Pecel Mbah Rasmi

Pecel Mbah Rasmi

Pecel Mbah Rasmi
Oleh : Indhira Syah

Beberapa sayuran dan gorengan sudah berjejer rapi pada tampah bambu yang berada di meja. Di tengahnya, ada baskom berisi mi dan bumbu kacang. Semua bahan pecel sudah siap dijajakan. Waktu menunjukkan pukul 09.40. Mbah Rasmi sedang bersiap di kamarnya. Ia mengenakan ciput, tak lupa selendang kebesarannya ia gunakan untuk menutup kepala.

Beberapa menit kemudian, Mbah Rasmi ke luar rumah dengan membawa serta dagangannya. Ia menjunjung tampah bambu berisi berbagai sayuran, juga menggendong bakul berisi botol air dan banyak kertas serta plastik untuk membungkus pecel. Ia melangkah dengan pasti, wanita paruh baya itu mulai berteriak menjajakan dagangannya.

“Pecel, pecel ….” Suaranya terdengar cukup lantang.

Biasanya, di jam-jam seperti sekarang ini banyak ibu-ibu yang tengah berkumpul. Mereka berbincang atau sekadar mengajak main para balitanya. Mbah Rasmi akan berhenti sejenak. Ia berharap akan ada yang membeli pecelnya.

Namun, sudah hampir setengah jam berkeliling, ia belum juga bertemu sekumpulan ibu-ibu. Jalan-jalan yang ia lewati sepi, tidak seperti biasanya. Ada beberapa anak kecil berlarian, tetapi hanya melintas saja. Mbah Rasmi sempat menawarkan dagangannya pada pemuda yang berpapasan dengannya. Akan tetapi, pemuda itu menolak dengan halus.

Terus melangkah, Mbah Rasmi mengabaikan peluh yang bercucuran, panasnya terik matahari yang membakar kulit, juga beban yang semakin berat di punggung dan kepalanya.

Setelah satu jam lebih berkeliling, akhirnya ia berhenti di pos siskamling. Mbah Rasmi duduk mengistirahatkan raganya. Ditatapnya tampah bambu yang masih penuh berisi sayuran. Wanita berusia lima puluh tahunan itu berteriak lagi. Mencoba menarik minat calon pembeli, meski di sekitarnya sangat sepi.

Sejak pandemi menerpa negeri ini, sekolah tempat Mbah Rasmi berdagang tutup. Tempat sehari-hari ia mengais rezeki kini sepi. Bukan hanya Mbah Rasmi, banyak pedagang lain mengalami nasib yang sama dengannya. Harus mencari tempat lain demi bertahan hidup.

Pecel buatan Mbah Rasmi enak, bumbunya khas dengan rasa gurih dan manis yang pas. Rasa pedas dengan level sedang bagi lidah anak-anak. Sayur kangkung, taoge, dan kacang panjang, juga mi dan gorengan di tempatkan pada kertas bungkus. Kemudian disiram bumbu kacang di atasnya. Satu porsi ia jual dengan harga tiga ribu rupiah. Tidak jarang, anak sekolah membeli seharga dua ribu rupiah.

Hasil dari berjualan pecel, Mbah Rasmi gunakan untuk menghidupi dirinya. Sejak belasan tahun ia hidup sebatang kara. Ditinggal suami yang pergi menghadap Sang Khalik tanpa seorang anak pun. Sempat depresi beberapa bulan setelah kematian sang suami, Mbah Rasmi tinggal di bawah pengawasan dokter puskesmas.

Empat bulan lamanya Mbah Rasmi depresi. Menganggap sang suami masih hidup. Setiap hari ia menyiapkan makan dan pakaian untuk suaminya bekerja. Saat malam hari tiba, tetangga sebelah rumah membereskan semua makanan dan pakaian tersebut. Hingga suatu hari ia tersadar saat menonton televisi.

Berita sebuah kecelakaan mengingatkannya pada satu peristiwa. Ya, penyebab suami Mbah Rasmi wafat adalah kecelakaan. Motor yang dikendarainya ditabrak oleh minibus yang oleng dari arah belakang. Seketika tubuh sang suami terpelanting ke depan. Tubuh yang tergolek lemah bersimbah darah itu meregang nyawa, dan saat perjalanan ke rumah sakit, napasnya benar-benar berhenti.

Bayangan sang suami yang berbalut kafan menari-nari dalam ingatan. Mbah Rasmi menjerit histeris, menangis meraung-raung. Beberapa tetangga datang berusaha menenangkannya. Berselang satu jam kemudian, ia sudah mulai sadar, sesadar-sadarnya. Luapan air terus mengalir di pipinya. Sesekali bibir tipis itu melafalkan istigfar.

Tidak ingin terlalu lama meratapi nasib, Mbah Rasmi bangkit. Ia mulai berjualan pecel di teras rumah. Hanya sebulan lamanya, setelah beberapa tetangga memberikan saran agar ia berjualan di sekolah yang jelas lebih ramai. Mbah Rasmi yang saat itu masih berusia tiga puluhan, berjualan pecel di sekolah dasar tidak jauh dari rumahnya.

Belasan tahun berlalu, Mbah Rasmi masih setia dengan tampah bambu dan bakul gendongnya. Penghasilan dari berjualan pecel lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Hidup di pinggiran Ibu Kota dan jauh dari saudara. Ah, bahkan ia tidak pernah dianggap saudara sejak memutuskan menikah dengan sang suami.

Terlahir dan dibesarkan oleh seorang ibu, membuatnya terbiasa memeluk sepi. Ia menjadi yatim saat berusia tiga tahun. Kemudian sang ibu menyusul suaminya saat Mbah Rasmi baru saja lulus SMP. Hidupnya sangat menyedihkan bersama sang kakak. Ia dipaksa bekerja demi kelangsungan hidup. Mencari kayu bakar adalah pekerjaan yang mudah didapat di desa saat itu. Hingga di usianya yang menginjak sembilan belas tahun, ada seorang pemuda yang melamarnya. Sang kakak murka, lantaran Mbah Rasmi menerima lamaran pemuda itu. Ia tidak terima karena sang adik ingin melangkahinya. Pernikahan tanpa restu sang kakak tetap terjadi. Namun, Mbah Rasmi diusir dari rumah. Bukan hanya itu, sang kakak juga memutus persaudaraan di antara mereka. Ia tidak lagi menganggap Mbah Rasmi sebagai adiknya.

“Mbah ….” Tepukan seseorang membuyarkan lamunan Mbah Rasmi.

“Eh, mau beli pecel, Nduk?” tanyanya semringah.

Wanita berhijab itu duduk di sisi Mbah Rasmi. Ia melirik tampah bambu, lalu tersenyum. “Kalau buat buka puasa sore nanti, sayurannya masih enak, Mbah?”

“Masih, masih enak. Nanti dikukus aja biar hangat. Bumbunya biar dipisah. Mau berapa?”

“Mau dua porsi, Mbah.”

Mbah Rasmi tampak senang melayani wanita itu. Tangannya cekatan menata sayuran pada kertas bungkus. Senyum tulus tak lepas dari bibirnya.

“Mbah, kenapa nggak sore aja jualannya? Jadi Mbah nggak capek keliling dari pagi.”

“Mau dapat pembeli jam berapa kalau sore baru keliling? Lha wong dari jam sepuluh aja baru situ yang beli.” Mbah Rasmi menyelesaikan bungkusan kedua.

“Mereka akan beli pecel Mbah sore nanti menjelang magrib. Kan, biasanya memang begitu kalau bulan Ramadan.” Wanita itu mengulas senyum.

Mbah Rasmi tergemegap mendengar penuturan wanita di sampingnya. Beberapa detik berpikir hingga akhirnya ia tersadar. Pantas saja sepanjang jalan yang ia lewati begitu sepi.

“Mbah puasa, ‘kan?”[*]

Depok, 6 Juli 2021

Indira Syah, seorang wanita berdarah Sunda-Betawi. Ia pencinta kucing dan penyuka nasi goreng. Penulis novel Jodoh Sang Penulis’ dan beberapa antologi ini menyukai dunia menulis sejak SMP. Namun, baru menggelutinya sejak akhir 2019 lalu. Dengan menulis, ia berharap dapat menebar kebaikan.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/5Xti9zh

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply