Sabana dan Rencana-Rencana (Terbaik Ke-4 LCL2)

Sabana dan Rencana-Rencana (Terbaik Ke-4 LCL2)

Sabana dan Rencana-Rencana
Oleh
: Evamuzy
Cermin Terbaik Ke-4 LCL2

 

Pada akhirnya, sesuai arti namanya, Sabana harus berlapang dada menerima kenyataan. Bahwa catatan daftar belanja di tangannya tetap menjadi catatan belaka. Ia pulang tak membawa apa-apa, tak membawa sekantong rasa bangga.

Tujuh tahun sudah Sabana menjadi guru honorer. Pulang-pergi mengajar layaknya Oemar Bakrie, tapi bedanya ia perempuan. Gajinya hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari ia dan ibunya. Sampai sepatunya saja hanya ganti setahun sekali, itu pun pemberian orangtua siswa yang berbaik hati. Ia tak mengenal apa itu tas merek Hermes, Gucci, dan rekan-rekannya. Buku-buku administrasi pengajar, setiap pagi ia rapikan di dalam ranselnya yang berwarna hitam.

Peluang-peluang mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil, sengaja Sabana lewatkan. Posisi yang sesuai klasifikasi pendidikannya selalu jauh nun di pelosok desa. Ia tak ingin melewatkan kesempatan menemani masa tua ibunya. Perempuan setengah abad itu enggan meninggalkan kampung halaman. Sementara ijazah sarjananya, diganjar uang tunjangan sebesar dua ratus ribu rupiah per bulan oleh pemerintah.

Awalnya, semuanya baik-baik saja, tenang-tenang saja layaknya aliran air di akhir musim penghujan, sebelum sebuah kabar di pertengahan bulan Maret datang. Sebab wabah virus yang semakin mengkhawatirkan, kegiatan belajar di sekolah pun diberhentikan. Digantikan belajar dari rumah.

***

Karena sekolah dari rumah, kita mau protes supaya uang bulanan bisa dibayarkan separuh saja.

Ah, iya. Setuju. Toh, gurunya juga tidak begitu lelah bekerja. Kan, dari rumah.

Saya juga setuju. Semoga sekolah memberi keringanan. Karena pendapatan orangtua siswa juga sedang minim. Semua kena dampak pandemi.

Dan berbagai keluhan orangtua siswa lainnya, yang pada akhirnya, membuat pihak sekolah mengalah, uang bulanan siswa cukup dibayar separuh saja. Maka tentu saja, ini berdampak pula dengan honor yang Sabana terima.

“Jangan sedih. Ini memang musibah untuk kita semua. Tidak cuma kamu yang mengalaminya. Ini, sebagai penguji seberapa sabar dan tawakalnya kita,” kata sang ibu kala itu.

Sabana bersyukur dikirimkan seorang ibu yang selalu menenangkan hatinya. Dan ia tetap berharap, keadaan akan lekas kembali seperti sediakala.

***

Setelah semalam mendapat kabar dari rekan-rekan guru, bahwa tunjangan dari pemerintah sudah cair, pagi-pagi sekali Sabana berkemas-kemas. Ia akan pergi ke satu-satunya bank yang ditunjuk untuk mengurus pencairan dana tunjangan profesi guru di kotanya.

Semalam juga, bersama ibunya, ia sudah membuat daftar barang yang akan ia beli sepulang dari bank. Beras, gula jagung, susu untuk penderita diabetes, beras merah, buah-buahan dan sayur, juga beberapa lauk yang cukup untuk persediaan seminggu. Hati Sabana melambung tinggi, membayangkan ia akan kerepotan saat pulang nanti. Mungkin akan ada dua kantong plastik yang menggemuk, yang akan dibawanya dengan susah payah.

Sabana lekas mengambil dompetnya, memastikan ATM—yang nomor rekeningnya hanya terisi saat tunjangan cair—tersimpan di sana, kemudian pamit kepada sang ibu. Ia keluar dari rumahnya, lalu berjalan ke halte bus terdekat. Dari sana ia akan naik minibus selama sepuluh menit menuju bank. Sepanjang waktu menunggu minibus datang, senyum lebar di wajahnya tak pudar-pudar.

Minibus berhenti di depan pintu masuk bank, dan Sabana turun di sana. Ia mempercepat langkah menuju ruang penarikan uang, lalu mengantre sampai gilirannya tiba.

Saat antrean di depannya habis, Sabana lekas masuk dan berdiri di depan mesin ATM. Diambilnya kartu ATM satu-satunya dari dalam dompet, kemudian ia masukkan ke lubang mesin. Ia mengetik enam digit password-nya, dan menunggu dengan sabar. Tak sampai setengah menit, layar di depannya menunjukkan saldo rekeningnya saat ini.

Tidak ada penambahan jumlah saldo.

Sabana heran. Ia memutuskan kembali mengeluarkan kartu ATM, lalu mengulang urutan yang sama saat pertama mengecek saldo tadi. Ah, mungkin saja mesinnya eror dan setelah dicoba lagi, pasti hasilnya berbeda, begitu pikirnya.

Hasilnya tetap sama.

Sabana kembali mencoba. Namun, jumlah di layar mesin tak juga berubah. Dan lepas pada percobaan yang ketiga kalinya, ia menyerah. Kebingungan dan keputusasaannya terjawab setelah ia keluar dari ruang mesin ATM dan mengecek ponselnya. Rekan-rekan gurunya memberi kabar bahwa pemerintah memangkas kuota penerima tunjangan, karena dana sedang dialihkan untuk bidang kesehatan. Dan ia serta rekan-rekannya masuk di daftar penerima yang namanya terpangkas.

Pada akhirnya, sesuai arti namanya, Sabana harus berlapang dada menerima kenyataan. Bahwa catatan daftar belanja di tangannya tetap menjadi catatan belaka. Ia pulang tak membawa apa-apa, tak membawa sekantong rasa bangga.

***

Sabana menyimpan ponsel di saku gamis, lalu melangkahkan kakinya entah ke mana. Ia baru berhenti setelah menemukan taman kota yang cukup sepi. Setelah membeli sebotol air mineral pada satu-satunya penjual di sana, ia duduk di salah satu kursi taman. Diteguknya air mineral itu pelan-pelan, hingga ia melihat sebuah mobil polisi lewat di depannya. Di bagian belakang mobil polisi itu ada seorang laki-laki babak belur yang diborgol tangannya, diapit dua polisi di kanan-kiri.

Setelah mobil polisi itu menjauh, penjual yang jaraknya tak cukup jauh darinya itu berkata, “Jaman sekarang banyak yang jadi maling dadakan. Kemarin ibu-ibu bawa anak, sekarang anak muda yang baru kena PHK.”

“Bapak tahu dari mana kalau itu maling?” tanya Sabana.

“Tadi istri saya baru saja ngabarin, Neng. Suruh hati-hati, lagi banyak maling. Yang tadi lewat itu orang yang ketahuan nyuri di rumah orang kaya di daerah belakang taman.”

Sabana manggut-manggut.

Zaman sekarang. Yang niatnya baik-baik saja sulit dapat rezeki, apalagi yang jelas-jelas jelek begitu, kata hatinya. Lalu setelah termenung beberapa saat, ia mengeluarkan ponsel. Beberapa hari lalu, ia sudah menyimpan berbagai resep donat yang didapatnya dari internet. Ia sudah putuskan, sesampainya di rumah nanti, ia akan belanja bahan-bahan membuat donat dengan sisa tabungannya. Sepertinya, berjualan bisa jadi salah satu jalan. Jadi, kenapa tidak dicoba?

Sabana mengangguk yakin. (*)

Brebes, 22 Juli 2021

Evamuzy. Perempuan yang pernah bercita-cita jadi penyiar radio, tapi enggak kesampaian. Mungkin terlalu kalem, jadinya berjodohnya jadi guru aja. Eh, enggak nyambung, yak? Biarinlah.

Komentar Juri:

Pada akhirnya, sesuai arti namanya, Sabana harus berlapang dada menerima kenyataan. Bahwa catatan daftar belanja di tangannya, tetap menjadi catatan belaka. Ia pulang tak membawa apa-apa, tak membawa sekantung rasa bangga.

Pandemi COVID-19 telah menghantam kehidupan. Hampir semua sisi kehidupan manusia terdampak virus ini. Tak terkecuali Sabana, seorang guru honorer yang harus meremas semua rencana indahnya ketika kabar tak sedap itu menghampirinya.

Sabana adalah wakil betapa orang kemudian harus kreatif mengemas kehidupan ketika sesuatu yang buruk menyerang kehidupannya. Ini cerita seolah mewakili ada banyak Sabana di luar sana yang punya mimpi dan harapan, tetapi kandas karena hempasan takdir yang dihadapinya.

Jari lentik penulis sangat piawai melukiskan gambaran nyata dan dengan kisah sederhana seorangSabana. Sekali baca, saya turut mengembara menyaksikan betapa orang harus terus berusaha. Good job, Bu Guru!

-Susi Respati

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply