New Ways City
Oleh: Zee Anulika
Ruangan itu didominasi oleh hitam, membuat cahaya lampu yang terang nyaris sia-sia. Suara yang meminta agar aku berbaring di sofabed terdengar. Aku pun melangkah ke tengah ruangan dan membaringkan tubuh di tempat yang dipinta oleh suara itu.
Mataku memejam setelah perintah lain keluar. Sejenak hanya denting jam yang terdengar, lalu disusul oleh suara semprotan di udara. Saat itu aroma lembut yang menenangkan mulai menguar.
Dari tempatku berbaring, aku merasakan ada sesuatu yang menempel di punggungku, tepat pada lubang pengisi dayaku. Aku sempat ingin membuka mata, tetapi seperti ada lem yang merekatkan kelopak mataku.
“Jadi, K-231, apa keluhan Anda?” Pertanyaan itu berasal dari terapisku.
Ingatanku kembali sebulan yang lalu. Hari itu balok di tanganku tersisa satu dan namaku yang tertera di bawahnya mulai memudar. Dalam kondisi prima, balok di sana ada empat dan tulisan nama hitam pekat. Hal buruk akan terjadi jika balok yang menunjukkan daya tubuh itu habis.
“Selamat pagi Nona K-231. Anda melewatkan pengisian daya semalam. Saya sarankan Anda segera mendatangi Bank Daya.” Asisten pribadiku mengingatkan.
Kemarin, dia mengingatkan hal yang sama. Tapi, aku terlalu sibuk memantau jalur telekomunikasi di New Ways karena ada beberapa gangguan yang sepertinya diakibatkan oleh warga Old Days yang ingin membobol sistem.
“Saya akan menyiapkan pakaian Anda,” tutur asisten pribadiku lagi, Miya.
Aku sendiri di ruangan ini, tapi tidak pernah benar-benar sendiri. Pada sistem rumah ini ditanamkan perangkat khusus yang menghubungkanku dengan asisten pribadi. Segala kebutuhanku dilaksanakan oleh peranti lunak itu.
Empat ratus tahun yang lalu, dunia mengalami kemajuan yang signifikan. Gaya hidup berubah dan aku adalah salah satu yang beruntung karena bisa hidup di Kota New Ways. Kota metropolitan yang paling modern sepanjang peradaban bumi.
Aku mulai masuk ke ruangan di mana banyak sekali pakaian dan aksesori terpajang.
“R-3, B-21,” sebutku.
Tangan robot keluar dari dinding, menanggalkan pakaianku satu per satu. Sementara tangan lain mengambil baju dari rak yang kuminta. Kemeja putih dan jas hitam telah terpasang di tubuhku, lalu ditutup dengan rok pensil hitam. Seragam yang lazim digunakan oleh kelas dua orang kelas dua sepertiku.
“Arnan sudah menyiapkan mobil Anda, Nona.”
“Terima kasih, Miya,” ucapku, lalu berjalan. Sebelum keluar ruangan, aku merentangkan tangan dan tas tersampir di pundak. Dari bawah, lantai bergerak dan sepatu terpasang nyaman dan hangat di kakiku.
Sistem dalam rumah ini tidak hanya terhubung dengan tubuh, tapi juga pikiranku. Saat aku ingin keluar, maka pintu akan terbuka dengan sendirinya.
Lift yang kumasuki membawaku ke lantai paling bawah. Mobil abu-abu langsung melaju dan berhenti di depanku. Pintu penumpang terbuka, aku masuk ke dalamnya. Saat duduk, sabuk pengaman melilit di pundak dan pinggangku.
“Selamat pagi, Nona K-231,” sapa sopir pribadiku. “Sebelum ke kantor, saya akan membawa Anda ke Bank Daya.”
Mobil itu mulai melaju. Tidak seperti di masa lalu, mobil ini tidak dikendarai oleh manusia. Kecanggihan membuat segalanya mudah dan efisien. Tidak ada lagi kematian karena kecelakaan.
Warga New Ways adalah manusia abadi. Satu-satunya hal yang harus kami lakukan adalah mengisi daya. Selama memiliki daya, kami tidak membutuhkan makanan yang lebih sering menyebabkan penyakit. Tidak usia yang menua.
Seperti yang dilihat, lalu lintas sangat teratur. Mobil di New Ways tidak memiliki roda, tetapi melayang, sehingga jalanan seperti bertingkat-tingkat. Tidak jarang dari mobil itu tidak berpenumpang sama sekali, karena sedang melaju di gedung khusus untuk memarkirkan diri.
“Anda telah sampai, Nona.”
Pintu mobil terbuka bersamaan dengan sabuk pengamanku yang terbuka. Aku pun turun. Gedung tinggi menjulang di segala penjuru. Tidak ada suara selain derap sepatu yang bertemu dengan ubin. Semua orang berjalan lurus dan tubuh tegap, teratur meski tak saling menatap. Wajah mereka serupa dengan rambut lurus yang sama, termasuk aku juga tentunya. Sebelum memasuki kehidupan di New Ways, kami menjalani perawatan tubuh sedemikian rupa sehingga tidak ada yang membedakan kami secara fisik.
Kelas setiap warga dilihat dari pakaiannya. Semakin gelap, maka semakin tinggi derajatnya. Kelas lima adalah yang terendah, pakaian mereka abu muda. Naik tingkat warna setiap kelasnya.
Keabadian dan kenyamanan tidak datang tanpa konsekuensi. Ada dua aturan yang wajib dipatuhi oleh semua warga New Ways; tidak boleh berbicara satu sama lain dengan alasan apa pun dan tidak boleh ada ekspresi.
“Nona K-231, silakan menuju ruangan K2-PD20.” Pengumuman itu terdengar begitu aku masuk di Bank Daya.
Saat itulah semua dimulai. Seseorang dengan pakaian abu muda dipegang oleh dua lelaki bermantel abu gelap. Lelaki itu adalah petugas dari biro keamanan. Tawa dari perempuan yang dipegang itu menggema membuat pengunjung lain menutup telinga dan terus berjalan seakan-akan tidak terjadi apa pun.
Aku tetap terdiam di tempat, mendengar tawa yang asing. Mulut perempuan itu terbuka lebar dan nyaris menampakkan seluruh deretan giginya. Jantungku berdetak sangat kencang. Dari telapak tanganku muncul cahaya berkedip-kedip yang berarti dayaku semakin menipis.
Mataku bertemu dengan mata perempuan yang diseret oleh biro keamanan itu. Aku mundur sedikit, lalu berusaha menguasai diri sendiri. Aku menahan dorongan untuk ikut tertawa seperti perempuan tadi.
“Nona K-231, silakan menuju ruangan K2-PD20!”
Pengumuman itu terdengar lagi dan menyadarkanku untuk segera melanjutkan langkah. Aku harus cepat mengisi daya agar tidak berakhir seperti perempuan kelas lima tadi.
Jika daya habis, maka hormon yang menciptakan perasaan akan muncul. Daya pikir rasional akan hancur dan menyebabkan kegilaan. Selain dibedakan oleh warna pakaian, fasilitas yang didapatkan juga berbeda setiap kelas. Berada di kasta terbawah, kelas lima memiliki daya tubuh terendah dan pekerjaan yang lebih susah. Itu sebabnya, kadang mereka lupa mengisi daya dan berakhir kehabisan sebelum mengisi.
Saat warga New Ways mengalami kegilaan, mereka akan dibawa ke ruang penyiksaan. Kalau tidak berhasil, maka selanjutnya dibuang ke Old Days yang dikenal sebagai neraka dunia.
Ingatanku lalu beralih cepat dari hari ke hari selanjutnya; saat aku kadang berusaha untuk tersenyum dan tanganku terangkat untuk melambai pada orang yang kutemui di jalan. Menatap orang lain saja dosa, sedangkan aku berniat untuk menyapa. Pikiranku sudah kacau.
“Saya telah mendapatkan akar masalah Anda, K-231.” Suara terapis terdengar lagi, lalu mataku membuka.
Sambungan alat di punggungku terlepas. Aku lantas duduk begitu mendengar perintah dari terapis.
“Anda mengalami gangguan depresi akut karena trauma oleh perempuan gila di Bank Daya,” tutur sang terapis. “Saya akan memberikan resep obat. Selain itu, saya menyarankan agar setiap pagi Anda bermeditasi. Kosongkan pikiran sejenak, lalu bayangkan kehidupan orang-orang di Old Days.”
Aku mendengar secara saksama, lalu menggeleng-geleng. Aku tidak boleh gila dan berakhir didepak dari New Ways. Bayangan tentang kelaparan, keserakahan, dan ketidakadilan di Old Days menghantuiku.
“Datanglah lagi tiga hari ke depan. Kita akan melihat perkembangannya. Selamat jalan.” Itu kalimat penutup sesi terapiku.
Setelah mengambil pil yang disodorkan oleh tangan robot dari tembok, aku meninggalkan ruangan itu.(*)
Makassar, 5 Juni 2021
Karlina/Zee Anulika. Seorang gadis pecinta awan mendung yang bercita-cita mengelilingi dunia.
Editor: Inu Yana