Ketika Rindu Hadir
Lusiana
Lagu dari Justin Bieber feat Dan and Shay terdengar dari speaker bluethooth milikku. Pekerjaan yang menjadi bagianku telah selesai, sedang jam pulang masih kurang satu jam. Aku meregangkan tubuh, berdiri lalu berjalan menuju pantri. Sepertinya secangkir cokelat akan terasa nikmat, apalagi di luar hujan deras mengguyur.
“Eh, ada kak Hayu, mau bikin cokelat panas?” Rinda OB yang sudah setahun bekerja di sini menyapa sembari menyiapkan gelas, mengambil stoples Ovaltine juga Nutella yang diletakkan di lemari persediaan. Dia tahu betul minuman kesukaanku. Bahkan tanpa aku meminta tolong dia sudah membuatkan. Selang beberapa menit, Ovaltine dengan campuran Nutella telah siap. Uap panasnya mengepul, bau harum cokelat bercampur kacang terasa wangi.
“Makasih, ya, Rin,” ucapku sembari keluar pantri seraya memegang mug bergambar kucing gendut milikku. Hujan benar-benar turun dengan deras. Bahkan gedung-gedung yang biasanya menjulang sekarang terlihat samar-samar. Aku berdiri di depan jendela sembari menyeruput minumanku perlahan. Entah kenapa tiba-tiba saja angan ini melayang kepadanya yang baru saja jadi kekasihku beberapa hari lalu.
Sudah dua hari ini tak ada kabar berita darinya sama sekali. Bahkan akun sosial medianya sepi. Tak ada posting-an miliknya. Bertahan untuk tidak menyapanya lewat WhatsApp ternyata sulit, tetapi sungguh aku berusaha untuk tidak mengganggu. Aku tak curiga sama sekali, hanya saja gemas. Bagaimana bisa dia menghilang sampai dua hari ini tanpa kabar berita? Bahkan tak inginkah dia mengetahui bagaimana aku melalui hariku dua hari ini? Bodohnya aku bahkan menantikan kabar darinya. Menyebalkan.
Harusnya dia yang mencariku, menanyakan kabar, atau menjemput untuk pulang bersama. Karena dia yang menyatakan jatuh cinta kepadaku. Bahkan dia mencari informasi tentangku lewat Hana, sahabatku. Kenapa sekarang aku yang menunggu kabar darinya? Entah mengapa aku kesal. Apa aku sudah mulai merindukan dia? Tidak! Tidak mungkin. Bahkan ini baru dua hari.
Aku berjalan ke arah mejaku, meletakkan cangkir lalu duduk. Lagu BTS “Make It Right” mengalun. Kubuka akun sosial media yang berwarna biru. Favoritku. Mengetikkan nama akunmu, Daniswara. Statusmu masih sama. Status terakhir dua hari yang lalu. Entah mengapa rasa kesal memenuhi dada. Sedikit kubanting mouse sebagai luapan rasa kesalku.
“Rusak, beli sendiri,” kata Dea terkikik. Aku memonyongkan bibir tanda kesal. Dia teman kerja yang duduknya tepat di sebelahku. Sudah setahun ini kami duduk bersebelahan. Beberapa kali saling bantu menyelesaikan pekerjaan.
“Kenape, Non kayanya lagi kesel?”
“Danis ga ada kabar, udah dua hari,” ujarku mencoba mengurangi rasa kesal.
“Cie cie cie, yang baru jadian lagi kesel karena ga ada kabar. Jadi sekarang kamu kangen, nih, sama Danis?” Pertanyaan Dea cukup menohok. Aku gelagapan menjawab. Sedang dia tergelak melihatku.
“Wajaaarrr, namanya juga baru jadian. Maunya diperhatiin, maunya ditanyain, maunya disayang sayang. Wajar itu mah, ga usah salting sama aku. Dulu aku juga gitu.” Dea tergelak.
Sungguh, rasanya ingin mendorong sahabatku ingin sampai terjungkal. Sayangnya dia sedang hamil besar, jadi tak mungkin kulakukan.
“Andai kamu ga hamil, udah kujorokin, loh.”
“Idih yang kangen jadi sadis.” Dea masih menggoda. Aku memilih menghabiskan minumanku daripada menanggapi godaannya. Apalagi sekarang sudah jam pulang.
“Non, aku pulang, ya. Kakandaku sudah menunggu soalnya,” Dea beranjak sembari melambaikan tangan.
Aku membalas lambaian tangannya, lalu membereskan meja, dan bersiap pulang. Tiba-tiba saja smartphone milikku berdering. Nama Dea gembul tertera di layar. Kenapa ini orang, baru juga pamitan, udah nelepon aja.
“Kenapa baginda ratu?” Sapaku tak merasa penasaran sama sekali.
“Kamu sudah selesai? Cepetan turun, ada yang nyariin. Cepeett!” Tanpa menunggu jawaban, Dea menutup panggilannya yang membuatku terbengong. Segera aku tersadar, lalu buru-buru turun. Ada apa? Kenapa Dea? Apa dia butuh teman? Sepertinya tadi dia bilang sudah dijemput. Aku sedikit berlari takutnya Dea terburu-buru. Bahkan aku melupakan lift dan memilih lewat tangga darurat karena lebih dekat dengan pintu kantorku.
Sampai di lantai satu rasanya dadaku seperti akan meledak. Napas tinggal satu dua. Sesak. Kuedarkan pandangan mencari sosok ibu hamil. Owh, dia ada di dekat pintu keluar. Kupaksakan lagi kakiku untuk berlari. Dea melihatku sepertinya. Buktinya dia tersenyum lebar sembari melambai dengan bersemangat.
“Apa?” Hanya itu kata yang sanggup kuucap tatkala sudah ada di hadapan ibu hamil yang merepotkan ini. Mencoba mengatur napas. Dea menunjuk sosok yang berdiri tak jauh di sebelahnya. Aku menoleh. Kacamataku sedikit kabur karena napasku, tapi aku cukup mengenali siapa sosok itu. Danis.
Ya, dia Danis. Sedang tersenyum lebar ke arahku. Napasku masih susah sekali diatur. Keringat bahkan berleleran dari kening.
“Kamu lagi latihan lari?” tanya pria yang baru beberapa hari ini jadi kekasihku. Aku bahkan tak sanggup menjawab candaannya karena sibuk mengatur napas.
“Kenapa kamu ga pake lift, sih, Non?” bisik Dea.
“Ga kepikir, kirain kamu butuh sesuatu, makanya aku buru-buru,” Aku mengucap kalimat itu dengan susah payah.
“Ya udah aku pulang, ya, Non. Kasihan kakanda rela menungguku. Hujan juga sudah mulai reda. Daaaa…” Dea melambaikan tangan untuk kali kedua, kemudian berjalan bergandengan tangan dengan sang suami lalu berjalan menuju tempat parkir setelah sebelumnya berpamitan dengan Danis. Aku? Aku masih sibuk dengan napasku. Berlari dari lantai empat ke lantai satu itu sungguh menguras tenaga. Apalagi akhir-akhir ini aku jarang joging karena pekerjaan yang menumpuk membuatku kesulitan bangun pagi karena lelah.
“Maaf, aku sibuk dua hari ini. Untuk menebusnya aku bawa ini buat kamu.” Danis mengacungkan kresek putih. Bau harum martabak bangka tercium hidungku. Aku tersenyum. Napasku mulai teratur.
“Bagaimana dua hari tanpaku? Apa kamu merindukanku?” Danis menatapku sembari bertanya.
“Idih, kagak, ya. Sapa yang kangen?” Aku mengelak.
“Pura-pura. Padahal nyariin.”
“Kata siapa?”
“Dea.” Danis menjawab sembari tersenyum. Hais dasar bumil ember, awas aja besok, rutukku kesal. Aku diam.
“Pulang, yuk,” ajak pria di sampingku sembari menggandeng tangan. Kami berjalan bersisian dalam rintik gerimis. Entah kenapa rasanya tak ingin segera sampai di tempat parkir.
“Kau tahu, aku juga rindu. Bahkan rasanya dada ini terasa sesak karena merindukanmu, kau tahu? Aku menunggu kamu menghubungiku, tapi sepertinya kamu bisa menahan diri agar tidak menghubungiku lebih dulu. Bagaimana rasanya merinduku?” Dia mengedipkan matanya, menggodaku. Sungguh kedipan mata juga lesung pipi ketika dia tersenyum rasanya membuat jantungku berhenti berdetak. Seperti inikah rasanya kangen? Ketika bertemu ternyata terasa indahnya.
Tamat.
Wanhua , 14042020
Bionarasi:
Lusiana. Seorang wanita yang sedang berjuang mengalahkan rasa lelah yang bahkan seperti tak berujung.
Editor: Erlyna.