Calon Imam Untuk Sawitri
Oleh : Sri Wahyuni
Sawitri kembali memandang gawai di tangannya, memastikan apakah ada pesan masuk atau tidak.
Tring!
Pesan masuk, Sawitri tersenyum melihat siapa yang mengirimkan pesan. Bergegas ia memasang helm, kemudian menyalakan motor matik merah kesayangannya. Melaju dalam kecepatan 40 km/jam dengan hati berbunga, Juna sudah menunggunya.
Akhirnya sampai juga ia di Cafe Kenanga, tempat janji bertemu dengan Juna. Sawitri merapikan hijab yang sedikit berantakan karena tertiup angin, kemudian melangkah masuk ke dalam cafe. Terlihat Juna melambaikan tangannya.
“Sini, Wit!” Sawitri mengangguk sambil tersenyum, berusaha menormalkan debaran jantungnya.
“Sudah lama nunggu?” tanya Sawitri.
“Lama banget. Kayak nungguin lampu merah di perempatan.” Juna tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang rapi.
“Garing!”
Sawitri tak bisa menahan senyum. Candaan Juna sukses mencairkan suasana. Sawitri duduk di kursi berhadapan dengan Juna. Ia mengeluarkan laptop dan beberapa buku yang ia bawa. Mereka bertemu untuk membahas tugas. Juna menawarkan diri untuk membantu Sawitri karena tugasnya sudah selesai.
“Bismillah.”
Sawitri mulai mengerjakan tugas dan sesekali mengoreksi tugasnya sesuai masukan dari Juna. Tugas kali ini memang membuat Sawitri sedikit kesulitan. Ia lulusan SMA malah kuliah di Fakultas Tarbiyah. Semua gara-gara Ayah yang menginginkan Sawitri bisa meneruskan perjuangan beliau. Selepas pensiun, ayahnya secara intens belajar agama kemudian mendirikan TPA di masjid dekat rumahnya.
Ayahnya berharap setelah Sawitri lulus kuliah, ia membantu mengajar pengetahuan penunjang untuk anak-anak santri ayahnya. Meskipun awalnya terpaksa sekarang ia menikmatinya. Di kampus ini ia bertemu dengan Juna. Awal perkenalan mereka ketika masa orientasi mahasiswa baru dengan Juna sebagai panitianya. Sejak saat itu mereka jadi dekat. Apalagi Juna yang lulusan pesantren dengan senang hati membantu Sawitri ketika kesulitan mengerjakan tugas kuliah. Di sinilah mereka sekarang. Sawitri melirik jam di pergelangan tangannya, sudah jam empat sore.
“Juna, sudah sore, kita belum salat Asar.”
“Ok, kita jamaah ya, biar aku jadi imam.”
Sawitri mengangguk, tersenyum mendengar perkataan Juna. Bergegas ia membereskan buku dan laptop kemudian beranjak mengikuti langkah Juna ke arah musala. Berjalan di belakang lelaki yang ia kagumi, membuat Sawitri tersenyum. Sejujurnya Sawitri mengaminkan dalam hati perkataan Juna. Sawitri ingin Juna kelak yang akan menjadi imamnya.
Bruk!
Sawitri menabrak Juna yang tiba-tiba berhenti mendadak.
“Ma-af.” Sawitri mengusap keningnya, malu. Juna tersenyum, menikmati ekspresi menggemaskan Sawitri.
“Aku yang harusnya minta maaf, karena berhenti mendadak gak pakai sen dulu.”
“Bisa ae, Bambang!”
“Hahaha.”
“Wit, nanti habis salat kita ke Balai Kota ya, kan ada bazar buku”
Sawitri mengangguk, dalam hati ia sangat bahagia karena bisa lebih lama bersama Juna.
***
Bazar buku sore ini cukup ramai, berbagai macam acara digelar di sini. Ada bedah buku, teatrikal, pertunjukan musik, pembacaan puisi, juga mendongeng. Bazar buku seperti oasis bagi pecinta literasi seperti Sawitri, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam mengitari semua stan buku yang ada di bazar ini. Kecintaannya pada buku membuatnya lebih senang berlama-lama di perpustakaan daripada bercengkrama dengan teman-temannya di kantin.
“Kamu suka banget sama buku, ya, Wit?”
“Hm.” Sawitri mengangguk sambil mendekap buku yang sudah ia pilih.
“Aku mau dong jadi buku.”
“Kenapa?”
Juna hanya tersenyum sambil menunjuk ke buku yang ada dalam dekapan Sawitri.
“Cieeeee,” ledek Sekar.
Sawitri dan Juna seketika menoleh ke sumber suara. Juna nampak salah tingkah melihat Sekar yang tiba-tiba berada di sana.
“Wit, aku pamit dulu ya. Sudah ditunggu Arif di parkiran. Soalnya tadi sudah janjian habis dari sini mau langsung ke tempat Arif. Duluan ya, Sekar.”
“Juna, buruan halalin sebelum kena tikung!” seru Sekar. Juna mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lalu berjalan tergesa ke luar gedung.
“Au, sakit Wit, ampun!” Sekar meringis berusaha menjauhkan tangan Sawitri yang mencubit pinggangnya.
“Salah kamu, ngomong gak diedit dulu.”
“Makalah kali pake edit.”
“Wit, nanti nebeng ya.”
“Ogah!”
Mereka lalu tertawa, berjalan menyusuri stan bazar melanjutkan perburuan buku. Hati dan pikiran Sawitri tertuju pada Juna, ia kembali tersenyum mengingat reaksi Juna ketika Sekar menggodanya tadi.
Sekar mengenalkan Sawitri dengan dunia pesantren hingga Sawitri memutuskan ikut jejak Sekar yang lebih dulu belajar di pesantren. Ternyata pesantren tidak seseram bayangannya selama ini, justru membuatnya semakin bersemangat belajar. Kegiatan mengaji dimulai dari pagi sebelum subuh, dilanjutkan sore hari dan malam sepulang kuliah.
Hari seolah berlari. Kesibukan kampus dan pesantren membuat Sawitri jarang berinteraksi dengan Juna. Apalagi setelah mengenal agama lebih dalam Sawitri mulai menjaga jarak dengan lawan jenis. Meskipun rasa dan harapannya masih tidak berubah, tetapi ia memilih untuk menyimpannya dalam hati dan melangitkan harapannya dalam doa disetiap sujud malamnya.
Hingga tibalah hari wisuda saat sang ayah menyampaikan bahwa ia telah dikhitbah oleh anak dari sahabat ayahnya. Dan, setelah prosesi wisuda mereka akan makan malam keluarga bersama. Tak terbayangkan bagaimana perasaan Sawitri saat ini. Ia hanya mengangguk meskipun hatinya remuk. Doa yang dilangitkan disetiap sujud panjangnya rupanya tidak diijabah oleh Allah. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh juga.
“Kenapa nangis? Harus bahagia, dong! Setelah wisuda dapat gelar sarjana sebentar lagi wisuda dapat gelar istri.” Ayahnya tersenyum lebar sambil menepuk lembut pundak Sawitri. Sementara ibunya yang sedari tadi menggamit lengannya, tidak kalah bahagia. Ia tidak akan sanggup memudarkan senyum di wajah kedua orangtuanya.
Sesuai rencana pukul delapan malam mereka akan makan malam bersama keluarga sahabat ayahnya sekaligus mempertemukan Sawitri dengan calon suaminya. Ia tidak begitu antusias, ibunya yang heboh mempersiapkan penampilan Sawitri dengan paripurna. Turun dari mobil debaran jantung Sawitri semakin tidak beraturan. Ibunya mengerti perasaan Sawitri, pasti anak gadisnya sekarang sedang sangat gugup. Lekas ia menggandeng tangan putrinya memberi kekuatan.
“Senyum dong, Cantik. Bismillah kita masuk ya.”
Mereka pun berjalan beriringan. Senyum mengembang di wajah ayah dan ibunya, hanya Sawitri yang tampak menundukkan wajah ayunya.
“Calon besan sudah datang, silahkan duduk! Wah ini Sawitri ya, lebih cantik aslinya daripada di foto,” ujar calon ayah mertuanya
“Anak siapa dulu dong,” kelakar ayahnya membuat suasana pecah dengan tawa.
“Apa kabar Sawitri?”
Suara itu terasa sangat familiar di telinga Sawitri, sejujurnya pemilik suara itulah yang dirindukannya. Sawitri mendongak mencari sumber suara, jantungnya seperti berhenti berdetak.
“Juna?”
“Kalian sudah saling kenal?”
“Ehem, basa basi ya, Pa, kan Juna udah cerita sama Papa.”
“Juna cerita apa, Om?”
“Jangan panggil om dong, Papa saja kayak Juna.”
“Iya Om, eh, Pa.”
‘Hahaha!”
Rencana Allah sungguh indah. Sawitri sungguh tidak menyangka, jika Allah berkehendak, sesuatu yang ia rasa begitu menyesakkan beberapa saat lalu dalam sekejap berubah menjadi kebahagiaan. (*)
Pojok Kamar, 15 Juli 2021
Sri Wahyuni, seorang ibu rumah tangga yang hobinya nonton, baca, dan nulis. Sekarang aktif belajar menulis di kelas Loker Kata.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata