aku pun tergagap mendengarnya. Tanpa menimpali ucapannya di telepon, aku lantas segera menuju pintu depan. Kutemukan sosok berkaus hitam polos dengan celana yang senada di sana.

“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku khawatir sambil berjalan ke arahnya.

Alisnya yang tak terlalu tebal terangkat sebelah. “Kamu kenapa? Kayak khawatir banget aku datang ke sini.”

Kugelengkan kepala sebagai jawaban.

“Za … menikah denganku, ya.”

Daniel mengatakan itu, membuat hati ini teremas begitu saja. Kini tangannya menggenggam jemariku erat seolah-olah tak ingin aku pergi darinya. Bukannya aku ingin menolak lamarannya, hanya saja benteng di antara kami begitu kokoh tinggi menjulang. Lagi-lagi aku berpikir seandainya kami tak berbeda.

Aku masih bergeming, membiarkan Daniel menggenggam jemariku. Sampai pada akhirnya suara yang membuat jantung ini berdetak lebih cepat pun terdengar.

“Azzahra!”

Kulihat Ayah berjalan ke arah kami. Wajahnya terlihat marah. “Masuk, Azzahra!” perintah Ayah.

“Saya tidak izinkan kamu untuk menikahi anak saya! Jadi, tinggalkan Azzahra sekarang juga!” ucap Ayah seraya menunjuk Daniel.

“Enggak, Yah. Azza gak mau pisah sama Daniel. Azza mohon, Yah,” pintaku pada Ayah.

“Pak, saya mencintai Azza. Saya tulus mencintainya. Beri kami restu untuk menikah, Pak.” Daniel berkata seraya mengatupkan kedua telapak tangannya tanda memohon.

Air wajah Ayah semakin terlihat merah padam, seolah-olah menahan amarah yang mendalam. Lantas, tanpa sepatah kata pun Ayah pergi meninggalkan aku dan Daniel.

Sebelum melangkah, Ayah berujar, “Kamu harusnya lebih paham soal perbedaan di antara kamu dan putri saya.”

Daniel memandangku sendu. Wajahnya begitu sedih, sama sepertiku. “I love you, Za.”

Kemudian tubuhnya mendekapku erat, bahkan sangat erat. Mendung di atas sana turut menemani suasana hati kami yang sendu. Air hujan turun, seumpama membasuh perasaan kami yang sama-sama perih.

“Aku percaya, Tuhan membuat jalan cerita cinta kita seperti ini pasti ada alasannya. Dan kamu, adalah cinta dalam ceritaku, Za,” ucap Daniel di sela pelukan. Dekapannya semakin erat hingga aku merasakan hangat di tengah kedinginan.

“Tuhan kita memang satu, kita yang gak sama. Mungkin aku memang harus pergi, Za. Meninggalkan kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu dan ingat, cinta kita gak akan bisa pergi.”

Setelah mengatakan itu, Daniel pun mencium keningku lama. Kami membiarkan diri diguyur air hujan yang sangat deras. Kemudian, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk seorang peri yang sangat indah.

Aku menatap dia yang memakaikan kalung itu di leherku dengan derai air mata.

“Kamu … akan selalu menjadi peri cintaku, Azzahra.”

Kalimat itu adalah ucapan terakhir yang keluar dari mulut Daniel sebelum benar-benar pergi meninggalkan aku di bawah derasnya hujan.

Aku tahu, kita tidak sama. Namun cinta berdasarkan karena Tuhan, adalah perasaan sama yang kita rasakan. [*]

 

Bogor, 14 Agustus 2020

 

Hertiya, perempuan sederhana yang punya banyak mimpi dan keinginan.

 

Editor: Dyah Diputri

Leave a Reply