Penjaga Jamban (Cermin Terbaik 1 LCL2)

Penjaga Jamban (Cermin Terbaik 1 LCL2)

Penjaga Jamban 
Oleh : Rainy Venesiia
Cermin Terbaik 1 LCL2

 

Tak ada yang berniat menjadi tukang jaga WC, bukan? Aku yakin itu. Sobatku, si Pendul, yang dari SD sering jadi bulan-bulanan karena telat menangkap pembicaraan orang, juga tak pernah kudengar iseng berucap  ingin seperti Om Truno, penjaga WC di terminal angkot. Namun, nongkrong di depan WC umum  yang baunya pengar cukup menolongku bisa bertahan hidup, daripada seperti Kosim yang tiap hari menunggui hape. Sialnya, saat hape berbunyi ternyata Bang Jago yang menelepon, bukan pembeli. CEO bank keliling yang nasabahnya terus bertambah sejak pandemi itu bukan cuma menagih bunga, melainkan juga menghitung denda yang terus menanjak naik per harinya.

Pernah aku bergerilya seperti Jajat, tetap berusaha menggelar dagangan di depan pabrik-pabrik seperti sebelum virus keparat mencekik orang-orang sepertiku. Namun, baru saja selesai merapikan beha dan celana dalam sesuai ukurannya, satpol PP sudah berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan pentungan. Alhasil, aku cepat-cepat membereskan kembali daganganku sebelum diambil dan diangkut mereka. Saat kuceritakan pada istriku, anakku yang sedang memelototi hape—katanya daring, tapi aku yakin sambil main gim—langsung berkomentar.

“Waaah, pasti dulu Bapak atlet lari, satpol PP kalah cepat. Eh, tapi, Pak, kalau Bapak ketangkap terus jualan Bapak diambil, itu kutang sama beha mau diapain sama mereka?”

“Huss!” Istriku langsung mendelik dan bocah laki kelas dua SMP itu langsung menunduk pura-pura menulis. Hah, mata seorang wanita memang ampuh untuk segala hal.

Mungkin benar yang dikatakan istriku bahwa aku penakut. Berbeda dengan Jajat yang tetap memilih berjuang dari lapak ke lapak meskipun harus kucing-kucingan dengan satpol PP daripada berganti profesi atau beralih jualan online seperti Kosim.

“Ngonlen itu tak semudah pencat-pencet hape, Le. Tetep wae musti ada rumusnya. Orang kaya kita, temennya cuma tetangga dan sodara doang. Ya, gak mungkin, kan, mereka beli kolor tiap hari.”

“Ya, cobalah di FB kaya si Kosim. Cari temen yang banyak.”

“Udah berapa lama si Kosim jualan onlen, berapa kaos yang terjual?”

Aku diam. Benar juga. Kemarin katanya dia meminjam duit ke Jajat buat membeli beras. Tukang warung rupanya sudah tak sanggup memberi utangan. Dua hari lalu istrinya pun minta tolong kepada istriku. Katanya, anak-anak mereka susah mengerti kesulitan emak-bapaknya. Telinga dua bocah SD itu tak bisa mendengar kalimat tidak punya duit.

“Tiap ngampar, lumayan ada tiga-empat yang kejual. Buat beli beras dan jajan anak, ya, dicukup-cukupin.”

“Ikhtiar orang beda-beda. Kita tak tahu rezeki datang dari mana, tapi tetep mesti ada ilmunya juga. Gak bisa renang, maksa nyelem di laut, ya, tenggelem,” lanjutnya sambil nyengir.

Aku mengangguk-angguk. Sedikitnya aku bisa memahami yang dimaksud Jajat, dan bagi kami berteriak kencang menawarkan dagangan lebih mudah daripada harus memasang iklan di media sosial.

Pernah sekali waktu teman SMA-ku datang dan terkejut melihatku duduk di depan kencleng. Aku yakin saat itu dia tertawa sinis, meskipun tangannya menjabat tanganku sambil berbasa-basi menanyakan kabar. Tatapannya yang menyepelekan menampar harga diriku. Untunglah dia langsung pergi setelah selesai membuang hajatnya. Lalu, dengan dongkol aku segera membersihkan jamban bekasnya yang bau jengkol. Sungguh, saat itu aku ingin cepat pulang dan bertekad tak akan lagi datang ke tempat bau itu.

“Terserah kau saja, jika menurutmu kelaparan bisa menjaga kehormatan daripada nungguin jamban. Besok aku akan bicara pada Bapak.”

Aku tak menanggapi perkataan istriku. Batu sebesar kerbau seolah-olah mengimpit dadaku, sangat berat dan jadi susah bernapas. Aku melamunkan bapak mertuaku akan langsung menyambangi rumahku setelah istriku bicara kepadanya. Lalu, dia akan menceramahiku dengan kata-kata semisal: tak tahu diuntung, zaman lagi susah begini harusnya bersyukur masih dapat pekerjaan, masih dapat duit buat makan anak-istrimu, buat kopi dan rokokmu, buat bayar kontrakan, buat kuota belajar si Doni. Kemudian, dia akan mencak-mencak menceritakan susah payahnya melobi pengelola pasar demi aku, agar anak-cucunya tidak kelaparan. Aku tak akan bisa membantah. Semua perkataannya benar. Lagi pula kalau salah pun tetap saja aku harus diam mengangguk-angguk mengiakan.

Sering kupikirkan, memang benar yang dikatakan istri dan bapak mertuaku itu. Seperti hari ini setelah semalaman berpikir, akhirnya aku tetap duduk di depan jamban menunggui kencleng. Apa sulitnya mengosek WC? Soal bau, lama-lama hidungku sudah terbiasa menciumnya. Soal harga diri dan rasa malu? Aku menarik napas lalu mengisap rokok yang tinggal setengahnya lalu melepaskan asapnya ke udara.

“Perut tak pernah mengenal harga diri.”

Aku tersenyum mengingat perkataan istriku itu. Ya, aku juga harus bersyukur punya istri pintar seperti dia, sangat pintar berkata-kata.

Seorang perempuan keluar dari jamban nomor tiga. Dia berjalan melenggok menghampiriku.

 “Tolong, Bang, aku susah nutup ritsletingnya,” katanya manja sambil berbalik membelakangiku.

Aku melongo melihat celana dalam merah berenda dan tipis yang harganya sepuluh ribuan.

“Cepet, dong, Bang.”

Aku terkejut. Meskipun ragu-ragu, buru-buru aku menutup ritsleting rok hitam yang panjangnya tak lebih dari tiga puluh sentimeter. Paha mulus karena terbalut stoking membuat jakunku sedikit bergerak naik.

“Makasih. Abang baik, deh,” katanya sambil mengedipkan mata. Lalu, dia memasukkan uang dua ribu ke kencleng dan pergi.

Mang Rohim, tukang tahu yang sering membagi sisa tahunya kepadaku, datang sambil tertawa.

“Rezeki, Le.”

Aku tersenyum masam.

“Jangan sampai istrimu tahu, bisa dipecat kau nanti.”

Dia masih tertawa saat masuk jamban. Aku menggeleng. Lalu, kembali mengisap rokok sambil memikirkan orang-orang yang mulai hilang akal, seperti wanita tadi. Kali ini rokok terasa nikmat sekali. Bau pesing dari jamban nomor tiga lewat begitu saja, tak menempel di hidungku.(*)

Bandung, 22 Juli 2021

Rainy Venesiia, menikmati waktu luangnya untuk belajar menulis.

Komentar juri:

Dari beberapa naskah yang diajukan, naskah ini termasuk yang mendapat suara bulat dari semua juri, pun ketika pindah pada soal urutan, naskah ini juga tanpa banyak perdebatan nangkring di posisi teratas.

Penulis menyisipkan tema dengan cakap. Bahwa daripada jadi si A, si B, tak apalah (dengan terpaksa) dirinya menjadi penjaga jamban, bahkan meski harus dipandang sebelah mata oleh teman sekelasnya dulu, semua demi kebutuhan anak-istri, demi harus bertahan hari demi hari, terutama “hari ini”.

“Terserah kau saja, jika menurutmu kelaparan bisa menjaga kehormatan daripada nungguin jamban.” Begitu kata istri si tokoh “Aku”, dengan sangat menohok.

Namun jangan salah sangka, meski kedengarannya sarat nuansa melarat, tapi cerita ini dituturkan secara jenaka dan sukses membuat mesem-mesem, bahkan ada scene yang sampai mengocok perut. Dan di sinilah kemudian ironi dimunculkan.

Dari segi judul, tema, ide, cara penceritaan, semuanya sudah oke. Jadi selamat, sudah jadi terbaik ke-1.

—Fitri Pei—

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadipenulistetap di Loker Kata

Leave a Reply