Gaun Pengantin

Gaun Pengantin

Gaun Pengantin
Oleh : Widi Lestari


Lima tahun lalu, tepat di bulan Desember aku pernah mendambakan gaun pengantin berbahan brokat dengan payet-payet cantik. Bukan hanya mendambakan, bahkan aku pernah mencobanya serta menyentuh permukaan gaun yang sampai sekarang sulit dilupakan.

Kini aku menatap jalanan padat kendaraan di depan, mobil-mobil pribadi mendominasi, berjajar panjang menunggu lampu berubah hijau. Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi seraya mendongak ke langit-langit mobil dengan pikiran semrawut.

“Harusnya aku sudah lupa, iya harusnya dia tidak datang,” gumamku lirih.
Terdengar suara klakson saling bersahutan dari mobil-mobil di belakang. Aku melirik lampu sudah menyala hijau, lalu memilih melajukan mobil pelan-pelan, berdesakan dengan kendaraan lain. Motor-motor menyelinap lewat sela-sela mobil, bahkan ada yang nyaris menyentuh spion.
“Kenapa masih sesakit ini?” Aku mencengkeram setir kuat-kuat. Buku-buku jariku memutih tidak bisa menstabilkan emosi.

Aku mendesah pelan mengingat kenangan bersama Erwin berjejal di kepala. Senyum Erwin yang antusias setiap membahas sesuatu, sentuhan hangat tangannya setiap aku berkeluh kesah. Dia pandai sekali menenangkan orang. Ternyata nama Erwin belum bergeser di bagian terdalam hatiku.
Aku pun masih mendamba setiap inci wajah pria itu. Bola mata cokelat gelap, hidung lancip yang selalu menggemaskan, juga bulu alis lebat seperti ulat.

Pukul lima sore, aku baru tiba di kawasan elite, memasuki gerbang hitam setinggi dua meter dan memarkir mobil dengan sempurna. Tujuan utama adalah mandi, mendinginkan kepala dengan guyuran air. Barangkali cara tersebut ampuh mengenyahkan Erwin dari kepala. Namun, begitu melewati ruang tengah, aku mendengar suara wanita setengah baya.

“Elina, sini. Mama mau bicara?”
Aku mengangguk. Menyelipkan undangan bersampul biru ke tas cangklong. Lalu berjalan menuju sofa beludru cokelat di depan televisi datar. Aku tersenyum pura-pura terlihat baik-baik saja, kemudian melesakkan tubuh ke sandaran sofa empuk.

“Tadi Erwin ke sini cari kamu.”
Ada sorot mata kesedihan saat mengatakannya. Aku sedikit melipat kening, kukira Erwin sudah lupa bersilaturahmi ke rumah sejak lima tahun lalu.

“Oh, dia bilang apa?”

“Dia minta maaf tidak pernah ke sini lagi. Erwin mau menikah.” Mama menggenggam tanganku. “Kamu kapan mau melupakan Erwin?”

Lima tahun lalu saat mengakhiri hubungan, aku masih berpikir bahwa semua bisa diperbaiki. Pelan-pelan membujuk Papa agar tidak berpatokan pada hitungan Jawa yang menurutnya aku serta Erwin tidak cocok melanjutkan pernikahan.

Papa keturunan Jawa yang masih menganut kepercayaan menghitung weton keduanya sebelum menyepakati pernikahan. Entah aku tidak paham hitungan para sesepuh saat bilang jatuh ke angka 25. Papa melarang keras pernikahan dilanjutkan, sementara Mama keturunan Jakarta lebih modern tidak percaya perhitungan Jawa.

“Kalian harus pisah, kalau dilanjutkan akan sengsara.”

Aku menahan napas. Teringat pernikahan yang kandas terbentur weton. Aku masih berpikir Papa akan melunak suatu saat. Lima tahun berlalu aku masih menyimpan namanya di urutan pertama calon suami idaman.

Namun, takdir seakan-akan menamparku tadi siang. Erwin menitipkan undangan bersampul biru bertuliskan namanya yang dicetak dengan huruf timbul, juga nama perempuan yang aku kenal. Dia sudah berhasil melupakan, sedangkan semua kenangan tentangnya masih riuh di kepalaku.

“El mau ke kamar dulu, ya, Ma?” Aku memaksakan tersenyum.

Mama mengangguk.
Bendungan yang sudah ditahan sejak tadi jebol. Tangisku meledak meraih undangan yang mencetak nama Erwin bersama perempuan cantik bermata jernih. Aku jelas sangat mengenalnya, gadis kelahiran Jawa yang menjadi sahabatku sejak kuliah di Universitas Gajah Mada.

Awalnya aku tidak percaya kalau Hana akan menggantikan posisiku menjadi mempelai perempuan. Kuraih smartphone di dalam tas, menekan-nekan nomor Hana sampai terhubung dengan nada sambung.

“Han?” Bibirku bergetar saat telepon diangkat.

“El, aku mau minta maaf.” Suara Hana terdengar penuh rasa bersalah.

Aku memejamkan mata, menahan kalimat yang berada di ujung lidah.

“Kami akan menikah Minggu depan.”

Tanganku meremas seprai. Hana sama-sama kelahiran Jawa persis Papa. Dia paling membenarkan keputusan Papa meminta pernikahanku dibatalkan.

“Sejak kapan, Han?”

“Lima tahun lalu, sebelum kalian memutuskan untuk menikah.”

Jawaban dari Hana cukup menunjukkan kalau Erwin bukan pria yang tepat. Bahuku berguncang selagi tangisku meledak.


Bionarasi :
Widi Lestari, gadis kelahiran Kebumen yang sedang belajar menulis.

 

Editor: Erlyna

Leave a Reply