Menghapus Jejak yang Lalu

Menghapus Jejak yang Lalu

Menghapus Jejak yang Lalu
Oleh : Zuyaa

Judul: Sin
Penulis: Rina Rinz
Penerbit: LovRinz Publishing
Cetakan: Juni 2018
Jumlah halaman: 253 halaman

Novel Sin bercerita tentang perjalanan Sintya dalam menemukan cinta sejatinya. Hidup sebagai perempuan yang cantik, pintar, dan dari keluarga baik-baik, nyata tidak menjadi penjamin bahwa urusan percintaannya akan mulus.

Sin dihadapkan pada beberapa kisah cinta yang pelik, mulai dari restu yang tak kunjung diberikan orangtua, lalu memulai lagi hubungan dengan orang lain yang ternyata malah mengkhianatinya. Semua itu membuat Sintya mulai enggan untuk berharap pada cinta.

Semua kesedihan Sintya perlahan mulai mencair saat sosok Dani hadir dalam hidupnya. Namun … hati Sintya sudah tak seperti yang dulu. Dia perlu waktu untuk berdamai dengan semuanya. Dan Dani harus bersabar hingga Sintya bisa menerimanya sepenuh hati.

***

Judul ini unik. Satu kata, tapi punya berbagai macam makna. Kalau dalam bahasa Inggris bisa diartikan sebagai dosa. Cukup menggambarkan isi cerita kalau maksudnya itu. Lalu, pas aku baca beberapa halaman, mulai berpikir juga, apakah kata Sin pada judul karena mengambil nama sapaan Sintya? Bisa juga, ya.

Ukuran buku ini tuh mungil. Lebih kecil dari buku LR lainnya, tapi aku malah suka loh. Buku ini tuh kalau dibandingkan dengan buku terbitan LR yang lain secara fisik seperti lebih kokoh.

Sekarang kita masuk ke pendapatku terhadap novel ini.

Btw, kalian pernah dengar lagu “Il Sogno” karya Isyana Sarasvati? Nih aku nanya serius. Mungkin ada yang heran, apa hubungannya lagu Isyana sama novel Sin. Jadi … aku merasa novel Sin sama Il Sogno itu kaya punya penyajian yang sama.

Di lagu Il Sogno kita dibawa alunan musik klasik, sampai hanyuuut banget, tapi ternyata kita dikejutkan dengan genre yang berubah seketika, lalu ada ritme-ritme yang membuat kita susah mengatur napas, dan itu terjadi sampai akhir. Hingga pada akhirnya kita lalu selesai dan akan mengatakan, “gila!”

Novel Sin penyajiannya mirip dengan lagu Il Sogno. Aku pas awal baca mengira novel ini adalah cerita klasik, seputar kegigihan sepasang insan yang dimabuk cinta dalam mengharapkan dan memperjuangkan restu orangtua.

“Oke, bisa ditebak.” Itu kalimat yang awalnya muncul. Dan aku sempat mengira tokoh utama di novel ini punya karakter yang biasa banget. Tapi ternyata … orangtua Sintya punya cara kerja yang lebih hebat. Dan mereka berhasil dengan cara itu.

Beberapa bulan tinggal bersama orangtua di Nusa Tenggara, Sintya perlahan membuka hati pada Mas Jo. Kalau tidak salah hanya tiga bulan dia sudah menetapkan hati untuk menerima lamaran lelaki itu. Nah, perihal Nusa Tenggara, aku suka deskripsi setting tempatnya, aku sampai membayangkan kalau di Nusa Tenggara emang kaya gitu. Entah, apakah penulis pernah ke sana atau ini hanya berdasarkan riset.

Aku kira permasalahan akan selesai saat Jo hadir, tapi ternyata pada halaman 89 sebuah fakta terungkap. Melihat calon suami malah bermesraan dengan wanita lain pasti sangat menyakitkan hati. Dan emosi Sintya itu sangat terasa. Aku suka sekali paragraf terkahir di halaman 89. Membuat hatiku semakin hancur.

Aku kira sudahlah, Sintya akan menempuh kehidupan baru lainnya saja. Tapi ternyata si penulis sangat jahat karena telah membuat tokoh Jo sebagai laki-laki yang sangat terobsesi dengan Sin dan sampai melakukan hal-hal gila hanya untuk perempuan itu. Kalian yang pernah baca pasti merasakan susah napas, kan, pas di part 15 dan 16? Belum lagi kelakuan Jo lainnya yang buat aku jengkel.

Sintya ini sejak awal digambarkan sebagai perempuan yang rada polos dan ceria. Tapi semua kejadian mulai mengubah hidupnya. Saat dia memutuskan untuk pindah ke Malang dan sampai bertemu dengan Dani. Di situ aku menemukan ada perpindahan emosi dan juga sikap yang ada pada diri Sin. Coba kalian lebih sensitif pas baca, pasti memahami itu juga. Contoh satu deh, waktu Sin berpisah dengan Vandi, dia dengan gegabahnya hanya dalam tiga bulan menerima lamaran Jo. Tapi setelah pernikahannya batal, Sin perlu waktu sampai tiga tahun loh, untuk meyakinkan hatinya. Ini sebagai cerminan betapa hebatnya waktu dan pengalaman dalam mengubah pribadi seseorang menjadi lebih bijaksana.

Pada proses pendewasaan Sintya itu mengajarkanku juga kalau kita jangan menggerutu tentang takdir yang datang bertubi-tubi. Semua masalah itu adalah bentuk pengajaran dari Tuhan agar kita mampu mencapai titik kedewasaan. Dan percayalah, kedewasaan dan kebijaksanaan bukanlah hasil transfer begitu saja seperti suatu ilmu matematika, tapi dia adalah buah dari proses menjalani kehidupan yang panjang.

Aku kira semua akan berakhir manis saat bertemu Dani, tapi ternyata ada sebuah konflik batin lagi yang mengharuskan Sintya untuk memilih.

Sumpah, aku nangis pas part si gadis kecil memeluk Dani dengan manja dan Sintya mempertanyakan kesiapan dirinya lagi untuk menerima Dani. Ternyata penulis selain ingin mengajarkan arti kedewasaan, tapi juga ada nilai ketulusan. Arti ketulusan tidak hanya dijabarkan dari pribadi Sintya, tapi juga ada pada Vandi dan Dani.

Beberapa tokoh dalam cerita ini tuh cukup menggambarkan bagaimana sikap para manusia sebenarnya. Tidak seperti novel lain, yang ada aja tuh tokohnya kelihatan sempurnaaa banget. Baca novel yang kaya gitu malah bikin pembaca merasa aneh. Lalu cara bertutur penulis asyik. Nggak banyak diksi aduhai, tapi tetap aja kesannya manis sekali.

Cara penyajian di novel ini selain bikin susah napas karena konfliknya makin ke dalam cerita malah makin memuncak, tapi juga bikin mikir. Banyak hal yang terselip dan menuntut kita lebih sensitif, seperti yang aku sebutkan sebelumnya.

Lalu, ada satu lagi yang aku sempat bingung saat temannya Sintya berbohong pada Jo dan mengatakan kalau Sintya ingin Jo untuk datang ke rumahnya. Aku sampai susah tidur, memikirkan alasan temannya Sintya malah mengatakan itu. Sampai akhirnya … oooh iya, paham. Kan sebelumnya temannya Sintya sudah melihat bagaimana ngerinya Jo saat marah, jadi wajar kalau dia sampai berbohong demi keselamatan diri. Nah, ini nih sifat manusia. Bukankah manusia suka melakukan hal negatif hanya agar bisa selamat? Isssh ….

***

Tidak adil kalau bahas kelebihannya aja. Kita bahas kekurangannya juga, yuk!

Halaman 15 buat aku bingung. Cek kalimat berikut ini >> tunjuk Jonan ke di balik tubuh Sintya.
Salfok dengan keberadaan kata “ke” dan “di” yang bersebelahan. Hilangkan salah satu sepertinya lebih baik.

Ada beberapa typo juga.
… beluk dengar kabarnya? (Halaman 43) mungkin maksud kata beluk itu >> belum.
… apalagi di musik kemarau …. (Halaman 54) mungkin maksud kata musik >> musim

Ada beberapa kata sapaan yang sepertinya luput dari pengamatan.
mas Jo >> Mas Jo (halaman 2)
mbak Tari >> Mbak Tari (halaman 26)
Masmu >> masmu (halaman 35)

***

Aku tutup review ini dengan sebuah kalimat pada halaman 42.

“Benarlah kata orang. Menghapus kenangan itu amat susah. Apa yang sudah melekat di hati tidak mudah luruh.”[*]

Kota Seribu Sungai, 7 Agustus 2021

Zuyaa adalah seseorang yang gemar baca, tapi masih perlu belajar lagi agar bisa menulis dengan baik.

Editor : Uzwah Anna

Gambar : Dok.pribadi

 

 

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply