Sekeping Batu yang Merindu

Sekeping Batu yang Merindu
Oleh : Tirza Inzaaliza

 

Hari itu, matahari turun hingga mencapai ubun-ubun milyaran manusia di sebuah padang luas. Wajah mereka cemas menanti keputusan dari Tuhan semesta alam. Sebagian lagi, cerah semringah wajahnya. Buah dari ketaatan dan kebaikan yang telah mereka semai selama hidup di dunia.

Saat itu, mulut-mulut mereka terkunci. Sebagai ganti, anggota tubuh dan benda-benda mati mulai bersuara. Masing-masing bersaksi tanpa ada yang ditutupi. Bebas. Tanpa ada dusta sedikit pun.

Sekeping batu dihampiri sesosok makhluk yang tubuhnya dilingkupi oleh cahaya. Batu itu menangis tersedu sebab rindu teramat sangat pada pemilik telapak yang dulu menggenggam dengan semangat yang bergelora dan mulut yang tak berhenti meneriakkan asma-Nya.

“Aku dahulu adalah bagian dari sebuah bukit di tanah suci Palestina. Bukit Thursina namanya.”

Makhluk berselimut cahaya itu tetap diam menunggu kalimat yang akan diucapkan sekeping batu tadi.

“Lalu aku terbelah dan akhirnya terdampar di kota Gaza ini. Akulah saksi bagaimana para penjajah bernama zionis itu mulai masuk ke kota Palestina. Bagaimana mereka dengan arogannya mengklaim tanah suci itu sebagai tanah mereka,” katanya berapi-api.

Setelah diam beberapa jenak, batu tadi kembali melanjutkan.

“Lalu seorang pemuda memungutku. Saat itu pecah intifadah pertama di sana. Pemuda itu, aku ingat aroma anyir dan hangat dari telapak tangan pemuda yang menggenggamku erat. Denyut nadinya berdetak cepat seiring dengan aliran darahnya yang terasa hangat dan basah menutupi permukaanku. Aku bisa merasakan ia berlari. Menyongsong bunyi peluru yang dilontarkan oleh tentara laknatullah itu. Lantang kudengar takbirnya sebelum tubuhku terlontar dan melukai pelipis sebelah kanan tentara itu.”

“Ya, nama pemuda itu adalah Muhammad Shafiq. Ia gugur sebagai syuhada tak lama setelah melempar tentara Israel tadi dengan batu.”

Batu itu menangis terharu. Rasa bangga merebak karena ia terpilih sebagai batu mulia yang menemani perjuangan para syuhada.

“Ada lagi!” sentaknya.

Batu itu terkekeh sebelum kembali melanjutkan ceritanya. “Entah bagaimana, aku akhirnya tergeletak di sebuah bangunan di kota Ramallah Palestina. Banyak anak-anak di sana dan pemuda yang menghadang barikade tentara Israel. Tangan kecil itu memungutku lalu berseru lantang meneriakkan takbir menyerang tentara zionis. Harusnya kau lihat wajah para pengecut di balik senjata canggih yang mereka genggam.”

Batu itu melirik makhluk bercahaya yang gagah dan penuh wibawa. Ia tahu, andai tidak diceritakan pun, makhluk itu pasti mengetahui apa yang akan ia sampaikan. Namun, batu kecil tadi bersikeras ingin mengisahkan orang-orang yang ia rindu dan banggakan. Ia tidak lupa pada yel-yel yang diteriakkan bocah-bocah dan pemuda di kota Ramallah, tanpa takut di depan pagar betis tentara Israel. Terbukti dari kukuhnya cengkeraman jemari mungil yang menutupi tubuhnya. Tidak ada gentar dan jari yang bergetar karena takut. Batu itu terbakar semangat sang pemuda kecil. Ia berdoa semoga kekuatan angin bisa menambah kekuatan lontaran dan sanggup melukai tentara zionis. Jika boleh meminta, ia ingin berubah jadi batu yang panasnya seperti dari dasar neraka seperti batu yang dibawa burung ababil untuk melumpuhkan pasukan gajah Raja Abrahah.

“Bocah itu bernama Marwan Hisham,” sahut makhluk bercahaya dengan suara lembut.

“Apakah dia syahid saat itu juga?” tanyanya penasaran.

Makhluk di depannya menggeleng. “Ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara Israel. Seminggu kemudian, Marwan syahid dengan luka disekujur tubuh dan patah tulang di pergelangan tangannya.”

Batu kecil itu memekik. Ia makin tersedu membayangkan siksaan yang harus diterima oleh tubuh sekecil itu.

“Semoga Allah menghinakan mereka,” geramnya sambil berdoa.

Makhluk bercahaya tadi menepuk kerikil kecil dan mengarahkan telunjuk pada dua sosok di sebelah timur.

“Pergilah, dua pemuda ahli surga itu rindu kerikil kecil yang mengantarkan mereka menjadi syuhada.”

Di sana, di antara milyaran manusia yang tengah menanti hisab, batu itu melihat dua sosok pemuda dengan wajah bercahaya. Mereka tersenyum dengan damai. Kemerdekaan hakiki telah mereka dapatkan. Jauh lebih indah dan abadi dari apa yang mereka perjuangkan ketika hidup di dunia. Janji Tuhan yang mereka pegang teguh sehingga kematian sebagai syuhada jauh lebih indah di mata mereka daripada hidup penuh kenyamanan sebagai pengecut.


Balikpapan, 31 Mei 2021

Leave a Reply