Kado yang Diharapkan
Oleh : Aslina
“Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia.”
Tepat pukul 00.00 WIT, petikan gitar yang mengiringi nyanyian Dian dan Dias memecahkan heningnya tengah malam dan membuat Denis terbangun dari tidurnya.
Kedua anak remaja itu berada di kamar Denis dan masih terus bernyanyi. Ia kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Denis tersenyum bahagia ketika Dian dan Dias berebut mencium pipinya sambil berucap, “Selamat ulang tahun Papa, sehat selalu dan semakin sukses serta tambah sayang sama kita bertiga.”
“Barakallah fii umrik ya, Mas,” ucap Sita sambil mencium pipi suaminya. Sita lalu menyodorkan cake buatannya yang di atasnya ada lilin angka 50 yang menyala. Denis meniup lilin dan dua gadis remaja mereka bertepuk tangan dengan gembira.
“Papa, buka ini kado kami buat Papa. Ini dariku, ini dari Dias, dan ini dari Mama. Dibuka ya, Pa,” ucap Dian.
“Ya, Sayang … nanti pasti Papa buka. Tapi kita makan kue buatan Mama dulu yuk, Papa sudah ngiler juga nih” ajak Denis sambil bangun dan berjalan menuju ruang makan.
Sita bergegas mendahului mereka ke ruang makan dan mengambil piring kue yang sudah disiapkannya tadi.
“Hmmm … lezatnya cake buatan Mama,” puji Denis. Sita tersipu, selalu saja pipinya memerah dan dirinya terasa melayang setiap ada pujian dari Denis.
Teringat tujuh belas tahun yang lalu ketika Sita memutuskan menikah dengan Denis, pria yang kos di rumah tetangganya di Depok. Awalnya ayah Sita kurang setuju. Evi, sahabatnya pun meragukan hubungan Sita dan Denis.
“Sita gak salah kamu mau nikah dengan Denis? Kamu sarjana lulus cumlaude lho … dan dia cuma lulusan SMA, sebatang kara dan besar di panti asuhan pula!” ceplos Evi saat itu.
“Denis itu pekerja keras dan sangat penyayang, Vi. Aku yakin dia pasti menyayangiku dan anak anak kami kelak. Itu yang paling aku butuhkan, aku ingin kenyamanan, Vi,” jawab Sita dengan penuh keyakinan
Evi tersenyum, ada rasa ragu tapi juga mengerti pertimbangan Sita. Evi paham betul keadaan Sita. Dipeluknya Sita sambil berbisik, “Apa pun pilihanmu aku selalu mendukungmu. Di mana pun nanti kita berada, kita tetap saling berkabar, ya.”
“Terima kasih, Vi … kamu memang sahabat terbaikku.”
“Ayo, Maa … makan cake-nya juga, dong! Masa cuma dipelototin saja.” Suara Denis membuyarkan lamunan Sita.
Hari ini Denis berangkat kerja lebih awal. Setelah salat Subuh dia langsung bersiap-siap berangkat. Sita sudah menyiapkan sarapan untuk Denis. Seperti biasa setiap awal dan pertengahan bulan Denis akan mengontrol cabang cabang perusahaan di luar kota.
“Aku mungkin menginap dua atau tiga malam, karena akan mengunjungi beberapa cabang. Beritahu Dian dan Dias, makan malam di restoran nanti setelah aku pulang dari luar kota,” ucap Denis.
“Ya, Mas, nanti aku sampaikan. Aku juga sudah siapkan pakaian dan keperluan Mas di koper. Vitamin juga sudah di dalam, diminum ya, Mas. Jangan lupa istirahat yang cukup.”
Di depan pintu Sita mencium tangan Denis, “Hati hati ya, Mas,” bisiknya.
Denis berjalan menuju mobil. Supir yang akan menemaninya keluar kota sudah siap untuk berangkat.
Sita bangga. Suaminya adalah pekerja keras dan tekun. Tak heran jika kariernya terus melejit dari sales sampai akhirnya sekarang manager area yang membawahi sepuluh cabang di berbagai kota di provinsi ini.
Enam belas tahun lalu Denis memboyong keluarga kecilnya ke sini. Dian masih berumur sebulan. Atas dukungan Sita, Denis berani menerima tantangan jadi wakil kepala cabang di ibu kota provinsi Indonesia bagian timur. Tiga tahun kemudian bersamaan dengan lahirnya Dias, Denis diangkat menjadi kepala cabang. Bahagianya lagi ayah dan ibu sambung Sita datang menunggu kelahiran sang cucu. Setelah hampir setiap tahun Denis membawa keluarganya terbang ke pulau Jawa, Denis pun membeli rumah mungil, tak jauh dari rumah ayah Sita.
“Untuk mengenang tempat pertama kita bertemu dulu,” ujar Denis. Sita tertawa bahagia.
Tiga hari kemudian, Denis pulang dari luar kota. Meski masih lelah, Denis tetap memenuhi janji kepada anak-anaknya untuk makan malam di restoran. Setiap ada yang berulang tahun, Denis selalu mengajak keluarganya makan di restoran
.Sebenarnya Sita kurang setuju. Dia ingin makan di rumah saja sebab dia mampu menyiapkan makanan ala restoran jika hanya untuk berempat. Akan tetapi Denis ingin anak-anaknya menikmati apa yang tidak bisa dia nikmati semasa kanak-kanak dan remajanya dulu.
“Kalian yang pilih restonya ya, Sayang,” ucap Denis sambil masuk ke dalam mobil. Dian dan Dias semangat berdiskusi dan sedikit berdebat untuk memilih restoran yang akan dituju. Sita tersenyum melihat ulah gadis remajanya ini. Dalam hati Sita bangga punya anak perempuan yang menyenangkan dan cerdas. Di sekolah mereka juara, si sulung bahkan selalu mendapat beasiswa dari perusahaan terbesar di provinsi ini. Dian sangat tekun belajar, keinginannya agar nanti bisa kuliah di fakultas kedokteran di pulau Jawa, di universitas terbesar dan ternama.
Sepulang dari makan malam, anak-anak langsung masuk ke kamar masing-masing. Sita mempersiapkan keperluan untuk sarapan besok barulah setelah itu dia masuk kamar. Ternyata Denis sudah menunggunya.
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Sita,” ujar Denis begitu melihat Sita masuk kamar.
“Ada apa, Mas?” tanya Sita sambil duduk di ujung tempat tidur.
Denis menghela napas kemudian berkata, “Aku ingin anak laki laki.”
Sita merasa seperti disambar petir. Tanpa sadar air matanya menetes.
“Bukankah anak perempuan kita sangat membanggakan, Mas?”
“Aku ingin anak laki-laki, aku ingin ada penerusku.”
Tiba tiba Sita merasa tak berdaya, seluruh tubuhnya serasa lunglai. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Denis hanya diam dan membiarkan Sita menangis, dia sama sekali tak berusaha membujuk Sita.
Beberapa saat kemudian Sita berbicara dengan suara lirih menahan rasa sakit di dada.
“Baiklah, Mas, aku rela dimadu, menikah lah tapi anak-anak jangan tahu dulu, aku tak mau anak-anak terguncang. Dian sedang mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan dan masuk kuliah dan Dias akan masuk SMA”
“Aku ingin tahun depan kamu dan anak anak tinggal di rumah yang di Depok, aku akan membelikan mobil second untuk kalian dan akan memberikan uang belanja bulanan serta membayar biaya pendidikan anak-anak. Aku mau tetangga di sini tahu kita sudah cerai,” lanjut Denis sambil pergi ke tempat tidur dan menarik selimut menutup seluruh tubuhnya.
Denis tak ingin terpengaruh suara tangis Sita, tekadnya sudah bulat, berpisah dengan Sita dan hidup bersama pujaan hatinya yang sudah mengisi jiwanya setahun belakangan ini .
Sita merasa tubuhnya seperti terlempar ke jurang yang dalam, gelap dan hampa, tanpa bekal apapun. Dunia rasanya gelap tanpa seberkas cahaya. Sita ketakutan dan tak dapat berkata kata. Sita menangis dalam kesedihan yang dalam. Semua yang dilakukan selama ini sepertinya sia-sia dan tak berarti bagi Denis. Tujuh belas tahun sudah hari-hari Sita dihabiskan hanya untuk merawat keluarga kecilnya. Selain urusan bersih-bersih, memasak, dan mencuci baju dengan tangannya sendiri, Sita juga menjadi guru ngaji, guru les, sekaligus supir buat Dian dan Dias. Dada Sita sesak menahan sakit, mengingat Denis mengharapkan kado perpisahan. (*)
Jakarta, 29 Juli 2021
Aslina, ibu dua anak, bekerja dibidang jasa hukum.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata