Noda
Oleh : Ketut Eka Kanatam
Aku tidak berani menatap mata Bapak begitu mendengar suara sedihnya. Kepalaku terasa berat untuk mendongak saat mendengar pernyataannya.
“Semua ini salahku. Aku sebagai kepala keluarga tidak becus! Semua ini salahku ….”
Isak tangis Ibu yang terduduk di sudut satu-satunya ruangan dalam rumah ini, membuatku tak berdaya. Masihkah ada kata maaf kalau aku katakan semua ini kulakukan demi mereka?
Sebagai anak sulung, aku tergerak untuk menolong Bapak. Dia sudah tidak bisa mencari nafkah seperti biasanya. Luka yang dideritanya setelah menginjak paku berkarat, membuat kakinya terkena tetanus. Bapak tidak segera berobat ke puskesmas saat itu sehingga kakinya membusuk. Semua gara-gara selembar kertas yang tidak pernah mau mampir ke dalam kehidupan kami, kertas yang mengesahkan bahwa keluarga kami miskin.
Usaha Bapak memulung selama ini hanya cukup untuk bertahan dari kelaparan. Aku tidak bisa mendapat pendidikan yang layak dengan mengandalkan penghasilan Bapak.
Sepanjang hari aku hanya berdiam diri di gubuk sewaan keluarga kami. Aku selalu iri kepada anak-anak sebaya yang setiap hari menyeberangi sungai untuk sekolah. Kehidupan kami sangat kontras, mereka anak pekerja pabrik yang memakai seragam setiap hari, sedangkan aku harus membantu Ibu memasak dan menjaga adik yang sakit-sakitan.
Begitu Bapak tidak mampu berjalan karena infeksi di kakinya, kami hanya bisa terpaku, tidak ada uang maka tidak ada obat. Jika tidak ada obat, maka Bapak tidak akan sembuh seperti sedia kala, sedangkan kami harus tetap makan untuk menyambung hidup.
Tidak ada pilihan lain, akulah yang keluar rumah untuk menggantikan tugasnya. Apa yang bisa dilakukan oleh anak berumur lima belas tahun di jalanan?
Aku ketakutan saat melihat dunia luar untuk pertama kalinya. Rasanya seperti berjalan sendiri di tengah hutan belantara. Namun, aku terpaksa bersikap tegar demi tiga orang yang menantiku di rumah.
Aku tidak tahu harus bekerja apa. Maka aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan Bapak dengan memulung dari rumah ke rumah, dari tong sampah ke tong sampah lainnya.
Sekian hari memulung, sesuatu mengusikku. Untuk pertama kalinya, aku memberanikan diri melewati jembatan di atas sungai tersebut. Aku berharap ada tempat sampah yang lebih baik di seberang sungai dibandingkan di lingkunganku.
Harapanku terkabul, banyak kutemukan botol kemasan di tong sampah mereka. Baik itu dari kemasan air minum maupun dari bekas minuman yang baunya membuatku mual. Aku merasa sangat senang, bisa pulang membawa begitu banyak barang rongsokan
.
Namun, tidak selamanya kepala bisa tegak karena membawa rezeki lebih pulang, terkadang kepalaku menunduk begitu melihat anak-anak sebaya melewatiku. Mereka sudah tidak lagi memakai baju putih biru, tetapi berganti baju putih abu-abu. Begitu cepat waktu berlalu, melihat perubahan seragam mereka, aku baru sadar sudah hampir tiga tahun hidup di jalanan.
Waktu yang cukup lama bagiku menjalani kerasnya kehidupan di jalanan. Begitu banyak kejadian menimpa, membekas tidak hanya di hati, namun juga di tubuhku. Kesabaran tidak lagi bercokol di dada. Aku ingin merasakan kehidupan seperti mereka. Sesekali kulihat mereka tertawa riang sambil makan-makan di warung yang berimpitan di sepanjang jalan.
Sebuah keinginan yang tidak akan bisa kuwujudkan dengan hanya memungut sampah dan rongsokan. Semua gambaran kesenangan yang kudambakan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tidak akan mudah mewujudkan keinginan terpendamku. Aku mulai merenung, mencari jalan keluar.
Setiap memulung, ada saja sesama pemulung yang memperhatikan tubuhku walaupun tertutup dengan baju yang compang-camping. Mereka tidak hanya melirik sekilas, namun ingin menyentuhnya. Aku selalu bisa menghindar dengan besi runcing yang setia menemani setiap memungut rongsokan. Dia menjadi senjata andalanku mematahkan keinginan mereka.
Aku mulai belajar memanfaatkan apa yang menarik perhatian mereka. Aku memilih pemuda paling tampan di antara sesama pemulung untuk menjadi teman kencan pertamaku. Aku banyak menghabiskan waktu dengannya dan pulang membawa uang.
Penampilanku semakin baik setelah mengerti hubungan antara laki-laki dan perempuan. Aku mulai menginginkan lebih dengan memilih target yang lebih menjanjikan. Kali ini, aku mencari di sebuah tempat yang banyak dikunjungi pemuda dengan sepeda motor keluaran terbaru dan mobil mewah.
Aku bekerja sendiri, mengamati apa yang terjadi di tempat hiburan malam dan mulai memasang perangkap dengan mendekati orang yang terlihat tertarik dengan penampilanku.
Sekali dua kali berjalan dengan lancar. Dompetku tidak hanya berisi uang sepuluh ribuan dan lima puluh ribuan saja, tetapi mulai berganti dengan lembar berwarna merah.
Aku mulai merasa tidak nyaman tinggal di gubuk reyot keluargaku, maka aku mencari alasan untuk kos sendiri. Selama aku bisa pulang seminggu sekali memberi bekal makan, tidak ada yang membahas alasanku keluar dari rumah demi bisa kursus menjahit dan kursus salon. Mereka menerima semuanya, malahan merasa bersyukur karena aku bisa mengangkat derajat kehidupannya.
Kehidupan malam bisa kunikmati karena begitu mudah mendapat rezeki ketika berkecimpung di dalamnya. Tidak ada yang peduli aku memakai tanda pengenal palsu untuk menjaga kerahasiaan identitas asliku. Mereka hanya fokus pada keremajaan yang kutawarkan. Kulit kenyal dan wajah cantik tanpa polesan.
Sampai akhirnya petualanganku terhenti ketika mulai merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Aku kesakitan setiap buang air kecil. Ketika aku periksa ke dokter, vonisnya membuat jantungku seakan-akan berhenti berdenyut. Aku terkena penyakit kelamin. Penyakit yang memaksaku berobat seumur hidup. Entah dari langganan yang mana aku mendapat penyakit ini, padahal aku sudah berusaha melindungi diri dengan memastikan pasangan kencanku memakai alat pelindung setiap berhubungan intim.
Semua perintah dokter kuturuti, tetapi tidak ada perubahan. Waktu sudah tidak berpihak padaku. Tidak akan kumohon keringanan dosa. Aku melakukan semua dengan sadar. Aku hanya mengharap pengampunan dari mereka. Orang-orang yang kunafkahi selama ini.
Suara Bapak yang penuh penyesalan membuatku bersimpuh di kakinya. Kucium kakinya yang tinggal satu. Perlahan-lahan mengucapkan permintaan maaf dan ampunan telah memilih jalan yang salah. Beringsut ke kaki milik Ibu yang terasa begitu dingin saat kudekap. Aku berpamitan untuk terakhir kalinya pada mereka dengan mengatakan akan menjalani pengobatan di sebuah klinik atas bantuan seorang teman.
Tidak kuizinkan mereka menemani pengobatanku. Aku hanya butuh maaf dari mereka untuk meringankan sakit di dada ini. Tidak akan kubiarkan mereka melihat kepergianku untuk selamanya. Biarlah mereka hanya tahu aku terkena penyakit kelamin karena diperkosa oleh seseorang. Aku tidak mau rasa sesal semakin tinggi di hati mereka ketika menyadari pilihan hidup yang kujalani karena keadaan selama ini menjadi penyebab penyakitku.[*]
Bali, 22 Juni 2021
Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di taman kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.
Editor : Rinanda Tesniana
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata