Mereka mengatakan aku sudah terlalu lama hidup. Merekanya saja yang terlalu muda, baru lahir kemarin lusa saja sudah menganggap aku demikian. Ada bisik-bisik dari orang yang mendatangiku mengatakan kalau keadaanku ini sudah biasa, semua orang seumuranku demikian, katanya. Tidak, sungguh aku seperti ini karena tubuh terasa amat malas untuk digerakkan, jadinya aku memilih berbaring menikmati semuanya. Salah mereka sendiri yang memanjakanku. Aku mengigau anggur saja mereka hidangkan, membual ayam bakar saja diberi sungguhan. Mereka, orang yang menungguiku, tidak bisa membedakan mana yang benar-benar aku inginkan dan mana yang hanya keluar begitu saja dari mulut ini. Itulah mungkin mengapa aku lebih senang dalam keadaan seperti ini, menatap langit-langit ruangan, merasakan lembutnya bantal dan hangatnya selimut.
Kadang ada satu hal yang menjengkelkan, dan itu tidak mengenakkan sekali. Mereka memaksaku membuka celana dengan garang, alasannya karena bau dan semacamnya. Padahal sangat harum di hidungku. Ah, mereka mungkin alergi terhadap harum. Percuma walau kukatakan jangan dibuka, mereka memaksa. Percuma walau kujelaskan ruangan sangat harum, walau terasa lembek di pantat, mereka tak mau tahu. Aku jengkel, dengan kejengkelan itu aku memilih diam untuk selanjutnya. Biarkan saja mereka berang sendiri, tak ada kapoknya kupermainkan.
“Kakek, jangan ditahan kalau mau keluar, keluarkan semua. Jadi ribet kalau seperti ini.”
Pernah salah seorang gadis yang bagian dari mereka menungguiku mengatakan demikian. Kadang aku tak tega kalau dia yang melakukannya. Tapi sudah terlanjur biasa, dan aku suka melakukannya. Ah, dan lagi, kata “kakek” sangat tidak enak di telinga. Aku ini masih muda, tidak pantas dengan sebutan itu. Lihatlah rambutku, aku mewarnainya dengan warna putih. Aku tahu itu saat suatu ketika meminta cermin pada orang yang menungguiku, orang itu berlari lantas kembali dengan cermin. Lagi-lagi aku suka dengan tingkah orang di sekelilingku yang begitu baik dan bodoh.
Memang, aku tidak nakal, tidak pernah meminta hal yang bukan-bukan pada mereka. Aku hanya meminta sate burung, bulu serigala, mata ikan, mawar biru, gigi macan, dan hal remeh temeh lainnya. Mereka senang memberi apa yang kuucapkan sebagai permintaan. Manggut-manggut berbuat baik agar aku memberi mereka sesuatu yang layak. Kalimat pintaku seperti sebuah perlombaan bagi mereka, tentu saja.
Ada lagi hal menjengkelkan selain harum yang membuat mereka membuka paksa celanaku. Kurasa ini hal menjengkelkan nomor awal. Mereka membakar kemenyan saat tubuhku menggelinjang karena dingin. Mereka malah membuka selimut, menanggalkannya dari badanku. Saat yang demikian aku tak kuat berucap, mulutku kelu menahan gigil. Ditambah lagi suara mereka yang gaduh membuat telingaku seperti berdarah. Asap dari yang mereka bakar seperti racun di tubuhku. Langit-langit ruangan menjadi seperti lubang neraka. Mereka tidak mau tahu, kalau aku melihat pembunuh dibalik asap yang mengepul itu. Aku terus meronta agar ada yang mau mengerti kalau aku tersiksa oleh sosok di balik asap. Tetap tak ada yang mengerti, malah semakin mendekat, semua dengan wajah licik, pura-pura mencemaskan diri ini. Saat yang demikian, entah bagaimana mulutku melontarkan kata air. Seseorang memberiku gelas, mendekatkannya ke bibir, sementara tanganku yang bebas berhasil menebasnya, hingga air itu jatuh ke kemenyan yang memanggil pembunuh dengan asapnya.
Kuusahakan bisa mengendalikan tubuh yang entah apa sebab teramat gigil. Aku diam dengan erangan menahan. Saat diam itulah mereka baru meletakkan kembali selimut yang mereka jarah, dariku. Gigil segera berkurang, aku jadi ingin menjahili mereka dengan hal yang lebih kejam terhadap apa yang telah mereka lakukan padaku.
Belum sempat kukerjai, segerombolan orang dengan benda panjang menyala yang sesekali hinggap di bibir mereka berdatangan di dekatku. Menanyakan bagaimana kabar diri ini, apa yang baru saja terjadi dan sebagainya. Bahkan masih sempat ada yang bergurau, kalau aku akan segera mati. Aku marah mendengar gurauan itu, tapi air muka marahku mungkin tampak lucu di mata mereka, hingga mereka tersenyum saja dengan santai. Aku marah, sungguh. Ditambah asap yang mengepul dari batangan seperti jari yang mereka hirup. Di balik asap itu seperti ada pedang malaikat pembantai menghantuiku. Aku berusaha menepisnya, tapi tangan ini terlalu malas untuk melakukan hal itu.
Bisa tidak mereka itu mengerti bahasa terhalus dari tubuh? Tidak mengartikan senyumku sebagai pengganti dari kata “iya”. Mereka sungguh bodoh. Aku muak mengingatnya. La, masalah ingatan. Ada yang berbisik-bisik kalau aku sudah diberi makan beberapa kali, padahal perutku tak merasakan sesuatu yang masuk di dalamnya. Sungguh orang di sekelilingku amat licik. Bohong mereka. Kadang hanya sekali dalam sehari mereka baru memberiku makan. Apakah beras sudah terlalu mahal di negeri ini, hingga mereka tak sanggup membeli? Aku akan sangat menyalahkan presiden kalau memang itu masalahnya. Memang presiden yang bau kencur itu berperan apa dalam kemerdekaan negara bangsa? Dia bahkan baru lahir kemarin lusa, lantas membiarkan beras begitu mahalnya hinga aku kelaparan setiap hari.
Aku tidak dalam keadaan bertuah. Aku hanya bercerita tentang kebodohan, ketegaan, dan kelicikan orang di sekelilingku. Mereka anggap aku adalah tontonan. Tega sekali mereka. Tentang mereka, aku tak bisa menyebutkan namanya satu-persatu. Aku ingat tapi pikiran ini terlalu malas menyebutkannya. Diri ini punya istri, cantik, itu yang kuingat. Ah, aku juga punya anak yang lucu-lucu. Entah di mana mereka sekarang. Wajah lucu dan lugu itu tak sekali pun muncul di samping pembaringanku.
“Anakmu sudah menikah dua puluh tahun yang lalu, Pak. Jangan ungkit-ungkit agar dia bisa kau gendong lagi. Apa kau mau mengendong cucumu?”
Ada seseorang yang wajahnya sedikit kukenal menawarkan agar aku menggendong seseorang yang tidak aku kenal, dan percaya terhadap kata bahwa anakku sudah besar, hilang keimutannya. Aku hanya manggut-manggut, padahal aku mau menggeleng, tapi leherku terasa malas untuk melakukannya.
Hampir menjadi makanan sehari-hari yang namanya kebohongan dan bualan itu. Tentang percakapan yang mereka lontarkan, disangka aku tidak dapat mendengar?
“Sebaiknya kakek dirawat di rumah sakit saja, Nek. Biar Mama dan Papa yang mengurus biayanya. Ditambah, agar tidak merepotkan saat dia membuang air besar, sudah ada perawat yang mengurusnya.”
“Tidak, Cuk. Biarlah dia istirahat di sini dengan tenang. Kurasa kakekmu tidak akan pernah mau diurus orang lain. Lagipula aku sudah merelakannya untuk pergi. Aku tak tega melihatnya seperti itu.”
Ah dasar. Mereka bercakap seperti aku tak mendengar saja. Tapi apa yang mereka bicarakan? Aku tak begitu mendengarnya dengan pasti. Yang jelas aku tidak mau pergi ke mana-mana. Aku malas untuk apalah itu. Biarlah aku di sini, kalau bisa bawakan aku calon istri muda yang cantik dan menggoda. Aku ingin merasakan kehidupan, aku ingin melenyapkan rasa malas dengan gairah bercumbu. Pernah kukedepankan keinginan ini, seringkali mereka tolak, lantas ada yang mengelus-elus kepalaku agar aku berhenti mengucapkannya. Kalau aku ingin wanita cantik, muda, dan aku ingin hidup dengannya. Biarlah kulupakan istriku yang buruk rupa wajahnya, keriput di mana-mana. Kurasa dia terkena kutukan.
“Bapak seharusnya diam, tidak usah mengatakan hal yang bukan-bukan. Sadar, Pak. Bapak sudah berkepala banyak, punya cicit, ditambah umur bapak yang….”
Yang tahu, aku tak mau mendengarnya. Aku muak dengan siapa pun yang tidak mengabulkan keinginan terbesarku untuk mengusir malas ini. Mungkin ini rasa marah dan jengkel yang kesekian. Ah, yang ke berapa tadi? Ya, yang kesekian dari marah dan jengkel. Hanya sekadar meminta wanita cantik dan muda, mereka pelit melaksanakannya. Padahal aku meminta kepala kerbau, otak kijang, buah naga dan buah buaya mereka kasih. Bukankah lebih mudah mencarikanku seseorang yang bisa menjadi obat dari malasnya tubuh ini? Aku marah, tapi aku lupa bagaimana menunjukkan wajah marah. Jadilah mereka yang tampak marah kepadaku, padahal seharusnya aku menunjukkan mimik wajah yang seperti itu. Tapi entahlah, aku tak sempat meminta cermin agar bisa mengetahui sudah pas atau tidak mimik wajah marahku.
Dari igauanku, mungkin aku sadar kalau aku selalu mengucapkannya. Aku ingin menikahi gadis cantik, aku ingin menikahi gadis cantik dan seterusnya berulang-ulang. Pada suatu petang, lampu ruangan tempatku berbaring temaram. Orang-orang yang menungguiku bergelimpangan, mati suri. Ada yang terduduk tapi tak bergerak, ada pula yang berbaring di kejauhan dekat pintu, lima atau enam duduk seraya menyandarkan kepala ke tempat pembaringanku. Aku merasa hanya aku yang terjaga sendirian. Dan itu adalah kesempatan. Aku melihat ada seseorang, seorang gadis cantik seperti yang kuinginkan, muncul dari arah pintu yang terbuka, melangkahi mereka yang rebah mati suri. Gadis cantik jelita itu mendekatiku, semakin dekat lalu aku lupa kejadian selanjutnya.
Ingatan yang lupa itu kini kembali. Di suasana yang sama, ruangan temaram, sebagian mereka yang menungguiku rebah, sebagiannya lagi mati suri dalam keadaan terduduk. Waktu seperti berhenti, membiarkan mataku mengerjap-ngerjap memandang sesuatu yang datang dengan sayap cahaya dari arah pintu. Gadis yang amat cantik, seperti yang selalu kuucapkan. Dia berjalan melintasi semua tubuh yang rebah dengan langkah santai dan ringan. Menghampiriku semakin dekat seraya menjulurkan tangan. Entah kekuatan apa, tubuh malasku jadi bisa dikendalikan. Leherku bisa menoleh tanpa rasa malas sedikit pun. Aku bangun menjuntaikan kaki hendak turun dari pembaringan. Gadis muda cantik dan tak bisa kubayangkan kecantikannya itu semakin dekat, melangkah dan mulai bisa menyentuh tanganku yang juga terjulur ke arahnya.
Aku tersandung oleh kaki kursi yang berbaris dengan tubuh lain selain diriku yang merebahkan kepala di pembaringan. Tubuhku terjatuh pada gadis yang cantik bersayap cahaya. Aku benar-benar bergairah. Dan dia mengajakku bercinta, di suatu tempat yang tinggi di langit, ucapnya. Saat itulah aku telah berhasil membunuh rasa malas dan lari dari kematian.(*)
Jakarta, 5 September 2017
Ali Mukoddas, lahir pada putaran kalender ke 4 di bulan Mei 1997, tepatnya di desa Taman Sare, Sampang, Madura. Sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Ilmu Hukum di UNU Indonesia, dan penggiat Komunitas Nulis Anonim (KNA). Juga seorang yang pernah menjadi santri di PP. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Penulis bisa dihubungi lewat surel, alimukoddas@gmail.com, atau lewat akun Facebook dengan nama Ali Mukoddas atau IG @ali_mukoddas.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-2 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK (semua info penting ada di sini)
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan