Perkara Dua Hati
Oleh : Jeevita Ginting
Sejenak, aku kembali teringat perkataan ibu. Sambil merapikan jas hitam yang kukenakan, wanita setengah baya itu menghela napas lantas mengatakan hal yang … jujur saja, pada saat itu sama sekali tak bisa kupahami.
“Yun, kamu itu sudah jadi anak ibu selama 33 tahun, dan akan tetap begitu seterusnya meskipun kamu sudah berumah tangga.”
Tanpa menatapku langsung, Ibu melanjutkan perkataannya. “Kelak, jika ada hal-hal enggak enak yang dikatakan istrimu, berkaitan dengan Ibu … Ibu minta tolong, kamu jangan langsung menarik kesimpulan begitu saja. Kamu kenal bagaimana Ibu, ‘kan?”
Tentu saja aku paham betul bagaimana ibuku, tapi terkadang aku tak ingin terkesan lebih memihaknya jika istriku menyampaikan beberapa hal tak mengenakkan yang berkaitan dengan Ibu. Aku tak mau istriku jadi tersinggung.
Putriku yang berusia tujuh tahun belum lama ini menginap di rumah Ibu. Dan saat ia kembali, malamnya ia mendadak sakit perut. Panik, istriku langsung menghubungi Ibu dan menanyakan beberapa hal, salah satunya adalah apakah selama di sana putri kami tak sengaja makan sesuatu yang, ya … tak sehat.
Tentu saja aku langsung menegurnya. Bagaimana mungkin seorang nenek membiarkan cucunya memakan sesuatu yang bisa bikin dia sakit.
“Ya, kan bisa aja ibu enggak liat, Mas! Kan di rumah ibumu, si Puti itu dibebasin buat ngelakuin apa aja. Gimana kalau dia jajan sembarangan. Di lingkungan itu kan banyak tuh penjual jajanan keliling.”
Baiklah … kalau sudah begini aku tak bisa berkata yang lainnya. Akhirnya, aku menghubungi Ibu. Meminta maaf jika perkataan menantunya itu mungkin membuat dia merasa, ya … kesal, mungkin.
Awalnya Ibu hanya diam, setelah itu dia menjelaskan bahwa sejak hari pertama datang Puti itu kesulitan buang air besar. Mungkin ia kekurangan serat karena tak makan sayur ataupun buah.
Lagi, istriku merasa kesal. “Loh, Puti gak makan sayur sama buah itu bukannya aku enggak ngasih ya. Tapi emang dasar anaknya yang enggak suka sayur. Ya kalau udah begitu aku mesti gimana? Dipaksa? Namanya enggak suka ya enggak suka… susah udah dipaksa juga. Kan yang penting vitamin kukasih tiap hari”
Aku berusaha menenangkannya, aku yakin maksud Ibu bukannya begitu. Lagi pula Puti memang harus cukup makan makanan sehat, kan?
Istriku mendesis, ia menganggap bahwa aku hanya membela Ibu. Ia merasa bahwa Ibu dengan sengaja menyindirnya dengan berkata demikian. Aku hanya menghela napas, lantas beranjak dari ranjang menuju ke teras di luar.
“Sekarang gini aja deh, Mas. Aku sih lebih suka kalau Puti tuh enggak usahlah nginep-nginep di rumah ibu segala,” ucap istriku yang tiba-tiba menyusul dan berdiri di sebelah.
Melakukan hal itu sama saja dengan membatasi Ibu untuk bersama dengan cucunya. Aku yakin, ia pasti akan lebih tersinggung. Tidak bisakah kita melupakan masalah ini saja?
Akhir-akhir ini karena sibuk bekerja aku jarang mengunjungi Ibu, begitupun dengan istriku yang juga bekerja. Dengan membiarkan Puti menginap di rumah Ibu, sejujurnya aku merasa setidaknya anak semata wayangku itu bisa mendapatkan perhatian lebih darinya.
Ya … Ibu memang pernah bilang, kenapa sih, mamanya Puti enggak di rumah aja. Puti sendiri sering cerita pada Ibu bahwa ia ingin punya waktu lebih dengan mamanya.
Aku tak bisa begitu saja meminta istriku untuk berhenti bekerja, apalagi ia seorang dokter. Dan pekerjaannya itu bagian dari mimpi masa kecilnya. Ia telah berusaha keras untuk bisa mewujudkan. Masa sih, pada akhirnya setelah menikah ia malah tak melakukan pekerjaan yang sangat diimpikannya dulu.
Bodohnya aku. Hal seperti ini saja membuatku seperti orang yang kehilangan akal. Seharusnya aku bisa memahami perasaan keduanya, tapi aku malah terbawa dalam sebuah kebingungan yang … entah.
Aku memegang tangan istriku, lantas menarik napas. Tak ada yang salah dengan perkataan Ibu, ia hanya mengkhawatirkan Puti. Begitupun dengan istriku yang khawatir anaknya tak terurus sesuai dengan cara didikannya karena ia tak memantau Puti secara langsung. Mungkin akan lebih baik jika sesibuk apa pun pekerjaan kami, kami bisa tetap memperhatikan dan menemani Puti, bahkan saat ia menginap di rumah Ibu. (*)
Jeevita. Perempuan kelahiran 21 tahun silam yang hobi membaca komik.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata