Gadis Pencinta Bosscha

Gadis Pencinta Bosscha

Gadis Pencinta Bosscha

Oleh: Musyrifatun Darwanto

Editor: Inu Yana

 

Tempat ini telah menjadi favoritmu sejak puluhan tahun lalu. Pertama kali kamu datang ke sini saat rambutmu masih dikucir kuda.

Sudah sejak lama laki-laki yang kau panggil ayah bercerita tentang betapa menyenangkannya ketika bisa melihat bintang, planet, dan benda antariksa lainnya. Ia berjanji akan membawamu ke tempat di mana kamu bisa berkenalan dengan benda-benda menakjubkan itu, saat kamu berhasil meraih juara saat kenaikan kelas.

Ayahmu bilang, benda-benda itu bisa diajak bercerita, mereka mengerti isi hatimu, dan apa saja yang kamu inginkan. Maka, kamu semakin giat belajar setiap malam menjelang tidur, juga pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, dan ternyata usahamu tak sia-sia.

Kamu sangat bahagia saat pertama kali menyentuh teleskop terbesar di dunia itu, kemudian menempelkan sebelah matamu ke kaca di ujungnya. Matamu berbinar, bintang-bintang di atas sana riuh menyambut kedatanganmu. Mereka bersorak riang hingga cahayanya terlihat semakin berkilau. Sejak saat itu, tempat yang disebut banyak orang dengan nama Bosscha itu menjadi tempat yang paling kamu sukai.

Biasanya, sejak puluhan tahun lalu, kamu datang ke tempat itu ditemani ayahmu, beberapa kali kamu datang sendiri, tetap dengan senyuman riang, khas seorang gadis yang ceria. Namun, malam itu sangat berbeda, kamu datang sendiri dengan mata bengkak dan hidung memerah, kamu meraih teleskop raksasa yang ada di sana sambil menangis, lantas bercerita kepada benda-benda di antariksa sana, kamu bilang … ayahmu telah pergi.

Sepanjang malam itu kamu menangis di dekat jendela besar, seorang petugas mendekatimu dan mengatakan bahwa tempat itu akan ditutup karena jam kunjungan sudah habis, tetapi kamu tetap diam. Petugas menunggu hingga satu jam lagi, tetapi kamu tetap diam, ia akhirnya memutuskan untuk membiarkanmu tetap di dalam,  mungkin tak tega mengusir gadis yang sedang bersedih, toh ia juga telah mengenalmu sejak lama, sebagai pengunjung rutin tempat ini.

Beberapa bulan berikutnya, kamu datang bersama seorang pria. Dia merangkul pundakmu dan kamu sangat nyaman berada dalam pelukannya. Kamu bersemangat sekali menceritakan kepada pria itu betapa menakjubkannya benda-benda di antariksa yang bisa dilihat lewat teleskop raksasa di tempat itu.

Awal kedatangannya ke tempat ini, pria itu juga antusias sepertimu, ia suka melihat benda-benda antariksa di luar angkasa. Ia juga bersemangat mendengarkanmu bercerita. Kamu terlihat bahagia.

Pada kedatanganmu bersama pria itu yang entah ke berapa, kamu masih seperti biasanya, ceria dan bersemangat. Akan tetapi berbeda dengan pria di sebelahmu, wajahnya terlihat bosan. Kamu merangkul pria itu dan mengatakan rasa terima kasih karena telah setia menemani ke tempat yang menurutmu sangat indah itu. Pria itu tersenyum kaku, kemudian menghela napas dan matanya melihat ke arah pintu keluar.

“Rey, kamu tidak suka tempat ini?” tanyamu kepada pria itu.

Da tidak menjawab, lantas meraih tanganmu dan mengajakmu pergi dari tempat itu.

Sejak saat itu, kamu selalu datang sendiri. Wajahmu berbeda. Tak ada lagi keceriaan di sana. Senyummu juga hilang, seperti bunga mawar yang telah gugur kelopaknya. Badanmu semakin hari semakin kurus. Sering kali kamu ke tempat itu hanya untuk menangis sambil bercerita tentang kesedihanmu kepada benda-benda antariksa kesayanganmu itu. Mereka semua menghibur kesedihanmu dengan bernyanyi riang. Tapi itu tak cukup membuat hatimu ramai, kamu masih saja murung.

Seperti malam ini, sudah lebih dari dua jam kamu duduk di dekat jendela besar, sambil melihat pemandangan sekitar yang terlihat gelap dan sunyi, tak jauh berbeda dengan yang dirasakan hatimu saat ini.

Sunyinya malam membawa potongan kenangan masa lalumu berputar-putar di langit. Seperti ada seseorang yang meletakkan layar besar di sana. Kamu bisa melihat saat tubuh kecilmu terjatuh karena didorong teman seusiamu, lalu ayahmu datang dan menggendongmu sampai ke rumah. Ia mengobati luka di lututmu dengan sangat hati-hati, sebentar-sebentar tangannya berhenti membersihkan lukamu dengan kapas, saat kamu merintih karena perih.

Kamu juga bisa melihat saat ayahmu bekerja begitu keras, memikul puluhan karung gula dari sebuah mobil bak terbuka menuju gudang penyimpanan. Ia tak peduli meski kulitnya semakin legam dan tubuhnya letih tak terbilang. Hanya karena ia ingin membelikanmu sepeda seperti teman-temanmu yang lain.

Kini, semua itu tinggal kenangan. Kematian ayahmu bukan hanya telah mengambil raga laki-laki itu, tetapi juga merenggut kebahagiaanmu, dan mungkin juga lambat laun membabat habis kewarasanmu.(*)

Indragiri hilir, 06 Juli 2021

 

Musyrifatun. Seorang wanita pencinta hujan, biru, bunga, benang, dan pena.

 

 

Leave a Reply