Pelukan Mama dan Papa
Oleh : Alisa Davina
Berada di keluarga mampu membuatku merasa tercukupi. Mau apa saja kedua orangtuaku pasti akan menurutiku.
Rumahku sangat besar. Ada lima kamar, kolam di taman belakang, ruang makan, ruang televisi, dan ruang keluarga.
“Mah, aku minta mobil-mobilan.”
Seketika mobil-mobilan ada di tanganku. Aku senang sekali. Mereka menyanyangiku tanpa batas.
Setiap pagi, aku pergi ke sekolah, diantar Papa naik mobil. Papa begitu memanjakanku.
“Pa, nanti beliin aku gam
e yang terbaru, ya,” pintaku sambil melihat Papa menyetir mobil.
“Oke, Sayang. Apa sih yang nggak buat kamu.” Ia tersenyum lebar sambil terus melihat jalan.
***
Pulang sekolah.
Hari ini Mama masak apa, ya? Aku merasa lapar.
Kubuka pintu, lalu duduk di kursi ruang tamu. Cacing-cacing di perutku mulai keroncongan. Huft.
“Mamaaaa!”
“Iya, Putra. Mama di sini.”
Aku mencari sumber suara tersebut. Sepertinya ada di dapur. Aku bergegas ke sana.
Hmm … baunya enak. Masak apa, ya, Mama?
“Wow! Mama masak ayam goreng. Asyik.”
“Makan gih, Sayang. Udah ada yang matang tuh di meja.”
Mataku tertuju ke kayu panjang berbentuk segiempat di belakang Mama.
Ada ayam goreng berupa paha, sayap, dan daging. Nyam nyam nyam.
Aku makan dengan sangat lahap. Kuhabiskan semuanya tanpa tersisa.
Sebuah sentuhan hangat mendarat di kepalaku. “Makannya pelan-pelan, ya. Nanti tersedak.” Lalu Mama duduk di sebelahku. Ia makan sayur sup buntut yang sudah dimasak tadi.
***
Malam hari.
Tepat jam 7 malam, Papa pulang. Ia memelukku dengan kasih sayang. Sungguh aku seperti menemukan emas karena tumbuh di keluarga yang begitu menyanyangiku.
“Pa, capek, ya?” Kucium punggung tangan Papa, lalu kami duduk bersebelahan.
“Iya, Putra. Tadi banyak kerjaan. Oh, iya Mama mana?”
“Lagi nyiapin makan malam, Pa.”
Terlihat Papa melepas sepatunya, Lalu ia mengajakku ke ruang makan. Kami bertiga makan malam. Banyak menu yang Mama sajikan: oseng-oseng daging sapi, fried chicken, soto, dan jus alpukat.
***
Waktu berjalan dengan cepat. Mama melahirkan adik untukku.
Awal-awal kelahiran Nando, aku sangat bahagia.
Aku membantu Mama mengambilkan popok untuk adik kecilku.
“Ma, ini.”
“Iya, Putra,” ucap Mama sembari mengambil popok yang kupegang.
Ternyata seperti ini rasanya punya saudara.
Namun, lama-lama aku merasa perhatian Mama berkurang. Mama tidak seperti dulu. Ia lebih menyanyangi Nando. Aku sangat iri.
“Mama, bantuin ikat sepatu!” teriakku dengan keras. Ya, aku memang manja sekali, tapi ini kulakukan agar Mama menyayangiku seperti adik.
“Belajar ikat sendiri, ya, Putra. Ini Mama lagi ganti baju adikmu,” timpal Mama.
Astaga! Kenapa semua orang berubah di sini? Papa juga. Setiap pulang kerja, yang dicari Nando, bukan mencariku lagi.
Benar-benar menyebalkan!
Aku harus bagaimana? Supaya Mama dan Papa memberiku cinta dan kasih sayang seperti tahun-tahun kemarin.
***
Saat menjelang tidur seperti ini aku biasanya akan mendapat pelukan dari Papa dan Mama. Mereka pasti bilang, “Mimpi indah, ya, Sayang. Jangan lupa doa.”
Aku rindu diperlakukan seperti dulu, hangat.
***
Pagi harinya.
“Ma. Aku mau berangkat sendiri. Naik sepeda.”
“Eh, serius, Putra?”
“Iya, Ma. Tolong bilangin Papa. Putra pamit dulu, assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam, hati-hati, ya.”
Aku tak menjawab lagi ucapan Mama. Aku pergi dengan dongkol.
***
Di jalan raya, kukayuh sepeda dengan kencang. Tak sadar ada sebuah mobil yang melaju cepat dan menabrakku.
Aku terpental. Darah bercucuran di telinga dan wajahku.
Aku melihat orang-orang ramai mengelilingi tubuhku. Tak selang lama, Mama dan Papa pun juga datang. Mereka menangis sejadi-jadinya. Memelukku dan meminta maaf karena tidak bisa menjagaku dengan baik.
Ternyata … aku sudah mati.
Terima kasih atas pelukan terakhirnya, Ma, Pa ….[*]
Kota Bersemi, 13-07-2021
Alisa Davina. Seoran ngubi yang baru terjun di Literasi.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/memjadi penulis tetap di Loker Kata