Anjing dan Kucing yang Kaya

Anjing dan Kucing yang Kaya
Diah Estu Asih

Bunyi air mancur di depan rumah menjadi satu-satunya suara yang tertangkap telingaku selain dengung keheningan. Dengung panjang, tak berhenti, samar dan hanya terdengar ketika suara lain sama sekali hilang. Entah dari mana asalnya, tetapi hampir setiap malam aku mendengar bunyi itu. Awalnya menakutkan, kupikir itu adalah tanda bahwa mahluk dari dimensi lain akan menyambangi kehidupan manusia. Namun, lama kelamaan aku terbiasa, dan merasa suara itu seperti teman.

Sejak malam lalu, bunyi itu memiliki teman lain, air mancur di kolam depan rumah. Gemerciknya yang pelan dan menenangkan membuatku susah tidur. Aku senang mendengarnya begitu, tetapi bunyinya hanya terdengar menenangkan ketika sudah lewat pukul sebelas malam. Di bawah waktu itu, selalu ada gangguan. Bunyi motor di jalanan, suara teriakan orang rumah, juga anjing menggonggong dan kucing bertengkar.

Rumah ini tidak lagi serupa rumah. Rumah ini mirip rumah sakit jiwa. Semua orang di rumah ini boleh berteriak sesuka hati. Bahkan, jika salah satu tidak berteriak, maka satunya akan meneriaki agar yang lain juga berteriak. Tidak, mereka bukan gila. Mereka waras. Teriakan mereka adalah pertengkaran yang waras. Soal uang, warisan, hak, dan tugas. Tidak hanya itu, tetapi yang paling sering adalah uang, warisan, hak, dan tugas.

Aku tahu uang adalah benda untuk membeli sesuatu. Warisan adalah jatah harta dari orang tua. Hak adalah milik semua orang. Tugas adalah kewajiban semua orang. Aku tahu, di awal mula aku memang tahu. Tak ada yang menarik soal uang, warisan, hak, dan tugas. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin lama aku mendengar pembahasan keempat hal itu dengan suara keras, aku ragu bahwa aku sudah tahu.

Rumah ini begitu besar dan mewah. Orang menyebutnya rumah orang kaya. Rumah orang yang dihormati karena kekayaannya. Kebun sawit, kebun karet, sawah, kebun sayuran, dan banyak kebun lain adalah milik rumah ini. Rumah ini adalah milik anjing dan kucing di rumah ini. Anjing dan kucing itu berkali-kali coba dibunuh, diracun, tetapi nyawanya ada sembilan. Bahkan, kukira lebih banyak dari itu karena banyaknya percobaan pembunuhan yang dilakukan, semuanya gagal total. Maka seharusnya orang-orang itu tidak menyebutkan bahwa ini rumah orang kaya, tetapi ini rumah anjing dan kucing yang kaya.

Namun, anjing atau kucing tidak peduli soal uang, warisan, hak, atau tugas. Mereka hanya peduli pada daging ayam atau daging merah. Bahkan, anjing dan kucing juga tidak peduli jika daging-daging yang mereka makan sudah dilumuri dengan racun. Mereka suka tidur pukul dua belas siang sampai tiga sore. Kadang, orang di rumah ini berencana menancapkan pisau di perutnya. Hewan itu juga tidak peduli, mereka tetap tidur dengan santai. Tidak berpindah tempat, bahkan tidak merasa cemas. Namun, entah apa yang terjadi, rencana itu selalu gagal sehingga anjing yang sering menggonggong di depan rumah dan kucing yang sering bertengkar masih hidup sampai sekarang.

Tidak ada yang tahu, mereka tidak mau mencari tahu karena mereka ingin jalan paling praktis dan mendapatkan bagian paling banyak dengan cara memindahkan nama ahli waris. Aku juga tidak ingin tahu karena warisan tidak penting. Sebetulnya bukankah ini mudah? Menurutku, paling tidak sangat mudah. Robek saja kertas warisan itu dan bagi merata pada semua anggota keluarga. Namun, karena semuanya ingin dapat bagian terbanyak, solusi itu tidak berguna.

Sehingga di suatu siang yang terik, setelah sawit selesai dipanen dan para buruh duduk di dekat tumpukannya, lalu karungan gabah sedang dimasukkan ke gudang, semua orang rumah menyepakati bersama-sama, yang berhak menentukan bagian warisan adalah yang berhasil membunuh anjing dan kucing itu.

Apakah sejak itu selesai? Tentu, tidak. Anjing dan kucing masih berlari-larian, sehat, tidak menunjukkan tanda-tanda penuaan atau penyakitan. Pemilik rumah ini dahulu, nenekku yang menyeramkan, selalu menjaganya dengan baik. Dahulu pun semua orang di rumah ini baik sekali pada anjing dan kucing itu. Begitu nenek meninggal dunia, semuanya berubah. Rumah tak pernah sepi kecuali malam hari begini.

Semakin hari keramaian rumah ini semakin tak terkendali. Seperti kubilang, jika satu diam, maka satunya akan berteriak. Paling tidak jika sudah membahas soal empat hal itu, mereka akan teriak.

Satu orang merasa berhak mengatur, orang lain merasa harus mendapat tugas yang tidak berat sebelah. Hanya cuci piring pun, menjadi perdebatan siapa yang harus melaksanakannya. Bukankah itu hal mudah? Bayar saja pembantu. Pekerjaan rumah selesai, hak untuk bersantai pun diperoleh semua orang.

Aku bosan dan merasa tak paham dengan cara kerja pikiran orang-orang itu. Aku jadi ragu akan kepahaman soal uang, warisan, hak, dan tugas. Kupikir semua itu sederhana. Aku tidak mau memikirkannya susah payah karena aku tidak butuh semuanya. Yang aku butuhkan adalah ketenangan rumah ini, seperti dahulu ketika nenekku yang menyeramkan masih hidup.

***

Bunyi gemercik air mancur di kolam yang baru terpasang beberapa hari lalu—tentunya setelah berdebatan panjang—tiba-tiba berhenti. Suasana kembali hening, menandakan waktu belum pagi. Dari luar kamar kudengar langkah kaki dan napas khas milik anjing. Dia tidak sendirian, saat tiba di kamarku, ada kucing di sampingnya.

Dengan kakinya dia meloncat naik. Badanku diendus-endus, dijilat dan didorong dengan kepalanya. Seperti ada yang ingin dia sampaikan, tetapi aku tak paham bahasa anjing atau kucing. Aku paham bahasa manusia karena nenekku yang menyeramkan adalah manusia. Puluhan tahun hidup bersamanya, aku menjadi paham. Dia tidak mengajariku, tetapi aku menjadi paham begitu saja.

Anjing itu terus mengendus badanku yang kumal. Kucing hitamnya, yang badannya kurus karena keseringan bertengkar dengan kucing lain, merebahkan diri di kaki kiriku. Kurasa kucing itu ingin tidur. Dia menggeliat beberapa kali, lalu memejamkan mata.

Suara anjing berubah menjadi ‘ngik-ngik’ tanpa berhenti mengelus badanku yang berbulu. Dia mengendus hidungku yang moncong, sebuah benda warna hitam yang dulu menyatu denganku sudah lama lepas. Pun, mataku sebelah juga copot. Dia seperti putus asa setelah beberapa waktu melakukan hal itu—mengendus, menjilat, dan mendorongku dengan kepalanya—lalu kini dia merebahkan diri di dekat kucing. Napasnya tidak lagi ‘ngik-ngik’, tetapi sangat tenang.

Aku tidak bernyawa. Namun, lamanya waktu hidup dengan nenekku yang menyeramkan, aku jadi mulai bisa memahami tingkah laku beberapa orang dan hewan. Aku pernah melihat nenekku meninggal dunia di sampingku. Awalnya napasnya sesak, nenekku kesulitan bernapas, tak lama dia tidur lama dan keesokan harinya semua orang mengangkat jenazahnya. Kini aku merasa bahwa anjing dan kucing itu juga akan mati. Namun, aku tidak tahu, sebab aku tidak bernyawa. Aku hanya bisa melihatnya besok, apakah anjing dan kucing ini mati atau tetap hidup.

***

Aku adalah boneka.

 

Biodata: Diah Estu Asih perempuan yang biasa disapa Diah, tetapi sangat suka dengan panggilan Di, saat ini sedang menekuni pelajaran membaca dan menulis.

 

Editor: Erlyna

 

Leave a Reply