Edi dan Doa-Doa Anaknya

Edi dan Doa-Doa Anaknya

Edi dan Doa-Doa Anaknya
Oleh : Fitri Hana

Seorang maling masuk dari atap rumah. Setelah membuka genteng, ia melompat, turun di ruang depan, kemudian membungkus barang-barang berharga yang didapatinya. Namun sebelum pergi ia tertarik pada sebuah lukisan. Maling itu mengeluarkan senter untuk memperhatikan lukisan di dinding. Lukisan seorang anak yang tersenyum sambil mengacungkan es lilin.

Maling itu terpukau. Ia mendekati lukisan dan mengusap-usapnya. Matanya berkaca-kaca. Suara derit pintu menghentikan tangisannya. Sekejap kemudian, lampu di lorong kamar menyala. Dengan sigap, ia menaiki kursi lalu lemari lalu naik ke atap. Setelah menutup genteng, ia membawa bungkusan tadi menapaki atap dengan perlahan. Kemudian melompat ke atas pagar lalu turun ke gang samping rumah itu. Ia berlari secepat yang ia bisa lalu menghilang di kelokan jalan.

***

Siang harinya, maling itu pulang ke rumah. Ia membawa bungkusan berisi beras, minyak, telur, juga es lilin. Anton, putra semata wayangnya berhambur memeluk saat melihat sosoknya memasuki rumah.

“Yey, ayah pulang! Ayah jadi beliin es? Hore ….”

Lelaki tujuh tahun itu meraih es lilin dari tangan ayahnya. Ia menggigit ujung plastik bagian bawah lalu menyesap air yang keluar melalui lubang bekas gigitannya. Sebagian airnya merembes melalui celah-celah jari tangannya.

“Ayah beli makan, ndak? Kemarin seharian aku makan sama kerupuk nasi, Yah. Bikinan Ibu. Aku minta Ibu beli kecap sama tempe katanya nunggu Ayah pulang, nunggu Allah kasih rezeki sama Ayah dulu baru bisa beli lauk. Allah sudah kasih rezeki sama Ayah?” tanya Anton di sela-sela ia menyesap es.

Sang ayah yang berlutut di hadapannya menghela napas lalu mengacak rambut Anton.

“Alhamdulillah, sudah. Ayah beli telur, Nak. Nanti dimakan sama Ibu, ya?” ucap Edi, ayah Anton sambil mengangkat kresek hitam yang ia bawa.

Eni, sang istri yang mendengar suaminya pulang bergegas menyiapkan air minum, lalu ia ke depan sambil membawa sepiring singkong rebus yang baru saja matang.

“Maaf, Mas. Gulanya habis, tehnya tawar,” ucapnya setelah meletakkan teh dan piring di atas meja. Eni lalu meraih tangan suaminya. Ia cium dengan khidmat.

Edi mengucap terima kasih lalu duduk menikmati teh bikinan Eni.

“Mas sudah ada uang, nanti tolong bayarkan tunggakan kontrakan kita, ya, Dek.” Edi memandang ke depan, sesekali ia menatap lantai, tak berani memandang wajah istri yang duduk di sampingnya.

“Alhamdulillah. Mas sudah dapat kerjaan?” tanya Eni sambil memijat lengan kanan suaminya.

Sudah sebulan ini Edi diberhentikan dari pekerjaan karena efek pandemi memaksa kantornya untuk memangkas jumlah karyawan.

“Alhamdulillah, sudah.” Edi memijat pelipisnya dengan tangan kiri. “Tapi Mas belum bisa tebus cincin kawin kita. Besok Mas kerja lebih giat lagi.”

“Alhamdulillah. Nggak papa, Mas. Yang penting kontrakan kita ini dulu. Nanti Adek bisa minta kerja tambahan lagi sama Bu Menik. Kemarin Adek cuma dapat dua baju, dapat empat ribu, Mas.”

Edi menghela napas panjang. Ia tak tega melihat istrinya mencari uang demi kehidupan mereka. Dari pagi Eni mengurus rumah, setelah selesai ia akan duduk di teras lalu memasang mute pada baju-baju kebaya yang diambil dari Bu Menik. Karena penglihatannya sudah berkurang, sering kali jarinya tertusuk jarum. Edi merasa bersalah.

“Singkong dari mana, Dek?” tanya Edi sambil mencomot singkong di depannya.

“Dikasih sama Bu RT, Mas. Hasil kebun, katanya.”

Eni berlalu ke dapur, menyimpan belanjaan suaminya.

Edi menghampiri Anton yang tengah menggambar di buku tulis. “Nak, Ayah pamit kerja dulu, ya,” ucapnya sambil jongkok di depan Anton.

Anton lalu menengadahkan kedua tangannya, “Ya Allah, berikanlah uang kepada ayahku agar bisa membelikan aku es lilin lagi.” Anton mengucap amin sambil menyapukan kedua tangannya ke wajah.

Edi segera mengusap air mata yang berada di ujung matanya saat tangan mungil Anton hendak bersalaman. Ia kecup puncak kepala putranya itu dengan menahan sesak di dada.

Edi kembali ke toko temannya, tempat ia menjual laptop dan dua ponsel curian. Ia ambil lagi laptop dan ponsel itu dengan motornya sebagai jaminan.

Dengan waswas, Edi mendatangi rumah yang semalam ia satroni, kemudian memencet bel di pintu pagar, menanti pemilik rumah membuka pintu dengan jantung berdebar kencang.[*]

Klaten, 15 Agustus ’21.

Fitri Hana, seorang ibu yang memaksa diri untuk menulis, menyembuhkan luka juga membuatnya merasa berharga.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/2Os6LSs

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply