Zainudin
Diah Estu Asih
Sudah lebih dari lima bulan saat warga datang ke rumahku dan mengabarkan bahwa Zainudin—suamiku—telah menghilang di sungai. Tubuhnya tak ditemukan meski pencarian selama tiga hari sudah dilakukan. Menjadi sebuah misteri yang sampai sekarang tak terpecahkan. Sekali waktu pembicaraan soal hilangnya nelayan secara misterius, yang tak lain dan tak bukan adalah suamiku, masih terdengar.
Selama lima bulan aku hidup di rumah papan ini sendirian. Berdagang sayuran ke pasar setiap pagi, lalu pulang sekitar pukul sepuluh dan melanjutkan ke kebun peninggalannya, merawat beberapa jenis sayuran. Dahulu, dia tidak pernah membiarkan aku menyentuh satu butir pasir pun di kebun. Semua hasil panen dipetik subuh hari dan pulang dari melaut dia mengantarnya ke penjual di pasar.
Seperti tak ada jeda untuknya istirahat. Jika bukan waktu panen, maka dia mencabuti rumput. Jika sudah bersih sampai tak ada satu pun rumput, saatnya dia memotong ranting sayuran yang menghambat pertumbuhan, menyemprotnya untuk meminimalisir hama tanaman. Dia bekerja sepanjang hari dan hanya berhenti untuk tidur. Seberapa pun uang yang diperoleh jatuh ke tanganku.
Setiap pagi sebelum berangkat mencari ikan, aku membekalinya makan siang. Setiap hari dia tersenyum, tetapi ketika menerima bekal dariku, senyumnya berkali-kali lipat lebih bahagia. Aku tak mengerti mengapa ada orang sebaik Zainudin itu.
Tiga tahun pernikahan kami tidak diberi anak. Di beberapa kesempatan dia bermain dengan anak tetangga. Aku tak begitu peduli, apakah dia ingin sekali punya anak atau tidak. Dia tidak pernah menuntut, bahkan tidak pernah membahas soal anak.
Pernikahan atas dasar perjodohan, aku tak bisa berharap banyak. Tiga tahun rasanya sama saja. Kami bicara seadanya dan seperlunya.
Semuanya berawal dari ibuku yang sekarat, karena merasa harus mencarikan lelaki yang pantas untukku dan dia mengenal baik seorang pemuda di daerah pelosok, lalu kami dinikahkan. Tak ada resepsi seperti impianku dahulu. Hanya ijab di depan Ibu yang sakit parah, bangun pun sudah tidak bisa. Bahkan, seolah-olah hidupnya hanya untuk melihat aku dipersunting lelaki. Usai semua mengatakan sah, senyumnya susah payah timbul dibarengi dengan napasnya yang memberat. Dia meninggal dunia, meninggalkan aroma wangi dari arah pintu. Bibirnya tersenyum, sehingga banyak orang percaya dia khusnul khatimah.
Suatu waktu memang Ibu sempat bercerita soal pemuda rajin dan gesit di desa pelosok. Orangtuanya sudah tak ada. Ibu kenal saat membeli sekarung terong dan seratus kilo kacang sayur dari pemuda itu. Dia tidak menyebut namanya, hanya menceritakan banyak hal baik tentang pemuda itu. Aku pun tak tahu apakah itu Zainudin atau lelaki lain, tetapi aku hampir yakin seratus persen dialah Zainudin.
Di awal Zainudin datang, duduk di sebelah kasur Ibu yang saat itu sudah tidak mampu duduk, dia lebih banyak tersenyum dan mendengarkan. Bahkan ketika Ibu meminta dia menikahi aku, dia hanya mengangguk. Lalu esoknya kami menikah. Proses yang sangat cepat itu membawaku pada tudingan bahwa sudah hamil di luar nikah, dan semua orang tidak menyangka aku berbuat sedemikian memalukan padahal ibuku adalah orang baik. Nyatanya sampai berbulan-bulan kemudian, aku tidak juga hamil. Keadaan yang diam-diam aku syukuri karena tidak ingin memiliki keturunan dengan Zainudin.
Aku tidak mencintainya. Hari-hari kuhabiskan memasak dan bersih-bersih, setelah selesai aku diam di kamar. Tiga tahun kami habiskan dengan cara serupa.
Sampai lima bulan lalu warga yang baru pulang dari sungai langsung menuju rumahku. Mereka tidak membawa hasil apa pun, hanya semua tubuhnya basah dan bau. Suamiku telang hilang entah ke mana, itu yang mereka sampaikan. Aku masih tidak percaya, bagaimana mungkin menghilang entah ke mana sementara yang lain tidak? Namun, sampai keesokan harinya, sampai tiga hari kemudian, dia betul-betul tidak kembali.
Keadaan yang membuat aku menyadari banyak hal, bahwa meski kami jarang bicara, tetapi keberadaannya di rumah ini sangat penting. Ketika dia tidak lagi terdengar bangun di subuh hari, rasanya jadi aneh. Rumput liar tumbuh di antara pohon sayuran. Rantingnya tak terurus, dan banyak ulat serta hama lain menyerang.
Suatu sore aku termenung sendirian di pintu belakang, memandang kebun yang tak terurus karena tuannya hilang, kemudian berpikir, kenapa tidak aku urus sendiri saja? Jadi keesokan harinya aku mulai sibuk dengan kebun. Membawa gunting, arit dan penyemprot. Kadang kala, harapan bahwa Zainudin pulang dan melihat kebunnya masih bagus, dia akan bahagia sekali. Namun, sebulan kemudian dia masih tidak pulang.
Lalu suatu waktu juga, aku berpikir untuk menggunakan sepeda motornya dan menjual sendiri hasil panen ke pasar. Esok hari saat Zainudin pulang, dia tidak perlu lagi menjual hasil panen ke penjual di pasar, tetapi aku sendiri yang akan menjualnya di pasar. Namun, dua bulan berlalu dan Zainudin masih tidak kembali. Aku mulai yakin dia betul-betul hilang, sehingga lima bulan sejak kabarnya hilang, hanya pada malam hari saja aku ingat soal Zainudin.
“Aku bertemu bapakmu.”
Ucapannya sore lalu terdengar. Setelah dia kembali dalam keadaan pucat pasi dan menggigil, membuatku terkejut bukan main, mengira dialah hantu Zainudin karena matinya tidak tenang, lalu dia menambah keterkejutanku dengan mengatakan hal itu.
Bapakku? Lelaki itu entah ke mana. Ketika aku lahir dia sudah tidak ada. Ibu cuma bilang, lupakan soal Bapak. Aku tidak punya Bapak. Aku anak Ibu, bukan anak lelaki mana pun.
“Dia bilang kamu akan hamil,” tambahnya dengan suara serak dan bergetar. “Dan Bapak bilang, itu bukan anak siapa-siapa. Itu anakmu.”
“Apa maksudnya?”
“Ibu, kamu, dapat nasib serupa. Bapak meninggalkan Ibu setelah tau dia hamil, tapi bukan anak Bapak. Bapak kira Ibu selingkuh.”
“Lalu?”
“Bapak pergi, dan dia sampai di mana aku kemarin juga sampai sana. Jauh sekali, Nun, sampai aku butuh berbulan-bulan untuk sampai di sini lagi.”
“Bapak masih hidup?”
“Masih hidup, tapi jauh sekali. Bapak menyesal dan titip salam buat kamu. Dia tidak bisa ke sini dan kamu tidak bisa ke sana. Bapak cuma berpesan agar aku percaya kalau itu memang anakmu seorang. Bukan anak orang lain lagi.”
“Aku tidak hamil.”
“Kamu akan hamil.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya lima bulan ini. Dia belum bercerita hal lain selain itu. Kini, aku cuma diliputi pikiran bahwa Zainudin ketempelan hantu sungai, disembunyikan selama lima bulan, dan dia mulai stres.
***
Perutku terasa bergerak aneh, mengganjal dan membuatku langsung membuka mata kaget. Sakit! Saat kuraba, ada benjolan aneh. Aku sontak berteriak keras.
“Nun?”
Gerakannya berhenti, dan sakitnya pun hilang. Namun, benjolan itu tetap di sana. Bukan benjolan, seperti ada seorang bayi di dalamnya. Napasku memendek lagi. Ya Tuhan!
***
Biodata: Diah Estu Asih adalah gadis yang sedang mempelajari cara menulis dan membaca dengan baik. Mahasiswa jurusan Fisika FMIPA di UNS ini mulai mendalami bidang Sastra sejak 2017 lalu.
Editor: Erlyna