Di Balik Noda
Oleh : S. Yanasari
Bagi seorang remaja, mempunyai rasa ingin tahu yang besar itu wajar. Karena masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yang bukan sekadar mencakup perubahan fisik saja, akan tetapi intelektual, emosi, dan sosial. Masa remaja pun bukan sekadar untuk bersenang-senang dengan teman saja tapi bagaimana kedekatan dengan keluarga. Peran orangtua sangat penting agar masa remaja tidak salah jalan. Akan tetapi berbeda dengan Ratna, di masa remajanya, dia sudah kebingungan untuk melangkah karena kurangnya arahan dan perhatian dari keluarga.
Setiap malam Ratna hanya duduk seorang diri di kamar, berteman sepinya malam yang semakin membuat dialog dalam pikiran yang begitu sangat dirasakan. Ratna merupakan gadis manis berambut hitam lurus pendek yang sedang mencari jati dirinya. Saat malam semakin larut, dan udara dingin kian menusuk tulang–meski sudah tertutup kain berajut rapi–di situlah Ratna baru merasakan kantuknya. Dia kemudian segera istirahat untuk aktifitas esok harinya.
Karena kesibukan masing-masing, nyaris setiap hari, sepanjang tahun, tak ada kehangatan di rumahnya layaknya keluarga pada umumnya.
Ratna yang hendak berangkat kerja menghampiri ibunya yang sedang menyiapkan sarapan.
“Bu, Ratma bantuin masaknya, ya,” ucap Ratna dengan lemah lembut.
“Oh, iya, Nak. Ini sebentar lagi juga matang. Bawa ini ke meja makan,” ucap ibunya terburu-buru. Karena ia pun akan menjalankan kesibukan yang lain.
“Baik, Bu,” jawab Ratna
Tak lama berselang, mereka segera melaksanakan sarapan. Sebuah ritual formalitas yang terasa hambar. Sebab keduanua seperti tak menikmati sarapan itu. Hal itu dilakukan secepat kilat karena takut terlambat kerja.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Ratna segera pamit kerja.
Kurangnya kasih sayang, perhatian, dan kenyamanan dalam keluarga, membuat Ratna tak merasakan keverian. Dia sering hilang fokus. Dan Bosan. Gadis itu ingin memberontak, tetapi dia tak mampu melakukannya. Ratna hanya bisa berdiam diri sembari merapal kalimat, “Diam tak berati lemah. Diam tak berarti kalah. Diam juga salah satu wujud dari kekuatan.”
***
Pulang kerja, Ratna duduk termenung di pinggir jalan tak jauh dari tempatnya bekerja. Tak lama kemudian datanglah gadis kecil berambut pirang membawa setampah makanan kecil. Seketika itu juga Ratna menghentikan langkah gadis kecil itu.
“Hai, Dek. Kamu jualan apa?”
“Kue lapis, Kak,” jawab gadis keci itu. “Kakak mau bel?”
Tanpa banyak berpikir, Ratna langsung memborong semua kue itu. Dia juga mengantarkan gadis kecil itu pulang. Sesampainya di rumah gadis itu, Ratna dipersilakan masuk dan berkumpul bersama keluarga gadis kecil itu. Ratna merasa nyaman dengan kehangatan di dalam keluarga gadis kecil itu. Sehingga dia tak sungkan untuk berbagi cerita. Terus terang saja, Ratna kagum dengan semangat gadis kecil itu yang mau berjualan keliling. Di sela-sela obrolan mereka, gadis kecil itu pun mengajak Ratna untuk ikut berjualan.
***
Keesokan paginya, setelah selesai sarapan, Ratna segera bergegas ke rumah gadis penjual kue kemarin. Gadis kecil itu sudah menuggunya di teras rumah dengan penuh harap. Melihat hal itu, Ratna bergegas turun dari motornya dan segera menggandeng gadis kecil itu untuk berjualan keliling bersama.
Mereka berdua berjualan dari pintu ke pintu. Terik matahati tak menyurutkan semangat keduanya. Ratna merasa senang menemukan hal baru. Suatu hal yang belum pernah ia alami sebelumnya. Saat Ratna dan gadis kecil itu duduk di pinggir jalan, untuk beristirahat sejenak, ada ibu-ibu yang menghampiri mereka. Dagangan Ratna dan gadis kecil itu langsung habis diborong. Tentu saja, keduanya pulang dengan rasa bahagia.
Ini adalah kali pertama bagi Ratna melakukan akivitas yang cukup menguras tenaga. Dia kelelahan. Hingga tanpa sadar, dirinya tertidur pulas di ruang tamu gadis kecil itu hingga larut malam. Begitu terjaga, dia kelabakan dan langsung pamit pulang.
Jalanan sangat sepi saat itu. Tak ada satu kendaraan pun yang melintas di sana, kecuali Ratna dan motornya. Tiba-tiba saja gadis itu menghentikan laju motornya karena dihadang oleh segerombolan pemabuk. Mereka memaksa Ratna turun dari motornya. Merampas paksa kendaraan roda dua itu, sekaligus mengoyak mahkota gadis itu. Luruh sudah darah keperawanannya.
Ratna pulang dengan langkah tak menentu. Hatinya pilu. Tak keruan rupa rasanya.
“Ratna, kenapa tengah malam begini kau baru pulang?” tanya ibunya yang sejak tadi mondar-mandir di depan teras rumah karena cemas menunggu anak gadisnya. Nyaris saja ia meledak karena amarahnya, jika saja tak melihat kesedihan di wajah Ratna. “Ada apa denganmu, Ratna? Apa yang terjadi?
Ratna tak mampu menjawab. Dia hanya menunduk dan menangis.
Merasa ada yang janggal, wanita paruh baya itu kembali bertanya, “di mana motormu, Nak?”
“Motor Ratna dirampok, Bu …. “
Tangis Ratna semakin pecah. Dia tak mampu melanjutkan lebih dari itu. Lidahnya tiba-tiba kelu ketika dia akan berucap bahwa keperawanannya juga direnggut oleh segerombolan pemabuk itu.
Tak tega melihat kondisi anak gadisnya, wanita itu kemudian mencoba menenangkan Ratna.
“Ya, sudah tidak apa-apa. Yang penting kau selamat. Masalah motor, kita bisa lapor polisi.”
***
Selesai membuat laporan kehilangan di kantor polisi, ketika baru saja duduk di kursi yang mengelilingi meja makan, tiba-tiba ibunya Ratna mendapat telepon dari sahabat lamanya di luar kota. Dia ingin menunaikan janji mereka ketika masih muda dulu, menjodohkan putra semata wayangnya dengan Ratna. Tentu saja ibu Ratna langsung mengiyakan ajakan tersebut dan mempersilakan mereka untuk datang ke rumahnya.
***
Ketika hari itu tiba, bukannya senang, Ratna justru merasa bersedih sebab dia merasa tak mampu menjaga kehormatannya. Padahal sudah sejak lama dia memendam perasaan pada pemuda itu. Tetapi apa boleh buat, meski perih, dia harus merelakan dan melepaskan perjodohan itu. Sebab dia merasa tak layak untuk menjadi pendamping lelaki sebaik dia.
Semua orang, termasuk ibu Ratna sendiri, merasa heran dengan penolakan putrinya itu.
Akhirnya dengan sikap gantleman-nya, si pemuda itu meminta penjelasan mengapa Ratna tiba-tiba menolak lamarannya.
“Jika memang ada sikapku yang kurang sopan, aku minta maaf,” ucap pemuda itu.
Mendengar ucapan pemuda itu, Ratna justru semakin tergugu di dalam pelukan ibunya.
“Ada apa, Ratna?” tanya ibunya sembari mengelus-elus punggung sang putri. “Kalau ada masalah, sebaiknya ceritakan saja. Jangan kau pendam sendiri. Itu tak baik buatmu, Nak.”
Ratna ingin bercerita. Tapi dia ragu. Dia takut menyakiti perasaan keluarga calon suaminya, lebih-lebih perasaan ibunya. Baginya, biarlah dirinya sendiri yang menanggung perih tersebut.
Ratna hanya menggeleng.
“Ceritakan saja, Nak.”
“Apa kau sudah memiliki calon lainnya?” ucap pemuda itu dengan nada lirih. Sepertinya dia tak sanggup jika pertanyaannya akan mendapatkan anggukan dari Ratna.
“Tidak,” jawab Ratna sembari mengusap air matanya.
Pemuda itu mengembuskan napas lega. Kekhawatirannya mendadak sirna.
“Lalu apa alasanmu menolak lamaran ini, Nak?” lanjut ibunya.
“Ratna tak bisa menjelaskannya, Bu ….”
“Tidak apa-apa. Jangan takut. Jelaskan saja.”
“Tapi, Bu ….”
“Jika kau memang harus menolak, kau juga harus kasih alasan yang kuat. Ibu tau kalian sudah saling memendam rasa sejak lama. Jadi tidak mungkin kau menolak dia begitu saja tanpa alasan yamg kuat.”
Karena terus-menerus didesak, akhirnya Ratna menceritakan kemalangan yang menimpa dirinya malam itu: perampok itu bukan hanya merampas motornya, tetapi juga keperawanannya.
Semua orang tersentak. Sang ibu nyaris saja pingsan. Sementara pemuda itu mengepalkan tangan erat-erat. Gerahamnya bergemeretak.
“Saya merasa tak pantas karena sudah gagal menjaga mahkota saya sendiri. Jadi, sebaiknya perjodohan ini digagalkan saja,” ucap Ratna, tertunduk lemah. Hatinya hancur ketika kalimat ini lolos dari bibirnya.
“Tidak. Kau tidak bersalah. Bajingan itu yang bersalah,” ucap pemuda itu geram. “Sudah sejak lama saya menantikan hari ini. Karena kemalangan yang menimpa Dik Ratna bukan atas dasar kesengajaan darinya, jadi saya memutuskan akan meneruskan perjodohan ini. Saya akan menerima Dik Ratna apa pun keadaannya sekarang,” tegasnya.
Ratna tak menyangka bahwa pemuda itu akan berkata demikian. Kata-katanya sangat membesarkan hatinya yang sempat luluh-lantak.[*]
Jatibarang, 19 Juli 2021
S.Yanasari, Alamat rumah Jatibarang, Brebes. Penyuka kopi hitam manis, masih belajar menulis yang baik.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontribuor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata