Pekerjaan Baru (Cermin Favorit LCL2)

Pekerjaan Baru (Cermin Favorit LCL2)

Pekerjaan Baru 

Oleh: Bunga Firdausy

Cermin Favorit LCL2

 

“Ayah, Yiki nanti kalau sudah besar mau jadi bos!”

Aku baru saja pulang kerja saat si kecil menyambutku dengan celotehan lucunya.

“Oh, ya? Wah, anak Ayah hebat sekali!” pujiku seraya mengusap kepalanya.

Ah, bukannya dua hari yang lalu dia bilang ingin menjadi astronot?

“Kenapa Rifki ingin jadi bos?” selidikku sambil mencubit gemas pipi gembulnya.

“Biar nanti Ayah kerjanya sama Yiki aja. Yiki jadi bosnya Ayah!” jawabnya, lalu berlari sambil terbahak-bahak.

Aku tertawa menyaksikan tingkahnya dan bergegas mengejar Boboiboy Api yang doyan susu coklat itu. Bisa kulihat istriku tersenyum kecil sebelum dia meninggalkan kami menuju dapur.

***

Hari-hari kulalui dengan rutinitas seperti biasanya. Kegiatanku hanya seputar pabrik, rumah, dan sesekali jalan-jalan ke tempat wisata. Namun, semua berubah sejak wabah menyebar. Hidup rasanya menjadi serba terbatas, baik kebebasan maupun pendapatan.

Sore ini aku pulang lebih awal. Dalam perjalanan menuju rumah, kusempatkan mampir ke ATM untuk memeriksa transferan gaji terakhir. Aku terkena PHK massal dalam rangka perampingan jumlah karyawan. Pesangon kabarnya akan ditransfer segera. Kuharap, uang itu cukup untuk modal memulai usaha atau sampai aku menemukan pekerjaan baru.

Tiba di rumah aku disambut pelukan hangat dari bocah empat tahun dan senyum manis wanita yang enam tahun membersamaiku. Entah bagaimana nasib keduanya nanti jika keadaan tidak kunjung pulih. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memberitahu Hana bahwa aku sudah berhenti bekerja. Untunglah, tidak ada pertanyaan darinya tentang kenapa di jam tiga ini aku sudah pulang. Mungkin dia menahan diri melihat wajah lelahku. Aku belum siap. Aku tidak ingin dia merasa cemas atau sedih.

“Sayang, ini gaji bulan ini.” Kuberikan semua uang yang kutarik tadi di ATM saat malam sudah larut dan Rifki sudah tidur.

Hana tersenyum, berterima kasih, lalu menghitung lembaran merah dengan teliti.

Ini sepertinya bukan waktu yang tepat, tetapi aku tidak bisa menahan diri lagi. “Emm, Sayang, ini gaji terakhirku. Apa yang kita khawatirkan benar-benar terjadi.”

Dia menoleh. Matanya kini menatapku. Diletakkannya uang yang belum selesai dihitung di meja, lalu mendekat dan memelukku.

“Tidak apa-apa, Sayang. Kita akan menghadapi ini bersama-sama,” ucapnya sambil mengusap punggungku.

***

Sejak itu, waktu banyak kuhabiskan di rumah. Aku mengirimkan beberapa lamaran pekerjaan, mencari ide untuk usaha mandiri, dan mengontak beberapa teman yang mungkin bisa membantu mencarikan lowongan. Aku juga jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan Rifki. Bisa kulihat dia senang sekali saat kami bermain bersama. Kurasa aku bisa sedikit lebih rileks menjalani masa pengangguran ini.

Semakin hari semakin banyak hal berarti yang baru sekarang kusadari. Aku sebenarnya malu mengakui bahwa aku telah melewatkan banyak hal. Semua jadi tidak seperti anggapanku sebelumnya.

Aku tidak pernah tahu bahwa Hana tidak pernah tidur siang. Dia tidak sekali pun pernah bercerita. Juga ada banyak sekali yang dikerjakannya sejak pagi hingga malam. Oh, ya ampun … wanita lemah lembut itu bahkan hampir setiap hari mencuci pakaian. Saat kutanya, katanya dia tidak ingin Gunung Semeru pindah ke rumah kami.

Belum lagi membersihkan rumah, memasak, belanja, merawat anak kami satu-satunya, semua dikerjakannya dengan telaten. Dia sudah bukan lagi Hana yang kukenal dulu, yang mudah merasa jijik dan tidak bisa membedakan antara merica dan ketumbar.

Begitu juga Rifki. Kupikir, aku sudah sangat mengenal jagoan cilik kesayanganku itu, tapi ternyata aku salah. Dia menyukai warna oranye, bukan merah seperti yang selama ini kusimpulkan. Aku juga lupa, ehm … tidak tahu sejak kapan dia bisa makan sendiri dengan menggunakan sendok tanpa berantakan. Bukan aku yang membuatkan bintang-bintang berkilau yang ditempel di langit-langit kamarnya, itu ibunya. Seharusnya itu aku, tapi bahkan aku baru menyadari keberadaan bintang-bintang itu saat menemani Rifki tidur dan lampu dimatikan.

Aku terlalu banyak melewatkan dan mengabaikan banyak hal. Istri dan anakku telah berubah jauh lebih banyak dari yang kukira. Aku tidak sempat mengamati semua itu. Aku seolah ditinggalkan oleh waktu.

Mungkin inilah cara Tuhan mengingatkan agar aku tidak terlalu banyak kehilangan nanti. Masa-masa berharga, saat orang-orang yang kucintai berproses menjadi diri mereka yang baru setiap hari. PHK ini membuatku lebih memahami bahwa di dalam rumah pun, banyak hal besar yang patut diapresiasi.

***

Aku menemani Rifki mewarnai di kamarnya. Tadi pagi sengaja kubelikan kertas manila untuk kugambari agar Rifki bisa lebih puas dan leluasa mewarnai. Tugasku sekarang hanya memegangi agar kertas itu tidak bergeser saat si seniman kecilku yang andal menggosokkan krayonnya. Aroma gurih tiba-tiba saja memenuhi ruangan. Hana datang dengan membawa semangkuk stik keju untuk diserbu olehku dan Rifki.

Dalam hitungan menit, camilan itu habis tak bersisa. Menyadari tidak ada sebutir pun sisa remahan di mangkuk, sebuah ide melintas di kepala. Ini bisa menjadi jalan keluar bagi kami. Karena pekerjaan tidak kunjung kudapatkan, mungkin aku dan Hana bisa membuat pekerjaan kami sendiri.

***

Kami sedang merancang rencana bisnis. Sebuah usaha rumahan yang melayani pembelian online. Kami akan memproduksi camilan dan memasarkannya di marketplace. Semua bisa dikerjakan dari rumah. Aku bisa menikmati setiap momen berharga bersama keluarga dan kebutuhan hidup tetap dapat terpenuhi. Aku bertekad akan mengusahakan yang terbaik.

“Ayah!” panggil Rifki sambil berjalan mendekat ke arahku dan Hana.

“Ya, Jagoan?”

“Ini gaji untuk Ayah! Yiki, kan, bosnya Ayah sekarang. Yiki senang Ayah di rumah terus sama Yiki, sama Ibu juga,” jelasnya tegas. Tangannya mengulurkan seplastik biskuit selai stroberi yang biasanya tidak seorang pun boleh meminta.

Haru. Aku menerima gaji pertamaku setelah dua bulan menganggur.

“Terima kasih, Bos. Ayah janji akan bekerja lebih rajin lagi,” janjiku sepenuh hati. “Sini, peluk Ayah!”

Aku memeluk penyemangat hidupku, menikmati masa berharga dalam hidup yang tidak akan pernah terulang lagi.(*)

Lamongan, 22 Juli 2021

 

Bunga Firdausy. Penulis kelahiran Probolinggo yang kini menetap bersama keluarga kecilnya di Lamongan. Menulis baginya adalah penyembuhan, penyegaran, dan ruang untuk berbagi serta mengabadikan diri. Mayoritas karyanya dapat dibaca di akun Facebook-nya, Bunga Firdausy.

 

Komentar Juri:

Interaksi setiap tokohnya terasa natural dan hangat karena memang penulis mengambil tema keluarga yang harmonis. Ditambah, memasukkan ide tentang cita-cita si anak yang kemudian menjadi penutup yang manis di akhir cerita, tentu menjadi nilai plus di naskah ini. Dari sini, kita bisa tahu jika PHK itu bukanlah akhir dari dunia, tergantung dari bagaimana kita menerimanya.

-Veronica Za

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply