Melati

Melati

Melati

Oleh: Ina Agustin


Menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah. Selain mentransfer ilmu, seorang guru juga harus bisa mendidik muridnya menjadi anak yang berperilaku baik, sopan sesuai harapan.

Dari ketiga puluh murid kelas 1 SD yang kudidik, ada satu murid yang menggelitik perhatian. Namanya Melati, ia seorang anak perempuan berparas cantik. Wajahnya yang oval, dagunya yang lancip, mata yang belo, dan alis yang tebal, sungguh enak dipandang. Namun, di balik kecantikan Melati, sikap maskulin sangat mendominasinya. Kulihat itu dari aktivitas sehari-harinya di sekolah. Ia lebih suka main dengan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ia juga membawa sekantong kelereng dan dimainkannya saat jam istirahat bersama anak laki-laki. Ia merasa enjoy saat bermain dengan mereka, tetapi jangan salah, saat ada yang mengganggu dan meledeknya, ia tidak akan tinggal diam. Siapa pun itu. Laki-laki maupun perempuan dipukulnya tanpa ampun.

Sama halnya sekarang, ia sedang berada di kelas bersamaku untuk kumintai keterangan atas perbuatannya memukul anak laki-laki hingga giginya berdarah. Kejadiannya tepat pada jam istirahat. Ia dan teman-temannya bermain di halaman belakang sekolah. Saat kutanya, ia hanya diam seribu bahasa hingga tukang ojek menjemputnya pulang.

Aku memintanya untuk menunggu sejenak. Segera  kusampaikan kepada kepala sekolah terkait duduk persoalannya. Beliau setuju untuk melayangkan surat panggilan orang tua dan kutitipkan kepada tukang ojek langganan Melati. 

Kutunggu kedua orang tua Melati keesokan harinya hingga bel pulang sekolah berbunyi. Namun, belum juga tampak  ayah dan ibu Melati. Aku tak tahu seperti apa wajah mereka karena saat awal tahun ajaran baru—tepatnya sosialisasi program sekolah, kedua orang tua Melati tidak datang. WA dan telepon dariku pun tidak pernah dibalasnya. 

“Ah, mungkin mereka tak ‘kan datang. Baiklah aku pulang saja! Mungkin baiknya aku datangi saja ke rumahnya,” gumamku sembari merapikan mejaku. Kututup pintu kelas dan menuju parkiran. Namun baru beberapa kaki melangkah, ada suara perempuan mengucap salam dan memanggilku.

“Bu Guru, maaf saya datang terlambat. Saya ibunya Melati,” ujar seorang perempuan dengan pakaian kerjanya.

“Oh iya enggak apa-apa. Silakan masuk, Bu!” Kubuka kembali pintu kelas.

Setelah kupersilakan duduk, kuceritakan kepadanya tentang perilaku Melati di sekolah selama ini. Sang ibu menunduk lalu menarik napas dan bercerita tentang rumah tangganya.

“Saya dan ayahnya Melati sudah bercerai tiga tahun lalu, mungkin karena itu Melati jadi kurang perhatian dan kasih sayang, ditambah lagi saya harus kerja keras untuk memenuhi kebutuhan saya dan anak-anak kami.” Ia terisak, matanya basah dan bibirnya bergetar. 

“Maafkan, saya buat Ibu sedih.” Aku jadi tak enak hati.

“Tidak apa-apa, Bu Guru, saya hanya ingin menyampaikan keadaan sebenarnya. Karena harus bekerja full time saya tidak bisa menghadiri program sosialisasi sekolah di awal tahun ajaran.” 

Aku mencoba memahami keadaannya jika memang seperti itu. Namun, entah kenapa hati ini penasaran, apa yang menjadi sebab perceraian mereka. Dengan ragu, kulontarkan pertanyaan itu kepadanya.

“Ma-maaf, kalau boleh tahu, kenapa Bapak dan Ibu bercerai?”

“Dia selingkuh dengan seorang dokter, atasan kami.”

Dari situ, mengalirlah ceritanya. Ia mengatakan bahwa dirinya dan ayah Melati bekerja di tempat yang sama yaitu di departemen kesehatan di Kota Serang. Awalnya, suaminya itu hanya seorang karyawan lepas di sebuah pabrik, lalu Bu Nia—sang istri—merekomendasikan kerja di kantor yang sama. Meskipun ia tidak punya jabatan tinggi, tetapi prestasi Bu Nia dalam bekerja patut diacungi jempol. Alhasil, suaminya diterima kerja dengan  divisi yang berbeda.

Seiring berjalannya waktu, suaminya dipercaya untuk naik jabatan dan sejak saat itu ia menjadi akrab dengan atasan, seorang janda muda bergelar dokter.

Tega sekali suaminya! Dasar tidak tahu terima kasih! Kok, ada, sih, lelaki begitu. Enggak tahu malu! geramku dalam hati. 

Karena waktu sudah sore, kami mengakhiri obrolan. Sebelum berpamitan, Bu Nia sekali lagi meminta maaf kepadaku atas kelakuan putrinya di sekolah. 

Fiks! Berarti ayahnya yang tidak punya hati! Ah, aku jadi benci lelaki seperti itu. Dan jujur, semakin membuatku takut menikah. 

***

Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Suara bel berbunyi, pertanda saatnya pulang. It’s time to go home” tiga kali berbunyi nyaring, membuat anak-anak gembira dan berhamburan keluar kelas.

Kali ini, aku tidak melihat tukang ojek langganan Melati. Ibunya pun tak memberi kabar. Sampai pukul lima sore tak juga muncul sosok yang biasa menjemput anak cantik itu. Nomor HP ibunya tidak aktif. Ada apa gerangan? Hatiku mulai gundah. Nomor HP ayahnya, aku tak punya.

Bagaimana ini? Sampai kapan aku menunggui dia seperti ini? Kalau kutinggalkan Melati di sekolah, aku takut terjadi apa-apa kepadanya. Meskipun ada satpam, tapi dia punya tugas sendiri. Sementara aku wali kelasnya yang lebih bertanggung jawab. Ah, ingin rasanya mengantarkan dia pulang, tetapi aku punya kewajiban lain di rumah, membantu ibuku membuat nasi uduk untuk dijual malam hari.

Dengan resah dan gelisah, aku melihat ke arah pintu gerbang. Lalu, sesosok lelaki berdasi biru bergaris-garis dan berkemeja putih datang mendekat.

“Saya mau jemput Melati, Bu,” ujarnya setengah ngos-ngosan.

“Maaf, Bapak ini siapanya Melati?” tanyaku memastikan dan menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.

“Saya ayahnya Melati. Saya baru saja pulang dari rumah sakit, habis dirawat langsung ke sini jemput Melati.” Ia menunjukkan luka bekas infus di tangan kanannya.

“Apakah benar Bapak ini ayahnya Melati?” selidikku.

“Benar, Bu. Saya ayahnya. Memang seharusnya ibunya Melati yang tanggung jawab atas antar jemput. Tapi tadi siang dia WA saya, katanya sibuk gak bisa jemput. Huh, dasar ibu macam apa itu! Udah dikasih kepercayaan oleh pengadilan buat ngasuh anak, malah disia-siakan!”

“Mungkin karena sibuk nyari nafkah, Pak.”

“Nyari nafkah apa! Saya rutin kirim uang untuk keperluan anak-anak. Kerjaan dia juga selesai jam dua sore, saya hafal betul karena kita bekerja di tempat yang sama. Ada-ada aja alasannya, paling juga sibuk pacaran sama selingkuhannya!”

“Apa? Pacaran?”

“Ya, Bu, dia itu selingkuh di belakang saya. Karena itulah saya menceraikannya! Dia menginjak harga diri saya sebagai seorang suami! Mentang-mentang berjasa karena sudah masukkin saya kerja, eh dia berbuat seenaknya.” Ia mendengkus, kesal.

“Tapi, bukannya Bapak yang lebih dulu menikah lagi?”

“Ya, betul, memang saya sudah menikah lagi setelah saya resmi bercerai dengannya. Saya sakit hati saat melihat dia bergandengan tangan dengan lelaki lain sampai nginep di hotel. Dan kabarnya minggu lalu rumahnya digrebek karena dia memasukkan laki-laki selingkuhannya itu. Makanya saya ingin mengambil hak asuh anak saya.”

Tak lama, kulihat seorang wanita bergamis, berkaca mata, dan berkerudung panjang sambil menenteng tas kecil di tangan kanannya, mendekat ke arah kami. 

“Gimana, Abi, Melati-nya ada?”

“Ada, Umi. Ini baru mau dipanggil,” jawabnya.

Assalamualaikum, Bu Guru.” Ia tersenyum kepadaku dan memperkenalkan dirinya sebagai istri dari Pak Arya, ayah Melati.

“Abiii! Umiii!” teriak Melati sembari berlari mendekati kami.(*)

Serang, 6 Juli 2021

Ina Agustin. Seorang perempuan biasa sedang belajar merangkai kata melalui susunan aksara. 

Editor:

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply