Salah Satu dari Mereka
Oleh: Ika Mulyani
Dua orang laki-laki berbaring pada dua tempat tidur terpisah di dalam ruangan yang sama. Malam yang sudah larut berhawa lebih dingin dari biasanya, meski tidak seembus pun angin bertiup. Udara seolah membeku. Para binatang malam seakan bersembunyi, tiada satu pun yang mengeluarkan suara. Suasana terasa mencekam.
Kedua laki-laki itu tidak melihat hingga tidak menyadari kehadiran satu sosok lain yang berdiri diam di sudut ruangan sejak matahari terbenam. Ia tidak bersuara, hanya berdiri saja dan memperhatikan gerak-gerik salah satu laki-laki, lekat-lekat. Tidak sedetik pun lelaki itu lepas dari pandangannya.
Salah satu dari kedua laki-laki itu, yang berbaju kaus oblong putih dan berbaring pada tempat tidur di bawah jendela, terbatuk-batuk lagi, seperti beberapa saat sebelumnya. Ia mencoba meraih gelas pada meja kecil di samping dipannya. Tubuhnya tengah demam hingga membuat tangannya bergetar saat terulur. Laki-laki itu kecewa, ketika didapatinya gelas itu telah kosong.
Ia kembali batuk-batuk, lebih keras dari sebelumnya, hingga membuat teman sekamarnya terbangun.
“Ada apa?” Ia bertanya sambil mengerjap-kerjapkan matanya yang terasa lengket tersebab kantuk.
Si Sakit menyahut dengan suara batuk.
“Oh, mau minum?”
Si Sakit menjawab dengan anggukan sambil tetap terbatuk-batuk.
Dengan sigap, teman si Sakit bangkit dan menuangkan air dari teko lalu menyodorkannya dengan hati-hati. Ia menepuk-nepuk punggung si Sakit, mencoba membantu meredakan batuk-batuk itu.
“Kamu sudah minum obat?”
Si Sakit mengangguk.
“Mungkin kamu harus kembali ke dokter. Coba minta untuk di-rontgen.”
Si Sakit menggeleng.
“Kenapa?”
“Percuma.”
“Apanya yang percuma?”
“Kamu tahu, aku sudah dua kali berobat.” Si Sakit kembali terbatuk-batuk. Ia segera mereguk lagi air minum di dalam gelasnya. “Tapi batukku masih belum juga mau pergi. Badanku demam lagi.”
“Makanya itu, kamu harus berobat lagi. Kita cari dokter lain.”
Si Sakit menggeleng. “Perasaanku tidak enak dari Magrib tadi. Rasanya serba salah.” Ia kembali terbatuk-batuk, lalu mendekatkan mulut gelas ke bibirnya. Rupanya gelas sudah kosong lagi. Temannya dengan sigap kembali menuangkan air.
“Serba salah gimana?”
Si Sakit mengangkat bahu. “Ya, serba salah. Berbaring salah, duduk salah. Apalagi berdiri, kepalaku langsung pusing.” Ia menyahut lalu berkali-kali menarik napas panjang, berusaha mengusir sesak yang menekan saluran pernapasannya.
Teman si Sakit terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“Rasanya, ada sesuatu yang … tidak biasa di dalam kamar ini.”
“M-maksudnya?”
Si Sakit kembali menghela napas panjang. “Hawanya berbeda. Dingin. Lihat saja sekarang. Kamu pakai jaket. Dingin sekali, ‘kan? Coba dengar, di luar sepi sekali. Suara jangkrik pun tidak ada.”
Teman si Sakit tertegun.
“Iya juga,” ucapnya setelah sekian detik berlalu.
“Mungkin … waktuku sudah akan sampai.” Si Sakit berujar lirih dengan suara bergetar.
Temannya terperanjat. “Waktumu untuk apa? Maksudmu … m-mati?”
Si Sakit mengangguk lemah. Bahunya terkulai.
Temannya mengibaskan tangan. “Jangan berpikir aneh-aneh. Kamu masih muda. Belum kawin. Kamu akan sembuh dan bakal punya istri salehah dan beranak banyak. Seperti mimpimu selama ini!” ucapnya dengan berapi-api hingga terbatuk-batuk.
Si Sakit menggeleng. “Mati tidak harus tua. Bayi pun bisa mati, bahkan mungkin saja ajalnya datang sebelum sempat lahir ke dunia.”
“Ya memang, tapi ….”
“Apalagi aku sedang sakit begini. Kata orang, sakit itu bunga kematian.”
“Ya, betul. Tapi kamu juga tahu, tidak semua bunga berhasil tumbuh jadi buah. Tidak semua yang sakit berakhir dengan kematian.”
Teman si Sakit bertutur dengan cepat dan penuh semangat, sampai terbatuk-batuk. Si Sakit memandang temannya dengan sorot mata cemas.
“Aduh. Jangan sampai kamu ketularan sakitku!”
Temannya menggeleng. Ia menuangkan air untuk dirinya sendiri dan meminumnya. Ia kemudian menarik napas panjang berulang-ulang. “Kamu, kan, tahu. Kadang-kadang asthmaku kambuh, batuk-batuk kalau bicara terlalu cepat atau tertawa terlalu keras. Apalagi udara dingin begini. Tenang saja.”
Keduanya lalu terdiam. Malam makin larut, dan masih saja sesepi sebelumnya. Hening mencekam.
“Kalau aku … mati besok, atau lusa ….” Si Sakit berkata terbata dengan suara parau. Ia tidak memedulikan sorot memperingatkan yang dilayangkan temannya. “Tolong sampaikan maafku untuk ibuku. Bilang padanya, aku yang dulu mengambil cincinnya. Kujual murah untuk membeli sepatu futsal. Sepatunya kusimpan di rumah si Dudi, tetangga kami.”
Mendengar pengakuan si Sakit, temannya terkekeh-kekeh. Ia teringat, dulu pernah juga mengambil uang dari dompet ayahnya untuk men-traktir teman-teman saat berulangtahun yang ketujuhbelas. Bertahun-tahun berlalu, ayahnya masih percaya, uang itu raib dibawa tuyul. Masa itu, kisah pencurian klenik itu tengah marak diberitakan di kampungnya.
Teman si Sakit masih saja terkekeh geli. Lalu ia terbatuk lagi. Batuknya tidak juga berhenti. Dadanya terasa sesak dengan napas terputus-putus. Ia mencoba meraih inhaler pereda asma yang tergeletak di dekat bantalnya. Saat itulah, sosok tak kasat mata yang berdiri di sudut ruangan, bergerak menghampiri laki-laki itu dan mencabut nyawanya. []
Ciawi, 15 Agustus 2021
Ika Mulyani, lahir dan besar di Bogor. Seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, yang masih belajar untuk membaca dan menulis dengan baik. Mimpinya untuk saat ini adalah berhasil membukukan tulisannya menjadi karya solo, bukan hanya sebuah antologi bersama.
Editor: Erlyna