Pak Arman
Oleh : Nadine Putri
Cermin Terbaik ke-3 LCL2
Saya memiliki satu pelanggan di apotek, Arman namanya. Hampir seminggu sekali ia selalu datang untuk membeli obat. Jika sedang sibuk, tak jarang Pak Arman—demikian biasa saya menyapa—menelepon ke apotek untuk meminta jasa layanan antar. Ada saja yang dibelinya, mulai dari minyak urut, koyo, susu pembentuk massa otot, dan tentu sajatak pernah ketinggalan obat untuk hipertensi dan hiperkolesterol (untuk dirinya).
Maklum saja, dua penyakit turunan itu membuat Pak Arman harus rutin meminum obat setiap hari dalam berbagai jenis. Padahal usianya relatif masih muda, mungkin sekitar di bawah tiga puluh lima tahun dan perawakannya pun sedang-sedang saja, tidak gemuk tetapi tidak juga bisa dikatakan kurus.
Suatu ketika ia pernah bercerita kepada saya. Katanya, hidup dengan menyandang penyakit genetik itu sangat membosankan, sebab makannya harus diatur, banyak pantangan yang mesti dipatuhi, harus siap obat-obatan, dan sederet aturan lain yang menyusahkan. Bahkan ia juga menambahkan bahwa dirinya sudah akrab dengan obat-obatan kimia sejak usia sekolah! Hampir separuh dari tubuhnya ia jejali dengan aneka zat kimia.
Ah, saya bisa membayangkan betapa tersiksa hidupnya. Ia harus hafal obat apa saja yang harus diminum sebelum atau sesudah makan—pagi atau malam hari. Oleh karena itu kemana-mana ia selalu membawa wadah kotak plastik bersekat-sekat dan bergambar agar tak lupa jadwal minum obat. Amlodipin 10 mg dan obat antiplatelet ia jadikan satu ke dalam wadah bergambar matahari sedangkan Atorvastatin 20 mg dimasukkan ke wadah bergambar bulan.
Semua siksaan itu berawal dari kakek dan ibunya. Keturunan mereka cenderung mempunyai riwayat hipertensi dan hiperkolesterol. Saya paham dengan kondisi seperti itu, jika ingin tetap sehat, mereka tentu tidak boleh sembarangan memasukkan makanan apa pun ke dalam mulut. Apa-apa yang dimakan, harus sesuai dietnya. Tidak ada gorengan, tidak ada bakso tulang rusuk, kepiting asam manis, udang goreng tepung, dan sederet makanan lezat nan gurih lainnya.
Pak Arman pernah mencoba mengingkari kutukan genetiknya itu dengan berpikiran bahwa tak perlulah ia diet ketat dan minum obat rutin seperti ibunya. Ia masih bisa berolahraga dengan teratur. Setidaknya itu yang membuatnya bandel dan sering tidak mematuhi pantangan-pantangan yang biasa dilakukan kakeknya secara turun temurun itu. Akan tetapi, mana bisa Pak Arman lepas obat? Setidaknya sesekali obat-obat itu tetap harus ia minum.
Pak Arman juga pernah mengatakan, bahwa dirinya amat menyukai makanan olahan daging. Seketika nafsu makannya bertambah tiga kali lipat ketika bertemu rendang sapi ataupun sate kambing. Perusahaan tempat Pak Arman bekerja sering mengadakan acara pertemuan di luar kota yang mengharuskan dirinya ikut serta hadir. Tak dapat dipungkiri, jamuan-jamuan mewah kerap disajikan. Mau tak mau Pak Arman ikut menyantapnya. Alih-alih ada obatnya, ia sering hilang kontrol dan melanggar makanan itu.
“Tenang, kan saya ada apoteker pribadi,” kelakarnya suatu hari.
Saya hanya mengulum senyum mendengarnya. Sebagai pengusaha, saya merasa senang jika obat-obatan yang saya sediakan di apotek laku terjual. Namun, sebagai apoteker yang paham bahwa dalam dosis yang terus menerus tertimbun di dalam tubuh—obat adalah racun—saya menjadi gamang kalau-kalau Pak Arman berada dalam keadaan terburuknya.
Benar saja, siang itu apotek mendapat telepon dari nomor tak dikenal yang meminta kiriman obat seperti biasa dan satu tabung Oxycan atas nama “Arman” untuk segera diantar ke rumahnya. Kali ini Pak Arman benar, untung saja tempat tinggalnya dekat dengan apotek.(*)
Jakarta, 220721
Nadine Putri, alter ego yang sedang belajar menulis. Karakternya kadang kekanakan-menyebalkan, kadang juga dewasa-membosankan. Akan tetapi jangan takut untuk mengenalnya lebih jauh, mari berkawan baik.
Komentar juri:
Cerita ini menghadirkan ide yang berbeda dibandingkan kebanyakan naskah yang masuk, lewat seorang penderita penyakit sistemik yang justru melakukan pantangan-pantangan untuk penyakitnya—sederhana, dekat, dan nyata terjadi di lingkungan sekitar kita. Sikap bandel Pak Arman membuat cerita ini lebih hidup dan terasa realistis. Gaya penceritaannya seru, tempo ceritanya terjaga dengan baik. Detail-detail yang disisipkan tidak berlebihan dan justru menambah kerealistisan cerita ini. Penceritaan menggunakan sudut pandang orang kedua, yakni apoteker pribadi Pak Arman, juga menambah kekuatan cerita. Secara keseluruhan, penulis berhasil mengeksekusi tema “carpe diem” dengan pas dan natural, tidak dibuat-buat, karena itulah ia layak menempati tiga terbaik untuk lomba cermin kali ini.
—Devin Elysia Dhywinanda—
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadipenulistetap di Loker Kata