Siapa yang Mengambil Uang Kami?
Oleh: Elly ND
Desa Karya Jaya merupakan salah satu desa dari beberapa desa transmigrasi di Kabupaten Jaya Makmur. Di desa inilah, keluarga Husna tinggal bersama beberapa tetangganya dari Jawa yang saat itu mengikuti program transmigrasi.
“Mak, Emak mau ke mana?” tanya Husna pagi itu.
“Emak mau ke pasar, Na.”
“Ikut, Mak. Husna bosen di rumah sendiri.”
“Ya udah, ayo. Sekalian nanti tolong bawain belanjaan, ya. Emak mau beli bahan-bahan pesenan Mbak Mus.”
“Baik, Mak.”
Menenteng tas belanja, Husna berlari-lari kecil di samping sang ibu.
Seperti umumnya di daerah lain, di desa itu pun ada pasar yang jaraknya kurang lebih dua kilometer dari rumah Husna. Usai membeli bahan-bahan yang diperlukan, Husna dan ibunya bersiap untuk pulang.
Pak Suroso, salah seorang pedagang di pasar Mekar Jaya. Rumahnya yang terletak di tanah pasar, terdiri dari satu bangunan yang disekat menjadi dua bagian. Bagian depan digunakan sebagai toko untuk berdagang dan yang kedua di bagian belakang dijadikannya sebagai tempat tinggal. Kebetulan di desa itu, ia hanya tinggal berdua dengan sang istri.
Tepat di seberang toko Pak Suroso, berdiri satu toko yang menjual bahan-bahan keperluan sehari-hari. Pemiliknya seorang pendatang dari kabupaten sebelah. Heru, si pendatang pemilik toko seberang. Pedagang baru yang dianggap saingan oleh Pak Suroso.
***
Hari-hari berjalan seperti biasanya. Tetapi ada sesuatu yang tidak biasa terjadi di pasar. Toko kelontong milik Pak Suroso yang semula berukuran kecil, kini sedang dalam tahap pembangunan. Barang yang dijual pun semakin beragam dan banyak. Dari yang sebelumnya hanya menjual beberapa bahan pokok, kini ditambah dengan menjual alat-alat rumah tangga. Perubahan yang drastis ini menarik kecurigaan beberapa orang.
Sebab beberapa hari terakhir, Bu Warti, salah seorang tetangga Husna, mengeluh tentang uang simpanannya yang berkurang beberapa lembar. Seingatnya, saat terakhir beliau menghitung, ada lima belas lembar uang kertas. Tetapi esok harinya, saat dihitung kembali, uang tersebut hanya tersisa dua belas lembar.
Hal serupa juga turut dirasakan oleh tetangga yang berada di sekitar rumah Bu Warti. Warga yang merasa resah berkumpul untuk mencari apa penyebab uang-uang mereka hilang secara bertahap dan misterius.
“Kayaknya, di desa kita ini ada yang punya peliharaan, Pak, Bu.” Pak Bahar memulai percakapan sore itu.
“Sepertinya begitu, Pak. Dulu, pas di Jawa, aku pernah mengalami kaya gini. Uang ilang selembar-selembar,” timpal ibu-ibu berbaju kuning.
“Waduh, sudah nggak aman berarti desa kita ini, keluh Pak Mukti sambil menyeruput kopi.
“Pokoknya kalau sampe aku tahu siapa yang melihara itu yang suka ngambil-ngambil duit, mau ‘tak hajar yang punyanya itu.” Pak Basuki menimpali berapi-api.
“Usir aja lah dari desa kita. Kita nggak perlu orang yang kaya gitu,” ujar Pak Mukti lagi.
Menjelang sore, masing-masing dari mereka kembali ke rumah.
Beberapa hari kemudian, setelah percakapan itu, Pak Suroso tampak terburu-buru mengemasi barang-barang untuk pindahan.
***
Di belakang rumah keluarga Husna, terdapat satu sungai kecil. Sebagai jembatan untuk menyeberang, warga sekitar meletakkan sebatang kayu besar yang seolah memotong sungai itu.
Pagi hari usai memberi makan ayam, Husna tanpa sengaja melihat seorang anak kecil sedang menyeberangi sungai dengan posisi yang menurutnya aneh. Bagaimana tidak aneh, jika ada orang yang menyeberang sungai dengan posisi merangkak.
“Mak, Emak. Coba ke sini, Mak. Coba lihat anak itu.” Husna menunjuk ke arah sungai.
“Anak? Mana ada anak sih, Na. Di sana, nggak ada apa-apa gitu loh.”
“Itu, Mak. Lihat dari sini.” Husna menarik ibunya ke posisi ia berdiri.
“Ya Allah, itu ‘kan …. Ya sudah, biar aja. Husna masuk aja, yuk.”
***
Selang lima rumah dari rumah Husna, ada satu keluarga dengan seorang anak berumur satu tahun. Nama anak itu Abi. Sore itu, Abi ingin menyusu. Berhubung matahari sedang terik, ibunya Abi hanya memakai kain jarik saat akan menyusui Abi. Kain jarik itu dijadikan kemben untuk mengurangi rasa gerah.
Di dekat pintu masuk dengan posisi sama-sama berbaring, Abi menyusu. Hingga tanpa terasa, sang ibu tertidur. Tetapi lama kelamaan ibunya heran, kenapa cara Abi menyusu terasa berbeda. Sontak ibu Abi membuka mata, dan memukul anak kecil yang ada di sebelahnya. Kemudian membenarkan kain jarik yang sempat terbuka.
“Pergi, pergi. Jangan ganggu, aku bukan ibu kamu,” usir ibu Abi pada anak kecil berkepala plontos.
Suara ibu Abi yang nyaring mengundang perhatian beberapa warga yang sedang berkumpul membersihkan musala. Kebetulan musala berdiri tidak jauh dari rumahnya.
“Ada apa, Mama Abi?” tanya Bu Sari.
“Eh, itu siapa anak kecil di belakang pintu?” tunjuk salah satu warga lain.
“Oh, peliharaannya Suroso pasti. Tapi ketinggalan nggak kebawa pindah.”
“Pantesan, pas Suroso udah pindah, kita nggak pernah lagi kehilangan duit,” timpal laki-laki berperut buncit.
“Lah iya, ya. Suroso pindah nggak ada lagi yang ngerasa ilang duite.”
“Tapi, kasian ya nggak keurus jadinya.”
“Ya, biarin aja lah. Daripada dia ngerugiin kita.”
Sejak saat itu, tidak pernah ada lagi kabar warga yang kehilangan uang.
Kota Cantik, 31 Mei 2021
Elly ND. Seorang perempuan penikmat bakso dan kopi susu.
Editor: Imas Hanifah N