Koin Emas

Koin Emas

Koin Emas Zee
Oleh : Fitri Hana


Ayah dan ibu Zee terkejut melihat perubahan warna Zee. Zee berubah warna ketika ia menerima koin yang diulurkan sebuah tangan besar dari celah atap rumahnya. Rambutnya berubah menjadi warna emas! Bukan hanya rambut, baju dan wajahnya juga berubah menjadi warna cerah. Menggantikan warna Zee yang sebelumnya hitam dan putih, warna umumnya penghuni Planet Junkberg.


Rumah Zee bisa berubah sesuai kemauan penghuninya, sama seperti rumah-rumah di Planet Junkberg lainnya. Saat mereka menginginkan atapnya berwarna bening, atap itu akan berubah menjadi bening, sehingga mereka bisa melihat bintang di malam hari tanpa harus keluar rumah. Saat mereka menginginkan atapnya rendah, maka atap itu akan merendah. Sehingga anak sekecil Zee bisa meraih atapnya.


“Zee, lihat bajumu! Koin siapa yang kamu terima itu?” tanya ayah Zee dengan tatapan menyelidik.


Zee berlari sambil memegang koin ke ruang tengah, tempat ayah dan ibunya duduk berhadapan. Rambutnya yang berkucir dua memantul-mantul mengikuti gerakan kakinya.


“Aku tidak tahu, Ayah. Apa Ayah tidak mendengar saat orang itu memanggil-manggil Zee?” jawab Zee sambil memainkan koin yang ia terima di pangkuannya.


“Memanggilmu? Ayah tidak mendengar suara apa pun, Zee. Lagi pula ini sudah malam. Tidak ada yang berani berkeliaran di luar rumah. Apa kau mendengar sesuatu, Ibu Zee?” Ayah Zee mengalihkan pandangan ke arah istrinya.


“Tidak, Ayah Zee. Ibu tidak mendengar apa pun. Apa karena Zoey menangis tadi, jadi kita tidak mendengar suara yang dimaksud Zee itu?” jawab ibu Zee sambil menepuk-nepuk bayi di pangkuannya, Zoey.


Zee menggelindingkan koin itu. Matanya berbinar, belum pernah ia melihat koin emas seperti itu sebelumnya. Zee berlarian mengejar koin yang terus menggelinding. Koin itu baru berhenti saat membentur pintu.


“Yey! Akhirnya, dapat!” teriak Zee sambil mengangkat koinnya tinggi-tinggi.


Ia berlari mengelilingi rumah.


“Hore, Zee punya koin. Hore!”


“Kemarilah, Zee! Ayah mau lihat koin apa itu sebenarnya.”


Zee menghampiri ayahnya lalu memberikan koin emas itu.


“Ini bukan koin Junkberg, Zee. Tidak ada gambar raja di sini. Lagi pula, koin Junkberg berwarna putih. Lihat ini, Bu. Tulisan macam apa gandeng-gandeng seperti ini?” Ayah Zee menunjukkan koin itu ke ibu Zee.


Ibu Zee meraihnya, “Benar, Ayah. Bukan tulisan Junkberg, juga tanpa foto raja.” Ibu Zee membolak-balik koin sebesar telapak tangan Zee itu.


“Zee, tadi orang itu mengatakan apa saja padamu?”


“Orang itu memanggil Zee, lalu mengatakan kalau koin ini balasan atas perbuatan Zee kepada Ayah dan Ibu. Zee telah berbuat baik, katanya. Koin ini harus disimpan agar orang-orang tidak memperebutkannya, Ibu.”


Mendengar penjelasan Zee, ibu dan ayahnya saling pandang. Mata mereka mengirim sinyal waspada satu sama lain.


“Baiklah, Zee. Simpan koin ini di tempat yang tersembunyi,” pinta ibu Zee yang langsung dituruti Zee.


Pagi harinya warga Junkberg heboh melihat warna Zee yang berubah.


“Zee! Kamu terlihat aneh dengan warna-warna itu.”


“Wow! Mandi air apa sampai kamu berwarna indah seperti itu, Zee?”


“Kamu makan apa sehingga warnamu berubah cantik, Zee?”


Begitu tanggapan dari tetangga terdekatnya saat melihat Zee menyirami mawar di halaman.


“Ini karena aku berbuat baik, Nyonya,” jawab Zee setiap ditanya. Jawaban ini pula yang membuat sang penanya tertawa, “konyol sekali”, pikir mereka.


Ayah Zee memenuhi halaman juga kebun belakang rumah dengan mawar. Kelopaknya berwarna putih sedangkan daun dan batangnya berwarna hitam. Tidak ada warna selain hitam dan putih di Planet Junkberg. Mawar-mawar yang sudah mekar akan dipetik lalu direndam dengan air selama setengah hari untuk menjadi suplemen tambahan bagi keluarga Zee. Dua sendok air rendaman mawar, bisa membuat mereka tidak merasakan haus selama dua hari. Membantu mereka menghemat pajak air yang dikenakan istana dengan nilai tinggi. Kelopak dan daun yang sudah berguguran akan dijemur sampai kering. Setelah kering, daun dan kelopak bunga itu pula yang menjadi makanan keluarga Zee, sama seperti warga Junkberg lainnya.


Bedanya, warga lain memilih membeli mawar siap santap di restoran atau layanan pesan antar makanan. Tidak ada yang mau repot-repot menanam mawar seperti ayah Zee. Halaman-halaman mereka pun telah dilapisi kaca bening tebal yang berkilauan saat terkena sinar matahari, juga akan berdenting saat sepatu-sepatu bertumit tinggi menapakinya. Tanah hanya akan mengotori sepatu. Begitu pikir mereka saat memutuskan menutup halaman.


Tak butuh waktu lama, kabar perubahan warna Zee sampai di telinga raja. Zee dan keluarganya dipanggil menghadap ke istana. Mereka dijemput mobil istana yang berwarna putih, sama seperti semua mobil di Junkberg.


Begitu melewati gerbang istana, mobil itu menapaki jalanan kaca. Tidak ada tanah yang terlihat di istana. Jangankan istana, sepanjang perjalanan pun tidak lagi ada tanah, semuanya tertutup kaca. Tidak ada pepohonan. Tidak ada bunga. Tidak ada taman. Halaman istana penuh dengan air memancur saja.


Istana raja berbentuk menara besar yang berwarna putih. Ditemani seorang pengawal, Zee dan keluarganya menaiki lift yang berada di luar menara. Lift untuk selain tamu khusus seperti rakyat biasa. Ayah Zee berpakaian kumal dan ada tambalan di beberapa bagian. Lift itu sengaja dibangun di luar istana agar istana tidak terkena noda-noda mereka. Lift yang berdinding kaca bening itu menampakkan pemandangan kota dari atas. Membuat Zee dan keluarganya tak berkedip sekali pun sepanjang perjalanan.


Lift berdenting. Saat pintunya terbuka, tampaklah raja yang duduk di atas singgasana berwarna putih, ditemani seorang perempuan dengan gaun hitam panjang menyentuh lantai.


“Ini Zee?” Raja memelotot. Ia memperhatikan Zee tanpa berkedip.


Zee yang awalnya berdiri di antara orangtuanya langsung bersembunyi di belakang ayahnya. Ia mengeratkan pegangan pada celana sang ayah saat mendengar namanya disebut raja.


“Benar, Yang Mulia. Ini Zee.” Ayahnya menjawab.


“Katakan kepadaku, apa yang membuat putrimu berubah warna!” perintah raja dengan suara tinggi.


Dada Zee berdebar. Ia tak berani mengintip raja lagi. Baginya, orang yang berbicara dengan suara tinggi seperti itu adalah orang jahat. Kaki Zee gemetaran. Ia tidak memperhatikan bagaimana ayahnya bercerita dengan jujur, termasuk menceritakan koinnya. Sepertinya ayah Zee lupa bahwa koin itu harus dirahasiakan.


“Di mana koin itu sekarang?” tanya raja yang lebih mirip dengan bentakan.


Ayah dan ibu Zee saling pandang. Mereka lalu merapatkan diri. Tangan ibu Zee memegang jemari Zee.


“Katakan! Di mana letak koin itu?” Raja berteriak.


Zoey yang tadinya tertidur di gendongan ibunya, menangis kencang. Ibu Zee melepas genggamannya dari tangan Zee.


“Apa aku harus memaksa kalian untuk berbicara? Pengawal!”


Dua pria dengan helm dan senapan berlari mendekati raja.


“Raja ….” Zee berbicara dengan pelan. “Apa Tuan akan menjadi baik saat Zee katakan letak koinnya?”


Kepala Zee menyembul di antara ibu dan ayahnya. Tangan kanannya digenggam sang ayah.


“Tentu saja, Nak. Raja ini baik, Nak. Katakan, ayo, katakan ….” Perempuan di samping raja menjawab. Ia tersenyum menyeringai.


Zoey tak juga berhenti menangis.


“Zee yang membawa koin itu, Tuan. Tapi koin itu milik Zee, tidak ada yang boleh menyentuhnya tanpa izin Zee, Tuan,” jelas Zee.


“Kemarilah, Nak. Tunjukkan koin emas milikmu biar kami melihatnya, Nak,” ucap perempuan bergaun hitam itu. Tangannya melambai pada Zee.


Zee maju tiga langkah. Ia mengeluarkan koin dari sakunya. Lalu memperlihatkannya kepada raja. Ayah dan ibu Zee saling berpandangan. “Kenapa Zee membawa koin itu?” batin mereka serempak.


“Apakah sudah terlihat, Tuan?”


Raja memelotot, mulutnya terbuka. Ia tidak berkedip melihat koin berwarna emas yang ada di atas telapak tangan Zee.


“Tuan bisa juga memilikinya. Tuan hanya perlu berbuat baik. Seperti saya. Saya menolong Ayah menyiram mawar. Menolong Ibu menjemur baju. Menjaga Zoey. Menjahit baju sendiri. Ini, lihat, Tuan. Lubang di baju ini, saya sendiri yang menjahitnya. Apa Tuan bisa menjahit?” tanya Zee seraya menunjuk tambalan di bajunya bagian depan.


Raja yang masih menatap koin itu dengan liur yang menetes dari mulutnya, diam tidak menjawab.


“Raja?” sapa Zee, lagi.


Raja teringat wasiat kakeknya, siapa yang bisa memiliki koin berwarna emas sebesar telapak tangan anak-anak, maka rakyatnya akan hidup damai dan sejahtera.


“Pengawal, ambil koin itu!” perintah raja.


Zee berlari kembali ke belakang ayah dan ibunya. Ia masukkan lagi koin itu kembali ke dalam saku. Terlambat! Tangan pengawal menarik lengan Zee sebelum koin itu masuk ke saku.


Koin itu menggelinding. Zee berusaha mengejarnya. Tapi tidak bisa. Ia sudah dipegangi oleh seorang pengawal. Zoey menangis semakin kencang. Ayah dan ibu Zee berusaha melepaskan Zee dari genggaman pengawal itu. Saat Zee berhasil terlepas, pengawal mengacungkan senjata tepat ke pelipis Zee. Membuat ayah dan ibu Zee menyerah.


Koin itu terus menggelinding hingga membentur kaki singgasana. Perempuan bergaun hitam mengambil koin itu lalu memberikannya kepada raja.


“Tidak, Raja! Jangan diambil! Itu koin Zee,” teriak Zee yang diabaikan raja.


Raja mengambil koin itu dari tangan si perempuan. Ia membolak-balik koin itu. Matanya berbinar. Ia tertawa. “Akhirnya akulah yang terpilih menjadi raja terbaik dengan rakyat yang patuh padaku. Tidak ada lagi yang melawan saat aku menaikkan pajak.” Raja kembali tertawa.


Jari jemari raja tiba-tiba berubah warna menjadi hitam. Lalu lengannya, lalu lehernya, lalu kepala, lalu mahkota putihnya, lalu bajunya, lalu sepatunya. Menyisakan warna putih pada gigi dan matanya.


Raja berteriak. “Tolong … Sakit! Tolong, rasanya terbakar. Tolong ….”


Raja terjatuh. Ia berguling-guling kesakitan di lantai. Koin itu kembali menggelinding. Terus menggelinding sampai berhenti saat membentur kaki Zee.[*]


Klaten, 13 Juli 2021


Fitri Hana, IRT yang memaksa diri untuk menulis.

Editor : Rinanda Tesniana


Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply